Postingan Populer

Sabtu, 15 Oktober 2016

Teori Pemangku Kepentingan



Istilah ‘Stakeholders’ atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. Pemangku kepentingan adalah seseorang, organisasi atau kelompok dengan kepentingan terhadap suatu sumberdaya alam tertentu (Brown et al 2001). Stakeholder is a person who has something to gain or lose through the outcomes of a planning process, programme or project (Dialogue by Design 2008). Pemangku kepentingan mencakup semua pihak yang terkait dalam pengelolaan terhadap sumberdaya. Menurut Witold Henisz guru besar pada Sekolah Bisnis Wharton, termasuk semua orang dari politisi lokal dan nasional dan tokoh atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok paramiliter, LSM dan badan-badan internasional. Dalam konteks perusahaan, Clarkson (dalam artikel tahun 1994) memberikan definisi pemangku kepentingan secara lebih khusus sebagai suatu kelompok atau individu yang menanggung suatu jenis risiko baik karena mereka telah melakukan investasi (material ataupun manusia) di perusahaan tersebut (‘Stakeholders sukarela’), ataupun karena mereka menghadapi risiko akibat kegiatan perusahaan tersebut (‘Stakeholders non-sukarela’). Berdasarkan pandangan tersebut pemangku kepentingan adalah pihak yang akan dipengaruhi secara langsung oleh keputusan dan strategi perusahaan.
Dalam Bussiness Dictionary, pemangku kepentingan didefinisikan kelompok atau organisasi yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dalam sebuah organisasi karena dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan organisasi, tujuan, dan kebijakan. Meskipun para pelaku biasanya melegitimasi dirinya sebagai stakeholder, tetapi semua pemangku kepentingan tidak sama dan memiliki kedudukan yang berbeda. Misalnya, pelanggan perusahaan berhak untuk praktek perdagangan yang adil tetapi mereka tidak berhak untuk mendapat pertimbangan yang sama sebagai karyawan perusahaan. Pemangku kepentingan kunci lain dalam organisasi bisnis diantaranya kreditor, pelanggan, direksi, karyawan, pemerintah (dan badan-badannya), pemilik (pemegang saham), pemasok, serikat pekerja, dan masyarakat dari mana bisnis menarik sumber daya yang dimiliki.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemangku kepentingan adalah seluruh pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang menjadi fokus kajian atau perhatian. Misalnya terkait isu perikanan, maka makna pemangku kepentingan sebagai parapihak yang terkait dengan isu perikanan, seperti nelayan, masyarakat pesisir, pemilik kapal, anak buah kapal, pedagang ikan, pengolah ikan, pembudidaya ikan, pemerintah, pihak swasta di bidang perikanan, dan sebagainya. Seorang pemangku kepentingan adalah seseorang yang mempunyai sesuatu yang dapat iaperoleh at au akan kehilangan akibat dari sebuah proses perencanaan atau proyek. Dalam banyak siklus, mereka disebut sebagai kelompok kepentingan, dan mereka bisa mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan hasil suatu proses politik. Seringkali akan sangat bermanfaat bagi proyek penelitian untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan kepedulian berbagai pemangku kepentingan, terutama jika proyek diracang bertujuan mempengaruhi kebijakan (Start & Hovland dalam http://www.smeru.or.id/).
Beberapa istilah penting dalam kerangka definisi pemangku kepentingan, diantaranya;
Stakeholder Engagement is the process of effectively eliciting stakeholders’ views on their relationship with the organisation/programme/project (Friedman and Miles 2006).
Stakeholder Analysis is a technique used to identify and assess the influence and importance of key people, groups of people, or organisations that may significantly impact the success of your activity or project (Friedman and Miles 2006).
Stakeholder Management is essentially stakeholder relationship management as it is the relationship and not the actual stakeholder groups that are managed (Friedman and Miles 2006).

Tipologi Pemangku Kepentingan

Secara umum pemangku kepentingan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: Pertama, pemangku kepentingan primer atau ‘key stakeholder’ adalah mereka yang pada akhirnya terpengaruh, baik secara positif atau negatif oleh tindakan organisasi. Kedua, Pemangku kepentingan sekunder: adalah ‘perantara’, yaitu, orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan organisasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Clarkson yang membagi pemangku kepentingan menjadi dua. Pemangku kepentingan primer adalah ‘pihak di mana tanpa partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan.’ Contohnya adalah pemegang saham, investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Menurut Clarkson, suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemangku kepentingan primer yang merupakan rangkaian kompleks hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan, harapan, dan tanggung jawab yang berbeda. Sementara, pemangku kepentingan sekunder didefinisikan sebagai ‘pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi mereka tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk kelangsungan hidup perusahaan.’ Contohnya adalah media dan berbagai kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan hidupnya, tapi mereka bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan mengganggu kelancaran bisnis perusahaan.

Dalam pandangan perusahaan sebagai sebuah entitas bisnis stakeholder dipandang sebagai inividu atau Kelompok yang dipengaruhi oleh dan/atau memiliki kepentingan dalam operasi dan tujuan perusahaan. Perusahaan memiliki berbagai kelompok pemangku kepentingan yang saling berhubungan secara luas. Pemangku kepentingan tersebut dikelompok menjadi tiga katagori: (a) pemangku kepentingan internal, yaitu individu atau kelompok yang berada dalam struktur organisasi bisnis yang memiliki pengaruh terhadap tujuan perusahaan; (b) pemangku kepentingan eksternal, yaitu individu atau kelompok yang berada di luar struktur organisasi bisnis yang memiliki pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan dan proses bisnis; dan (c) pemangku kepentingan penghubung yaitu inidividu atau kelompok yang memiliki peran sebagai penghubung atau memiiki keterkaitan dengan pemangku kepentingan internal dan eksternal. Masing-masing pemangku kepentingan berbeda baik dari segi perhatian dan minat dalam kegiatan bisnis dan juga kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan perusahaan.


Landasan Teoritis

Dalam pandangan tradisional tentang perusahaan, pemegang saham mayoritas dipandang sebagai pihak yang diakui dalam hukum bisnis di banyak negara, para pemegang saham atau pemegang saham adalah pemilik perusahaan, dan perusahaan memiliki kewajiban fidusia yang mengikat untuk menempatkan mereka kebutuhan pertama, untuk meningkatkan nilai bagi mereka. Dalam tua input-output model dari korporasi, perusahaan mengubah masukan dari investor, karyawan, dan pemasok menjadi berguna (dijual) output yang pelanggan membeli, sehingga kembali beberapa keuntungan modal untuk perusahaan. Dengan model ini, perusahaan hanya memenuhi kebutuhan dan keinginan dari empat pihak: investor, karyawan, pemasok, dan pelanggan. Dalam teori pemangku kepentinganyang menyatakan bahwa ada pihak lain yang terlibat, termasuk badan pemerintah, kelompok politik, asosiasi perdagangan, serikat pekerja, masyarakat, perusahaan terkait, calon karyawan, calon pelanggan, dan masyarakat pada umumnya. Kadang para pesaing perusahaan diperhitungkan sebagai stakeholder.
Pandangan pemangku kepentingan dari strategi adalah teori instrumental korporasi, mengintegrasikan kedua pandangan berbasis sumber daya serta pandangan berbasis pasar, dan menambahkan tingkat sosial-politik. Pandangan perusahaan digunakan untuk mendefinisikan para pemangku kepentingan spesifik dari sebuah perusahaan (teori normatif dari Donaldson), identifikasi stakeholder serta memeriksa kondisi di mana partai-partai ini harus diperlakukan sebagai stakeholder (teori deskriptif stakeholder arti-penting). Kedua pertanyaan membentuk pengobatan modern Teori Pemangku Kepentingan.
Ada banyak artikel dan buku yang ditulis pada teori pemangku kepentningan. Karya ilmiah terbaru tentang topik teori pemangku kepentingan dengan memberikan contoh penelitian termasuk Donaldson dan Preston dan Mitchell, Agle, dan Wood (1997), Friedman dan Miles (2002) dan Phillips (2003). Donaldson dan Preston berpendapat bahwa dasar normatif dari teori ini, termasuk “identifikasi pedoman moral atau filosofis untuk operasi dan manajemen perusahaan”, adalah inti dari teori. Mitchell dkk menurunkan suatu tipologi pemangku kepentingan berdasarkan atribut kekuasaan (sejauh pihak memiliki sarana untuk memaksakan kehendaknya dalam suatu hubungan), legitimasi (secara sosial diterima dan diharapkan struktur atau perilaku), dan urgensi (waktu sensitivitas atau kekritisan klaim stakeholder) [4] Dengan memeriksa kombinasi atribut-atribut ini secara biner, 8 jenis stakeholder berasal bersama dengan implikasinya bagi organisasi. Friedman dan Miles mengeksplorasi implikasi dari hubungan perdebatan antara stakeholder dan organisasi dengan memperkenalkan kepentingan kompatibel/tidak kompatibel dan koneksi yang diperlukan/kontingen sebagai atribut tambahan yang dapat digunakan untuk memeriksa konfigurasi dari hubungan ini.
Riyadi (2008) menjelaskan dua perspektif berkaitan dengan “peran bisnis dalam masyarakat.” Cara pandang pertama, “pandangan klasik” (classical view), yang didasarkan pada teori ekonomi neo-klasik, melihat peran bisnis dalam masyarakat murni sebagai pencarian keuntungan, yaitu keuntungan bagi para pemegang saham (shareholder). Cara pandang ini disebut juga sebagai “perspektif pemegang saham” (shareholder perspective). Sebaliknya, “pandangan pemangku kepentingan” (stakeholder view), yang didasarkan pada teori pemangku kepentingan, berkeyakinan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial itu menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Pandangan klasik memposisikan dua peran pokok yang pertaman bisnis sebagai “pencarian keuntungan murni”, dimana bisnis memiliki standar etis yang lebih rendah daripada masyarakat, bisnis tidak memiliki tanggung jawab sosial kecuali kepatuhan pada hukum. Kedua, bisnis sebagai “pencarian keuntungan yang terbatas” dimana bisnis harus memaksimalkan kekayaan para pemegang saham, mematuhi hukum dan memiliki aspek etis. Pandangan klasik melihat bahwa ketidakjujuran hingga pada taraf tertentu dapat diterima karena para pebisnis memiliki standard moral yang lebih rendah dari pada masyarakat pada umumnya. Gertakan khas dunia bisnis (misalnya mengatakan sesuatu secara berlebihan), aksi penipuan merupakan hal-hal yang boleh, karena tujuan bisnis tidak lain tidak bukan untuk mencari keuntungan. Hanya saja, meskipun ia bisa mengabaikan standar moral dan etis, bisnis tetap harus mengikuti aturan main menurut hukum yang berlaku. Pendukung utama pandangan pertama ini adalah Carr.
Perspektif kedua dalam pandangan klasik ini adalah “pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas”. Pendukung pandangan klasik jenis kedua ini diantaranya Milton Friedman yang memandang bahwa perusahaan haruslah bertindak jujur. Kejujuran itu dipahami Friedman dalam kerangka tujuan perusahaan itu sendiri, yang bahkan satu-satunya, yaitu pencarian keuntungan bagi para pemegang saham. Yang mencari keuntungan bagi para pemilik saham adalah para manajernya. Karena itu, tidak etis kalau para manajer disuruh memikul beban tanggung jawab sosial perusahaan kepada pihak lain selain para pemegang atau pemilik saham. Menurut Friedman, menuntut perusahaan untuk mengemban tanggung jawab sosial akan merusak sendi-sendi sebuah masyarakat yang bebas dengan sistem ekonomi-bebas (free-enterprise) dan sistem kepemilikan individual. Masalah sosial menjadi ranah negara untuk mengelolanya.
Pandangan klasik mendasarkan pembenaran teoretisnya pada teori ekonomi neo-klasik yang memiliki tiga klaim: pasar bebas, efisiensi ekonomi, dan maksimisasi keuntungan. Pandangan ini didasarkan pada tiga cara: Pertama, pemegang saham adalah para pemilik korporasi. Para manajer tidak punya hak untuk bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, termasuk menggunakan sumber daya perusahaan untuk tujuan sosial. Kedua, peran perusahaan adalah menghasilkan kekayaan. Pembebanan tanggung jawab sosial pada perusahaan bisa merusak kinerjanya. Ketiga, peran tanggung jawab sosial itu diemban oleh lembaga lain yaitu pemerintah; perusahaan dan para manajer tidak dilengkapi dengan peran semacam itu
Filsuf politik Charles Blattberg mengkritik teori pemangku kepentingan untuk membangun asumsi bahwa kepentingan berbagai pihak dapat, di terbaik, terancam atau seimbang satu sama lain. Blattberg berpendapat bahwa ini adalah produk penekanannya pada negosiasi sebagai modus utama dari dialog untuk mengatasi konflik antara kepentingan para pihak. Dia merekomendasikan percakapan bukan dan ini menyebabkan dia untuk membela apa yang disebutnya ‘patriotik’ konsepsi dari korporasi sebagai alternatif yang berhubungan dengan teori pemangku kepentingan. Disamping iru teori pemangku kepentingan juga didefinisikan oleh Rossouw dkk.sebagai kewajiban etis dalam pengambilan keputusan. Freeman (1984), berpandapat bahwa perusahaan terkemuka telah menerima kenyataan bahwa mereka bukanlah semata-mata pelayan kepentingan pemilik modal, melainkan juga pemangku kepentingan lain yang lebih luas. Pemangku kepentingan ini didefinisikan sebagai pihak-pihak yang dapat terpengaruh dan/atau mempengaruhi kebijakan serta operasi perusahaan. Clarkson (1995) semakin meyakinkan dunia bisnis bahwa hanya dengan memperhatikan semua pemangku kepentinganlah sebuah perusahaan dapat mencapai kinerja sosial yang tinggi (yaitu perolehan social license to operate). Permasalahannya, siapa saja yang dapat dianggap sebagai pemangku kepentingan yang sah terhadap operasi perusahaan? Jawaban pertanyaan ini pertama-tama dikemukakan oleh Mitchell, Agle dan Wood (1997), yang menyatakan bahwa derajat kesahihan pemangku kepentingan ditentukan oleh aspek kekuatan, legitimasi, dan urgensi. Sejak itu ketiga kriteria itu dipergunakan secara luas, sampai kemudian Driscoll dan Starik (2004) mengusulkan kedekatan (proximity) sebagai kriteria lainnya
Teori pemangku kepentingan didasarkan pada pemahaman bahwa melampaui para pemegang saham, terdapat beberapa agen dengan sebuah kepentingan dalam tindakan dan keputusan perusahaan. Mengutip Freeman, seorang penganjur pertama teori ini, yang dimaksud dengan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari atau kerugian oleh, dan yang hak-haknya dilanggar atau dihargai oleh, tindakan korporasi. Yang termasuk pemangku kepentingan adalah para pemegang saham itu sendiri, para kreditor, pekerja atau buruh, para pelanggan, pemasok, dan masyarakat atau komunitas pada umumnya. Teori pemangku kepentingan menekankan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial yang menuntut harus mempertimbangkan semua kepentingan pelbagai pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Acuan pertimbangan para manajer dalam mengambil keputusan dan tindakan bukan semata-mata para pemegang saham, melainkan juga pihak lain mana pun yang terkena pengaruhnya. Dalam pandangan teori pemangku kepentingan melihat persepektif bisnis sebagai “kesadaran sosial” dimana perusahaan harus sensitive terhadap kerusakan potensial dari tidakannya terhadap berbagai kelompok pemangku kepentingan. Disamping itu bisnis dipandang sebagai “aktivitas sosial” yang memandang perusahaan harus menggunakan segala sumber dayanya untuk kepentingan publik.
Teori pemangku kepentingan dapat digunakan dalam tiga cara: Pertama adalah cara deskriptif atau empiris, di mana teori ini digunakan untuk “menggambarkan dan kadang menjelaskan karakteristik dan perilaku spesifik korporasi. Sifat pendekatan ini adalah deskriptif. Kedua adalah cara instrumental, di mana teori ini digunakan untuk “mengidentifikasi kaitan atau kurangnya koneksi antara manajemen pemangku kepentingan dan pencapaian sasaran korporasi tradisional. Misalnya keuntungandan pertumbuhan. Sifat pendekatan ini adalah preskriptif. Pendekatan instrumental melihat para pemangku kepentingan sebagai ‘alat’ untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan efisiensi. Para pemangku kepentingan hanya diperhatikan sejauh itu menunjang tujuan-tujuan lebih tinggi dari sebuah perusahaan yaitu maksimisasi keuntungan, keberlangsungan dan pertumbuhan. Ketiga adalah cara normatif, di mana teori ini digunakan untuk menginterpretasikan fungsi perusahaan dan mengidentifikasi pandu¬an moral atau filosofis yang harus diikuti berkaitan dengan operasi dan manajemen perusahaan. Pendekatan ini tentu saja bersifat normatif-preskriptif, dan karena itu kadang dikacaukan dengan pendekatan kedua. Pendekatan normatif melihat para pemangku kepentingan sebagai tujuan.
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam memandang signifikansi pemangku kepentingan, yaitu kekuasaan/kekuatan (power), legitimasi, dan urgensi. Meskipun ketiga hal tersebut bersama-sama dan saling terkait dalam mempengaruhi pengambilan tindakan oleh sebuah perusahaan, tetapi yang paling besar dari ketiganya adalah kekuasaan/kekuatan. Kekuasaan/kekuatan yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan nyata suatu pemangku kepentingan untuk melakukan tekanan dan tuntutan baik secara sosial, politis, maupun hukum. Bisa terjadi bahwa suatu pemangku kepentingan memiliki legitimasi dan memiliki urgensitas yang sangat tinggi (keadaan mereka sudah sangat membahayakan dari segi kelangsungan hidup) untuk melakukan penuntutan kepada sebuah perusahaan, namun karena mereka tidak memiliki kekuasaan yang real (misalnya mereka terpecah belah dalam memandang persoalan itu, bahkan ada yang menerima begitu saja hal tersebut sebagai sebuah ”bencana alam” dan bukan ”bencana buatan manusia” yang harus dituntut), maka perusahaan bisa enggan atau bahkan tidak mau melakukan tindakan apa pun. Branco dan Rodriguez mengutip contoh kasus di Kanada dan Swedia28di mana perusahaan-perusahaan kehutanan lebih memprioritaskan tuntutan para pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan real ketimbang tuntutan yang hanya dilontarkan berdasarkan argumen etis atau tanggung jawab sosial belaka

Nilai-nilai Pelibatan Pemangku Kepentingan

Prof Witold Henisz dari Wharton Business School telah mempelajari manajemen risiko sosial dan politik selama 15 tahun, dengan fokus  pada penggunaan strategi bagaimana organisasi menghindar dari resiko dengan studi kasus perusahaan pertambangan. Dalam kajiannya Henisz  menggunakan data dari 26 tambang emas yang dimiliki oleh 19 perusahaan publik antara tahun 1993 dan 2008. Melalui coding lebih dari 50.000 “peristiwa pemangku kepentingan” yang ditemukan dan dilaporkan media mereka mengembangkan suatu indeks tingkat kerja sama pemangku kepentingan atau konflik pertambangan. Dari hasil studi yang dilakukan ditemukan bahwa ada investasi berbasis proyek yang tertunda atau terganggu akibat orang-orang khawatir tentang pasokan air, pola lalu lintas, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Henisz juga menyusun sebuah daftar penerapan terbaik untuk bisnis yang serius melibatkan para pemangku kepentingan. Pertama, mengubah pola pikir perusahaan sehingga karyawan di seluruh papan percaya bahwa pemangku kepentingan kunci. Kedua, mendapatkan data yang diperlukan untuk menjelaskan siapa pemangku kepentingan, apa yang mereka inginkan dan yang terhubung ke siapa. Ketiga, menemukan cara untuk membangun jaringan informasi melalui datalink untuk kepentingan kinerja operasi, mengintegrasikan informasi tersebut ke dalam sistem manajemen risiko (integrated risk management) daripada memperlakukannya sebagai kategori secara terpisah. Keempat, berinteraksi dengan para pemangku kepentingan di tingkat masyarakat dengan cara yang asli dan adil; merespon kekhawatiran mereka dan koneksi bentuk daripada hanya menulis cek. Kelima, menemukan cara untuk menyebarkan informasi tentang proyek yang sedang berlangsung secara kredibel dan transparan.
Michael Porter sebagai seorang tokoh terkenal pada strategi bisnis dan daya saing, memperkenalkan konsep “menciptakan nilai bersama”, dalam rangka memberikan jalan inovasi bagi praktisi secara keberlanjutan. Menciptakan nilai bersama dikemas ulang dari prinsip-prinsip keberlanjutan, dimana peran dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam membangun nilai-nilai bersama sangat penting dalam membangun produk dan inovasi daya sain dalam pasar yang semakin komptetitif. Munculnya pemain lain mengisyaratkan penting nilai-nilai bersama yang perlu disepakati sebagai acuan bisnis untuk menghindari dampak dalam jangka panjang. Tetapi juga menekankan pentingnya mendekati keterlibatan pemangku kepentingan sebagai perluasan dari sistem berfikir. Setiap lembaga yang bertahan melakukannya karena ketahanan dari sistem di mana ia beroperasi. Ketahanan berasal dari keragaman individu atau organisasi dan kuat hubungan antara mereka. Keterlibatan pemangku kepentingan merupakan kesempatan untuk membangun dan memperkuat hubungan ini serta memanfaatkan kepercayaan otak kolektif dari sistem, tetapi dengan kata Porter, akan membutuhkan pemimpin dan manajer untuk mengembangkan apresiasi yang lebih dalam kebutuhan masyarakat dan kemampuan untuk berkolaborasi antar keuntungan atau batas nirlaba.
Dalam dunia yang semakin terbuka, dengan buy-in dari pelanggan, pemasok, karyawan, dan setiap mitra kelembagaan lainnya sangat penting untuk mendapatkan manfaat. Keterlibatan pemangku kepentingan telah lama dianggap sebagai pertahanan yang baik, tetapi pelanggaran lebih baik dan harus di jantung dari setiap strategi untuk berinovasi. Perusahaan perlu memahami bagaimana mereka harus bekerja dengan masyarakat dalam menghadapi tantangan kompetitif dengan membangun nilai-nilai inovasi inovasi ketika perusahaan berusaha untuk tidak hanya melibatkan para pemangku kepentingan, tetapi juga berkolaborasi dengan masyarakat atau pemangku kepentingan yang lebih luas.
Konsep bisnis telah mengalami evolusi, dimana nilai-nilai sosial menjadi landasan dalam penetapan berbagai kebijakan, proses hinggga hasil yang diperoleh oleh perusahaan. Pertama-tama ada pembedaan antara konsep kewajiban sosial (social obligation), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan kepedulian sosial (social responsiveness). Kewajiban sosial berkaitan dengan perilaku atau tindakan perusahaan dalam merespon kekuatan pasar atau ketentuan hukum. Kewajiban sosial bersifat proskriptif atau negatif untuk menentukan hal-hal yang dianggap etis tidak boleh dilanggar.. Tanggung jawab sosial menuntut adanya kesepadanan antara perilaku perusahaan dengan norma-norma sosial yang berlaku, nilai dan harapan yang diletakkan dalam tindakan perusahaan. Sifatnya adalah preskriptif atau positif yang mengharuskan bertindak untuk kepentingan masyarakat.. Kepedulian sosial menekankan bahwa yang penting bukanlah bagaimana sebuah perusahaan harus merespon tekanan sosial, tetapi apa yang seharusnya menjadi peran perusahaan dalam jangka panjang dalam sebuah sistem sosial yang selalau berubah. Ide dasarnya adalah bahwa orientasi bisnis bersifat antisipatoris dan preventif. Dengan demikian dskursu peran perusahaan terhadap masyarakat mencakup tanggung jawab sosial dan kepedulian sosial, sementara kewajiban sosial lebih terkait dengan kinerja ekonomi murni sebuah perusahaan atau bisnis.

Daftar Pustaka

Branco, Manuel Castelo dan Lúcia Lima Rodriguez, “Positioning Stakeholder Theory within the Debate on Corporate Social Responsibility”, EJBO (Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies), Vol. 12, No. 1(2007), hlm. 5-15.

Carr, A. Z., “Is Business Bluffing Ethical”, Harvard Business Review, Vol. 46No. 1, 1968, hlm. 143-153.Carroll, A. B., “A Three-Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4No. 4, 1979, hlm. 497-505.

Carroll, A. B., “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, Business Horizons, Vol. 34No. 4, 1991, hlm. 39-48.

Clapham, A. dan S. Jerbi, Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses, dapat diunduh di http://www.business-humanrights.org/Clapham-Jarbi-paper.htm.

Donaldson, T. dan L. E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications”, Academy of Management Review, Vol. 20 No. 1, 1995, hlm. 65-91.

Frederick, W. C., “From CSR1 to CSR2: The Maturing of Business-and-Society Thought”, Business and Society, Vol. 33No. 2, 1994, hlm. 150-164.

Freeman, R. Edward, “A Stakeholder Theory of the Modern Corporation”, dalam L.B. Pincus (ed.), Perspectives in Business Ethics, Singapore: McGraw Hill, 1998, hlm. 171-181.

Lantos, G. P., “The Ethicality of Altruistic Corporate Social Responsibility”,Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 NO. 3, 2002, hlm. 205-230.

Levitt, T., “The Dangers of Social Responsibility”, Harvard Business Review, Vol. 33 No. 5, 19 58, hlm. 41 -50.

Riyadi E.S. Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: dari Pemegang Saham (Shareholder) ke Pemangku Kepentingan (Stakeholder). Dignitas Volume V No. II Tahun 2008

Entri yang Diunggulkan

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua

Doc T anah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antro...