Postingan Populer

Rabu, 24 Agustus 2016

Pelabuhan Hollandia


 

AMSTERDAM, 14 Juni 1941. Pelabuhan milik kota kecil di atas pasir pantai yang dalam sekejab menjadi seperti kota terbesar di Nederland dan seperti pusat dunia karena rempah-rempah Hindia Timur (Indonesia) ini. Sangat ramai. Beberapa kapal telah menurunkan layar. Beberapa kapal sedang bersiap berlayar. Bangsa Nederland Belanda berlahan bangkit, bagai benalu nan subur menghisap nadi sang pohon, begitu ia maju karena rempah Nusantara. Kapal putih itu kelihatan gagah dari yang lain. Itulah St. Monicca. Ia tengah bersiap berlayar. Pemiliknya? Dia seorang pemuda bujangan, anak seorang keturunan darah biru di lingkungan kerajaan Nederland. Jhon Reoland Van Loursef namanya. “Kapten, St. Monicca siap berlayar.” Seorang anak kapal melapor. Berlahan, Reoland menuruni tangga kapal. Ia begitu berat meninggalkan perasaan yang lama ia pendam. Ia yang kini berusia 18 tahun, rasanya sudah cukup waktu untuk mengikat janji cinta dan setia. Ia jatuh cinta kepada Marcellia Sudhorf, gadis berdarah Hindia Timur itu. Ayahnya berada di lingkungan kerajaan, ibunya orang Hindia Timur, anak bangsawan tanah Pasundan.

Marcellia gadis anggun. Alisnya tipis di atas mata birunya yang bagai cerah cakrawala tanpa sehelai awan. Titik hitam matanya kuat menusuk. Rambutnya berombak seperti gadis Pasundan membuat lenggok wajah bulat ovalnya penuh daya magis. Kulitnya agak cokelat. Banyak mata terpesona kala bibir tipis ranumnya mekarkan senyum. Tak mungkin Reoland urungkan niatnya juga kali ini, seperti kejadian 3 tahun yang lalu. Bila diurungkan? Huh..! Ia tidak ingin membayangkan. Marcellia termasuk gadis idaman setiap lelaki. Ia tak ingin satu tahun berselang, kelak, ketika ia kembali, Marcellia telah menjadi milik orang lain. Tiba-tiba, Reoland jadi begitu bersemangat menaiki tangga gereja. Ya, Marcellia selalu di gereja.

Membersihkan gereja, membantu pastor tua Jhon Dmusford mempersembahkan misa harian, macam-macam. Reoland dekat dengannya. Dan sepertinya, cinta Reoland tidak bertepuk sebelah tangan. “Marcellia.” Gadis anggun bermata biru itu menoleh. Bibir merahnya merekah. Ia tersenyum menyambut pangerannya. “Aku.. aku ingin berlayar.. berlayar lagi.” Reoland berkata terbata-bata. Sepintas, wajah Marcellia dirundung mendung. Ada awan-awan cokelat dan hitam bergelantungan dan petir siap-siap menggelegar menjadikan titik-titik bening menodai mata indahnya. “Dapatkah saya bertanya padamu?” tanya Reonald. Mata Marcellia berbinar. Akhir-akhir ini, pertanyaan itulah yang ia tunggu untuk ditanya pangerannya. Marcellia diam-diam amat mencintai Reoland. Tiba-tiba bayangan gadis dari Hollandia, West Papua, sebuah pulau mirip surga dalam imajinya itu, yang rambut keriting pirangnya terjuntai sebahu menutupi kulit halusnya itu, ia terbayang dalam imaji Reoland. Cepat melintas, hadis bagai penyihir, menghapus semua rasa cintanya pada Marcellia di hati Reoland. Ya, waktu itu, tiga tahun silam, di pantai Hollandia, salah satu pelabuhan terbesar di pulau Surga itu, ia bertemu bidadari. Ia terpana. Tergoda.

Bayanngan Marcellia berlahan tersingkir, terpojok, hingga hilang ketika matanya beradu pandang dengan sepasang mata cokelat manis di pantai Hollandia. Dialah gadis pribumi pulau Surga itu. “Reoland...” Hm... maa ... maa aaf, maaf Marcellia. Mengapa kau di gereja?” tanya Reoland yang baru saja bangun dari lamunannya itu tergagap menanggapi tepukan tangan Marcellia. Mendung jelas terlihat di wajah Marcellia. Reoland baru tersadar akan apa yang diucapkannya yang tidak menyambung pembicaraannya. Ia juga melihat mendung itu di wajah bidadarinya. “Marcellia, maukah kamu menungguku pulang 1 tahun lagi?” Muka Marcellia memerah. Ia menunduk. Mengangguk dalam malu-malu yang dibuat-buat, tersipu dan bahagia. Kalimat dengan nada-nada demikianlah yang ditunggunya dari tadi. Marcellia sudah ingin lebih dulu mengatakan padanya bahwa ia punya perasaan yang tak dapat ia jelaskan dengan kata-kata. Ia ingin celalu dekat dengannya. Ia ingin Reoland menemaninya dalam hidup. Ia ingin mengatakan ia telah jatuh cinta padanya.

Tapi siapa dia? Dia hanya seorang wanita Nedherland berdarah Timur. Ia merasa tak pantas mendahului lelaki mengutarakan perasaannya. “Marcellia, 1 tahun lagi, aku akan pulang. Aku akan kaya dengan Gaharu, Kayu Manis dan Damar dari West Papua. Kita akan menikah.” Marcellia bahagia. Matanya berbinar. “Reoland. Saya janji akan setia menunggu kedatanganmu dari menara gereja. Ketika kapalmu merapat, hanya Tuhan yang tahu, betapa bahagianya aku.” *** 15 JUNI 1941, St. Monicca angkat jangkar. Reoland, sejak kecil ia menjadi anak kapal. Ketika itu, ia masih berusia 7 tahun, ketika kapal yang mereka tumpangi karam di laut India. Reoland kecil memeluk sebuah papan, mengapung bersamanya, terombang ambing di tengah gelora samudera Hindia, sampai akhirnya, ia sadar ketika ia berada di rumahsakit Amsterdam. Ia diselamatkan ayah dari ibunya Marcellia, yang juga adalah pedagang rempah. Ayahnya meninggal pada kejadian itu. Ia kemudian menjadi penguasa St. Monicca, kapal yang ditinggal pergi oleh ayahnya.

Bersama ibunya ia hidup tidak lama juga karena tidak lama berselang, meninggal juga, kembali bersatu dengan suaminya di alam baka. Reoland yang baru 10 tahun kala itu harus hidup mandiri. Ia dengan anak buah kapalnya tidak lagi berdagang rempah Nusantara sejak saat itu. Mereka merintis dan menekuni usaha baru: berdagang gaharu, kayu manis dan damar. Sejak saat itu, ia tidak lagi berlabuh di pelabuhan Banten seperti ayahnya untuk rempat-rempah. Tidak juga di Pasundan dan Ternate-Tidore. Ia kini ke sebuah pulau baru yang aneh, kaya, unik dan misteri, jauh ke timur: West Papua, sebuah pulau dalam kawasan pasifik. Oh, ya. Soal gadis berambut pirang keriting itu! Sejak 3 tahun yang lalu, ia mengenal seorang gadis Melanesia di pinggiran pelabuhan Hollandia. Ayahnya hanya seorang anak buah kapal yang kerjanya membongkar muatan. Anak gadisnya itu biasa datang ke pelabuhan mengantar makanan buat ayahnya. Oleh kebaikan hati ayahnya, Reoland juga mendapat jatah makan setelah mereka kenal. Siapa gadis Melanesia itu? Reoland tak tahu siapa namanya. Ia hanya kenal ayahnya, David. Siapa ibunya? Ia tak tahu juga.

Dimana rumahnya? Tak penting bagi Reoland. Ia hanya tahu, ia biasa datang ke pelabuhan. Pasti rumahnya tak jauh dari pelabuhan. Ia wanita berkulit cokelat dengan rambut pirang keriting, kemerahan, selalu tergerai setiap angin pantai berhembus. Kaos-kaos tipis yang dikenakan memang kalah kelas dari gaun bertabur pernik hiasan milik Marcelia, tapi kecantikan alamiahnya justru tampil natural dan itu ada di tingkatan tertinggi dalam klasifikasi kecantikan menurut Reoland dalam hatinya. Apalagi matanya dan bulu mata lentiknya saat ia mengedipkan mata. Lenggokan pingulnya kala melanggah anggun. Kelincahan dan gestur tubuh yang lepas-bebas dan ekspresif itu, semua menjadikan wanita West Papua ini semakin melebihi gambaran bidadari dalam imaji Reoland. Wanita itu telah mengambil seluruh perhatiannya sejak pertama matanya bertemu mata gadis itu. Pada pertemuan terakhir, Reoland ingat betul, ia pernah duduk bersama dengan gadis itu.

Dengan ayahnya, mereka makan bersama di pelabuhan itu. Tatapan dan kedipan mata gadis itu yang tak mampu ia usir jauh dari bayang-bayang sosok wanita ideal menurutnya. Di hadapan wanita West Papua ini, Marcellia jelas jauh tersingkir. Wanita cokelat manis itu tampil tidak dengan satu kelemahan pun di meja pertimbangan dan keputusan dalam hati Reoland. Kenyataannya, ia lebih dulu telah mengenal Marcellia. Janji akan melamarnya telah terucap. Maka Reoland punya misi khusus untuk perlayarannya ke West Papua kali ini: ia ingin mengenal lebih dekat gadis Melanesia tak bernama itu. Ia ingin menemukan minimal satu saja kelemahan dalam diri gadis Melanesia itu. Ia ingin menjadikan kelemahan gadis Melanesia itu untuk mengusir bayangannya dari dalam hatinya. Ini semua agar dirinya dapat mencintai Marcellia sepenuh hati.

*** AWAL November 1941, St. Monicca dengan selamat membuang jangkar di pelabuhan Hollandia, West Papua. Ia adalah daerah jajahan baru Nederland, yang secara administrasi dan kepengurusan terpisah dengan wilayah jajahan Nederland lainnya. West Papua adalah pulau misteri yang menggoda banyak pelaut Nederland, sejak tahun 1600, ketika Willem Janz melaporkan perjalanannya menelurusi pantai barat dan selatan Papua, dan penemuannya terhadap sungai Digul, sebuah sungai utama dari pulau misteri itu. Janz lalu menginspirasi Le Maire dan Schouten untuk tahun 1616, menjelajahi Teluk Geelvink dengan Byak dan Serui sebagai dua pulau utama di tengah teluk ini. Lalu giliran Jan Carstenz pada Februari 1623. Bertolak dari Maluku, ia menemukan sebuah gunung salju, lalu menamainya Carstenz. Setelahnya, pada 24 Agustus 1828, pemerintah Belanda dirikan benteng Fort du Bus di teluk Triton, Kaimana. Benteng yang didirikan oleh komisaris A.J. Van Delden ini jadi simbol kekuasaan Belanda atas West Papua, yang peresmiannya bertepatan dengan ulang tahun raja Belanda, Willem I. Lalu tahun 1875, Belanda resmi mencatat West Papua yang saat itu bernama Nieuw Guinea sebagai wilayah jajahan. Rambatan perdagangan mulai memasuki West Papua sejak 1890, kala berusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij/KPM mulai melayari pesisir pantai utara West Papua, dilanjutkan pada 1894, pos perdagangan Belanda didirikan di Manokwari. Pada 23 Mei 1894, agama Katholik sudah masuk ke West Papua melalui Le Cocq d’Armandville SJ di Sekeru, Fak Fak. Lalu pada 16 Mei 1895, Inggris dan Belanda membagi Nieuw Guinea menjadi dua. Belanda membagi West Papua yang telah menjadi bagiannya tahun 1898 menjadi dua wilayah afdeling, yakni Afdeling Noord Nieuw Guinea berpusat di Manokwari dan Afdeling West en Zuid Nieuw Guinea berpusat di Fak Fak. Lalu tahun 1901, satu afdeling lahir, Zuid Nieuw Giunea berpusat di muara Kali Maro, Merauke. Lalu tahun 1904, status Hollandia menjadi sub-afdeling dari Afdeling Noord Nieuw Giunea. Pada 7 Maret 1910, dicetuskan Deklarasi Batavia oleh Belanda. Isinya, wilayah Nederlands Nieuw Giunea tidak termasuk wilayah Hindia Belanda. Batas Hindia Belanda adalah dari Aceh sampai Maluku. Sementara Nederlands Nieuw Guinea bersana Suriname langsung di bawah pengawasan Belanda. Maka St. Monicca memang tidak susah untuk mendapatkan akses kepada penduduk setempat di Hollandia karena ia telah berkembang cepat sejak 1890-an karena perdagangan dan pelabuhan laut telah dibangun. Sejak pagi, anak buah kapal St. Monicca sudah sibuk dan hilir mudik bongkar muatan.

Beberapa barang yang dititipkan orang-orang di Nederlands untuk pemerintah dan orang-orang di West Papua diturunkan. Ayah dari gadis itu juga turut kerja. Seperti tahun-tahun sebelumnya, anak gadisnya datang di siang hari mengantar makan buat ayahnya. Dengan cerdik, Reoland mendekati gadis Melanesia itu, yang belakangan diketahui bernama baptis Maria Imaculatta. Berhari-hari ia mendekati, duduk bersama, bercerita panjang dan lebar, makan bersama, Reoland tak menemukan setitikpun kelemahan pada wanita Melanesia itu. Dalam pandangannya, penilaiannya, Maria Miaculatta tampil sempurna di hadapannya! Tapi ia berusaha sekuat tenaga agar ia sendiri tak yakin dengan penilaiannya.

Pasti ada satu kelemahan dari Maria, pikirnya. Maka sederet wanita yang selama ini ada dalam daftar wanita ideal dalam batok kepalanya itu (tentu saja Marcellia ada di urutan pertama daftar ini) ia hadirkan sebagai pembanding. Wanita Melanesia asal bibir pantai utara West Papua ini tetap tak tertandingi. Kecantikan naturalnya, budi baiknya, senyum meronanya, kesederhanaan dan kesopanannya, gerak ekspresif yang energik dengan tetap mempertahankan gemulai standar seorang wanita itu, semua hanya membuat Reoland terpana: ia temukan wanita yang pantas berada di urutan pertama daftarnya. Maria mengalahkan semua wanita yang ia puja! Semakin ia mendekati, berusaha menggali segala sesuatu tentang diri Maria, ia semakin jatuh hati padanya. Semakin gigih ia mencari kelemahan, semakin banyak pula kelebihan dan hal-hal positif yang ditampilkan Maria, makin kuat pula cintanya. Bayangan Marcellia awalnya hadir duapertiga dalam imajinya.

Semakin ia mengenal Maria, bayangan Marcellia menjadi setengah. Kini, hampir seperempat saja tersisa bayangan Marcellia. Lebihnya? Maria, gadis West Papua itu telah merebutnya. Segala yang baik yang mesti dimilik seorang wanita ideal dalam imajinya sepertinya telah menjadi bahan-bahan yang digunakan Sang Tuhan membentuk wanita West Papua yang satu ini. Setelah barang dibongkar, dagangan telah laku, kini Reoland memerintahkan anak buahnya membeli gaharu, damar, dan kayu manis dari beberapa tengkulak yang didatangkannya dari beberapa daerah terpencil di sekitar Teluk Triton. Setelah muatan penuh, St. Monicca bersiap untuk berlayar kembali. Dan kenyataan bahwa ia akan berlayar kembali meninggalkan Maria Imaculatta itu membuat malam itu menjadi malam terberat bagi Reoland. Ia tidak dapat tidur malam itu.

Betapa tidak, ia akan segera tinggalkan gadis itu, Maria, seorang anak dara pulau Sorga yang sempurnanya melebihi bidadari, yang keseluruhan tubuh dan jiwanya seakan-akan dibentuk dari segala unsur-unsur dalam kriteria wanita idaman menurut seorang Reoland. Yang terbaik ada di depan mata. Haruskah ia meninggalkannya? Pikiran ini membuat matanya tak terpejam. Lalu berlahan-lahan terpejam tapi tak kunjung dibawa lelap. Asisten mandor dek gudang yang mengontrol semua aktivitas barang masuk dan keluar kapal yang bertanggungjawab pula atas keberadaan semua barang di atas St. Monicca yang tetap terjaga hingga larut malam itu telah mencurigai kegelisahan kaptennya, Reoland. Ia terlihat seperti orang yang punya beban pikiran, berkali-kali mondar mandir di gelandak kapal, lalu masuk lagi ke biliknya. Tiga kali. Tapi siapa dia di kapal dagang ini? Ia tidak berani bertanya.

*** 1 DESEMBER 1941. Pagi-pagi, di ufuk timur, fragmen-fragmen sinar matahari yang berhasil menerobos pohon-pohon kelapa dan bakau di bibir pantai utara telah berhamburan hingga ke dalam kapal. Matahari semakin meninggi. Lalu lihatlah, St. Monicca yang diam manis di bibir pantai Hollandia dengan pasir putih indah West Papua itu kentara dirusak pemandangannya oleh aktivitas anak buah kapal yang siap-siap. Sangat sibuk.

Di pelabuhan, ciumlah aroma ikan bakar dari kelompok anak buah kapal yang sedang bakar-bakar, acara tetap anak kapal St. Monicca sebelum meninggalkan West Papua. Numpung ada di pulau Surga, pikir mereka. Ikan sesegar itu jarang di Amsterdam. Lalu lihatlah barisan anak buah kapal yang sibuk mengangkut sayuran hijau, umbi-umbian dan tepung sagu untuk bekal perjalanan. Beberapa anak buah kapal sibuk dengan bibir yang tak henti berolahraga: bernegosiasi dengan penduduk West Papua untuh harga beberapa jenis burung Cenderawasih untuk dibawa pulang ke Nederland sebagai oleh-oleh. Matahari telah di atas kapal saat St Monicca siap angkat jangkar. Tapi sang kapten, Reoland, ia tidak ada di kamarnya sejak pagi. Ia hilang tanpa jejak.

Di atas mejanya dalam kamar, hanya ada secarik kertas yang ditandatangani Reoland, yang isinya memerintahkan asistennya, Van Boegar, yang tak lain adalah pamannya sendiri, untuk memimpin St. Monicca kembali menuju Amsterdam, karena mengikuti situasi dunia antara Jepang dan Amerika akhir tahun itu, Reoland telah berfirasat buruk. Satu bulan, seluruh anak kapal St. Monicca mencari Jhon Reoland Van Loursef. Hollandia geger dengan hilangnya seorang anak bangsawan bernama Jhon Reoland Van Loursef. Segala usaha dilakukan. Namun Ia tidak ditemukan. Lalu tibalah putaran waktu pada Minggu pagi tanggal 7 Desember 1941.

Perang Pasifik pecah, dimulai oleh serangan armada Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawai. Pagi itu, 19 kapal dan 122 pesawat milik Amerika dihancurkan Jepang. Setidaknya Amerika yang sesumbar mulut memproklamirkan diri jadi jawara dunia tunduk dengan menjadi mayatnya 2.400 pasukannya di ujung keganasan barisan Samurai Jepang. Dengan cepat Jepang menguasai pasifik, sudah termasuk hingga ke West Papua. Belanda di West Papua segera menyingkir ke Australia. St. Monicca segera menghentikan pencarian dan bersiap balik ke Nederlands. Tapi tanpa Reoland. Ya, tanpa sang kapten dan pemilik kapal. St. Monicca kini sepenuhnya dalam kendali Van Boegar. Sekembalinya, di Amsterdam, St. Monicca disambut seorang gadis jelita yang telah lama menunggu kapal putih itu merapat di pelabuhan. Dialah Marcellia Sudhorf. Dengan dandanannya yang teramat menawan, gadis itu terlihat bagai bidadari. Kapal merapat. Anak kapal turun satu demi satu. Boegar yang tak mengerti maksud Marcellia di dermaga pelabuhan yang ramai itu hanya meliriknya sekilas saja sambil berdoa dalam hati, semoga anak perempuanya itu kelak secantik dia. Tidak bertemu yang ditunggu, Marcellia naik ke menara gereja. Selama hidup ia tidak menikah. Ia tolak belasan lelaki yang mendekatinya. Hanya satu yang dia cintai: Jhon Reoland Van Loursef. Ia menunggu Reoland dari menara gereja, seperti janjinya, sampai ajal menjemput Marcellia pada usia 57 tahun.



Sumber :
Topilus B. Tebai
Topilus B. Tebai

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Topilus B. Tebai

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ


Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua

Doc T anah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antro...