Istilah ‘Stakeholders’ atau dinamakan pemangku
kepentingan adalah kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi
kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. Pemangku kepentingan adalah seseorang,
organisasi atau kelompok dengan kepentingan terhadap suatu sumberdaya alam
tertentu (Brown et al 2001). Stakeholder is a person who has something to
gain or lose through the outcomes of a planning process, programme or project
(Dialogue by Design 2008). Pemangku kepentingan mencakup semua pihak yang
terkait dalam pengelolaan terhadap sumberdaya. Menurut Witold Henisz guru besar
pada Sekolah Bisnis Wharton, termasuk semua orang dari politisi lokal dan
nasional dan tokoh atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok paramiliter,
LSM dan badan-badan internasional. Dalam konteks perusahaan, Clarkson (dalam
artikel tahun 1994) memberikan definisi pemangku kepentingan secara lebih
khusus sebagai suatu kelompok atau individu yang menanggung suatu jenis risiko
baik karena mereka telah melakukan investasi (material ataupun manusia) di
perusahaan tersebut (‘Stakeholders sukarela’), ataupun karena mereka menghadapi
risiko akibat kegiatan perusahaan tersebut (‘Stakeholders non-sukarela’).
Berdasarkan pandangan tersebut pemangku kepentingan adalah pihak yang akan
dipengaruhi secara langsung oleh keputusan dan strategi perusahaan.
Dalam Bussiness Dictionary, pemangku kepentingan
didefinisikan kelompok atau organisasi yang memiliki kepentingan langsung atau
tidak langsung dalam sebuah organisasi karena dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh tindakan organisasi, tujuan, dan kebijakan. Meskipun para
pelaku biasanya melegitimasi dirinya sebagai stakeholder, tetapi semua pemangku
kepentingan tidak sama dan memiliki kedudukan yang berbeda. Misalnya, pelanggan
perusahaan berhak untuk praktek perdagangan yang adil tetapi mereka tidak
berhak untuk mendapat pertimbangan yang sama sebagai karyawan perusahaan.
Pemangku kepentingan kunci lain dalam organisasi bisnis diantaranya kreditor,
pelanggan, direksi, karyawan, pemerintah (dan badan-badannya), pemilik
(pemegang saham), pemasok, serikat pekerja, dan masyarakat dari mana bisnis
menarik sumber daya yang dimiliki.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa pemangku kepentingan adalah seluruh pihak yang terkait dengan isu dan
permasalahan yang menjadi fokus kajian atau perhatian. Misalnya terkait isu
perikanan, maka makna pemangku kepentingan sebagai parapihak yang terkait
dengan isu perikanan, seperti nelayan, masyarakat pesisir, pemilik kapal, anak
buah kapal, pedagang ikan, pengolah ikan, pembudidaya ikan, pemerintah, pihak
swasta di bidang perikanan, dan sebagainya. Seorang pemangku kepentingan adalah
seseorang yang mempunyai sesuatu yang dapat iaperoleh at au akan kehilangan
akibat dari sebuah proses perencanaan atau proyek. Dalam banyak siklus, mereka
disebut sebagai kelompok kepentingan, dan mereka bisa mempunyai posisi yang
kuat dalam menentukan hasil suatu proses politik. Seringkali akan sangat
bermanfaat bagi proyek penelitian untuk mengidentifikasi dan menganalisis
kebutuhan dan kepedulian berbagai pemangku kepentingan, terutama jika proyek
diracang bertujuan mempengaruhi kebijakan (Start & Hovland dalam http://www.smeru.or.id/).
Beberapa istilah penting dalam kerangka definisi
pemangku kepentingan, diantaranya;
Stakeholder Engagement
is the process of effectively eliciting stakeholders’ views on their
relationship with the organisation/programme/project (Friedman and Miles
2006).
Stakeholder Analysis is a technique used to identify and assess the influence and importance of key people, groups of people, or organisations that may significantly impact the success of your activity or project (Friedman and Miles 2006).
Stakeholder Management is essentially stakeholder relationship management as it is the relationship and not the actual stakeholder groups that are managed (Friedman and Miles 2006).
Stakeholder Analysis is a technique used to identify and assess the influence and importance of key people, groups of people, or organisations that may significantly impact the success of your activity or project (Friedman and Miles 2006).
Stakeholder Management is essentially stakeholder relationship management as it is the relationship and not the actual stakeholder groups that are managed (Friedman and Miles 2006).
Tipologi Pemangku Kepentingan
Secara umum pemangku kepentingan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: Pertama, pemangku kepentingan primer atau ‘key stakeholder’ adalah mereka yang pada akhirnya terpengaruh, baik secara positif atau negatif oleh tindakan organisasi. Kedua, Pemangku kepentingan sekunder: adalah ‘perantara’, yaitu, orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan organisasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Clarkson yang membagi pemangku kepentingan menjadi dua. Pemangku kepentingan primer adalah ‘pihak di mana tanpa partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan.’ Contohnya adalah pemegang saham, investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Menurut Clarkson, suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemangku kepentingan primer yang merupakan rangkaian kompleks hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan, harapan, dan tanggung jawab yang berbeda. Sementara, pemangku kepentingan sekunder didefinisikan sebagai ‘pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi mereka tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk kelangsungan hidup perusahaan.’ Contohnya adalah media dan berbagai kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan hidupnya, tapi mereka bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan mengganggu kelancaran bisnis perusahaan.
Dalam pandangan perusahaan sebagai sebuah entitas
bisnis stakeholder dipandang sebagai inividu atau Kelompok yang dipengaruhi
oleh dan/atau memiliki kepentingan dalam operasi dan tujuan perusahaan.
Perusahaan memiliki berbagai kelompok pemangku kepentingan yang saling
berhubungan secara luas. Pemangku kepentingan tersebut dikelompok menjadi tiga
katagori: (a) pemangku kepentingan internal, yaitu individu atau kelompok yang
berada dalam struktur organisasi bisnis yang memiliki pengaruh terhadap tujuan
perusahaan; (b) pemangku kepentingan eksternal, yaitu individu atau kelompok
yang berada di luar struktur organisasi bisnis yang memiliki pengaruh baik
langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan dan proses bisnis; dan (c)
pemangku kepentingan penghubung yaitu inidividu atau kelompok yang memiliki
peran sebagai penghubung atau memiiki keterkaitan dengan pemangku kepentingan
internal dan eksternal. Masing-masing pemangku kepentingan berbeda baik dari
segi perhatian dan minat dalam kegiatan bisnis dan juga kekuasaan untuk
mempengaruhi keputusan perusahaan.
Landasan Teoritis
Dalam pandangan tradisional tentang perusahaan, pemegang saham mayoritas dipandang sebagai pihak yang diakui dalam hukum bisnis di banyak negara, para pemegang saham atau pemegang saham adalah pemilik perusahaan, dan perusahaan memiliki kewajiban fidusia yang mengikat untuk menempatkan mereka kebutuhan pertama, untuk meningkatkan nilai bagi mereka. Dalam tua input-output model dari korporasi, perusahaan mengubah masukan dari investor, karyawan, dan pemasok menjadi berguna (dijual) output yang pelanggan membeli, sehingga kembali beberapa keuntungan modal untuk perusahaan. Dengan model ini, perusahaan hanya memenuhi kebutuhan dan keinginan dari empat pihak: investor, karyawan, pemasok, dan pelanggan. Dalam teori pemangku kepentinganyang menyatakan bahwa ada pihak lain yang terlibat, termasuk badan pemerintah, kelompok politik, asosiasi perdagangan, serikat pekerja, masyarakat, perusahaan terkait, calon karyawan, calon pelanggan, dan masyarakat pada umumnya. Kadang para pesaing perusahaan diperhitungkan sebagai stakeholder.
Pandangan pemangku kepentingan dari strategi
adalah teori instrumental korporasi, mengintegrasikan kedua pandangan berbasis
sumber daya serta pandangan berbasis pasar, dan menambahkan tingkat
sosial-politik. Pandangan perusahaan digunakan untuk mendefinisikan para
pemangku kepentingan spesifik dari sebuah perusahaan (teori normatif dari
Donaldson), identifikasi stakeholder serta memeriksa kondisi di mana
partai-partai ini harus diperlakukan sebagai stakeholder (teori deskriptif
stakeholder arti-penting). Kedua pertanyaan membentuk pengobatan modern Teori
Pemangku Kepentingan.
Ada banyak artikel dan buku yang ditulis pada
teori pemangku kepentningan. Karya ilmiah terbaru tentang topik teori pemangku
kepentingan dengan memberikan contoh penelitian termasuk Donaldson dan Preston
dan Mitchell, Agle, dan Wood (1997), Friedman dan Miles (2002) dan Phillips
(2003). Donaldson dan Preston berpendapat bahwa dasar normatif dari teori ini,
termasuk “identifikasi pedoman moral atau filosofis untuk operasi dan manajemen
perusahaan”, adalah inti dari teori. Mitchell dkk menurunkan suatu tipologi
pemangku kepentingan berdasarkan atribut kekuasaan (sejauh pihak memiliki
sarana untuk memaksakan kehendaknya dalam suatu hubungan), legitimasi (secara
sosial diterima dan diharapkan struktur atau perilaku), dan urgensi (waktu
sensitivitas atau kekritisan klaim stakeholder) [4] Dengan memeriksa kombinasi
atribut-atribut ini secara biner, 8 jenis stakeholder berasal bersama dengan
implikasinya bagi organisasi. Friedman dan Miles mengeksplorasi implikasi dari
hubungan perdebatan antara stakeholder dan organisasi dengan memperkenalkan
kepentingan kompatibel/tidak kompatibel dan koneksi yang diperlukan/kontingen
sebagai atribut tambahan yang dapat digunakan untuk memeriksa konfigurasi dari
hubungan ini.
Riyadi (2008) menjelaskan dua perspektif
berkaitan dengan “peran bisnis dalam masyarakat.” Cara pandang pertama,
“pandangan klasik” (classical view), yang didasarkan pada teori ekonomi
neo-klasik, melihat peran bisnis dalam masyarakat murni sebagai pencarian
keuntungan, yaitu keuntungan bagi para pemegang saham (shareholder). Cara
pandang ini disebut juga sebagai “perspektif pemegang saham” (shareholder
perspective). Sebaliknya, “pandangan pemangku kepentingan” (stakeholder view),
yang didasarkan pada teori pemangku kepentingan, berkeyakinan bahwa perusahaan
memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial itu menuntut perusahaan
untuk mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkena pengaruh dari
tindakannya. Pandangan klasik memposisikan dua peran pokok yang pertaman bisnis
sebagai “pencarian keuntungan murni”, dimana bisnis memiliki standar etis yang
lebih rendah daripada masyarakat, bisnis tidak memiliki tanggung jawab sosial
kecuali kepatuhan pada hukum. Kedua, bisnis sebagai “pencarian keuntungan yang
terbatas” dimana bisnis harus memaksimalkan kekayaan para pemegang saham,
mematuhi hukum dan memiliki aspek etis. Pandangan klasik melihat bahwa
ketidakjujuran hingga pada taraf tertentu dapat diterima karena para pebisnis
memiliki standard moral yang lebih rendah dari pada masyarakat pada umumnya.
Gertakan khas dunia bisnis (misalnya mengatakan sesuatu secara berlebihan),
aksi penipuan merupakan hal-hal yang boleh, karena tujuan bisnis tidak lain
tidak bukan untuk mencari keuntungan. Hanya saja, meskipun ia bisa mengabaikan
standar moral dan etis, bisnis tetap harus mengikuti aturan main menurut hukum
yang berlaku. Pendukung utama pandangan pertama ini adalah Carr.
Perspektif kedua dalam pandangan klasik ini
adalah “pandangan pencarian-keuntungan yang terbatas”. Pendukung pandangan
klasik jenis kedua ini diantaranya Milton Friedman yang memandang bahwa
perusahaan haruslah bertindak jujur. Kejujuran itu dipahami Friedman dalam
kerangka tujuan perusahaan itu sendiri, yang bahkan satu-satunya, yaitu
pencarian keuntungan bagi para pemegang saham. Yang mencari keuntungan bagi
para pemilik saham adalah para manajernya. Karena itu, tidak etis kalau para
manajer disuruh memikul beban tanggung jawab sosial perusahaan kepada pihak
lain selain para pemegang atau pemilik saham. Menurut Friedman, menuntut
perusahaan untuk mengemban tanggung jawab sosial akan merusak sendi-sendi
sebuah masyarakat yang bebas dengan sistem ekonomi-bebas (free-enterprise)
dan sistem kepemilikan individual. Masalah sosial menjadi ranah negara untuk
mengelolanya.
Pandangan klasik mendasarkan pembenaran teoretisnya pada teori ekonomi neo-klasik yang memiliki tiga klaim: pasar bebas, efisiensi ekonomi, dan maksimisasi keuntungan. Pandangan ini didasarkan pada tiga cara: Pertama, pemegang saham adalah para pemilik korporasi. Para manajer tidak punya hak untuk bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, termasuk menggunakan sumber daya perusahaan untuk tujuan sosial. Kedua, peran perusahaan adalah menghasilkan kekayaan. Pembebanan tanggung jawab sosial pada perusahaan bisa merusak kinerjanya. Ketiga, peran tanggung jawab sosial itu diemban oleh lembaga lain yaitu pemerintah; perusahaan dan para manajer tidak dilengkapi dengan peran semacam itu
Pandangan klasik mendasarkan pembenaran teoretisnya pada teori ekonomi neo-klasik yang memiliki tiga klaim: pasar bebas, efisiensi ekonomi, dan maksimisasi keuntungan. Pandangan ini didasarkan pada tiga cara: Pertama, pemegang saham adalah para pemilik korporasi. Para manajer tidak punya hak untuk bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, termasuk menggunakan sumber daya perusahaan untuk tujuan sosial. Kedua, peran perusahaan adalah menghasilkan kekayaan. Pembebanan tanggung jawab sosial pada perusahaan bisa merusak kinerjanya. Ketiga, peran tanggung jawab sosial itu diemban oleh lembaga lain yaitu pemerintah; perusahaan dan para manajer tidak dilengkapi dengan peran semacam itu
Filsuf politik Charles Blattberg mengkritik teori
pemangku kepentingan untuk membangun asumsi bahwa kepentingan berbagai pihak
dapat, di terbaik, terancam atau seimbang satu sama lain. Blattberg berpendapat
bahwa ini adalah produk penekanannya pada negosiasi sebagai modus utama dari
dialog untuk mengatasi konflik antara kepentingan para pihak. Dia
merekomendasikan percakapan bukan dan ini menyebabkan dia untuk membela apa
yang disebutnya ‘patriotik’ konsepsi dari korporasi sebagai alternatif yang
berhubungan dengan teori pemangku kepentingan. Disamping iru teori pemangku
kepentingan juga didefinisikan oleh Rossouw dkk.sebagai kewajiban etis dalam
pengambilan keputusan. Freeman (1984), berpandapat bahwa perusahaan terkemuka
telah menerima kenyataan bahwa mereka bukanlah semata-mata pelayan kepentingan
pemilik modal, melainkan juga pemangku kepentingan lain yang lebih luas.
Pemangku kepentingan ini didefinisikan sebagai pihak-pihak yang dapat
terpengaruh dan/atau mempengaruhi kebijakan serta operasi perusahaan. Clarkson
(1995) semakin meyakinkan dunia bisnis bahwa hanya dengan memperhatikan semua
pemangku kepentinganlah sebuah perusahaan dapat mencapai kinerja sosial yang
tinggi (yaitu perolehan social license to operate). Permasalahannya,
siapa saja yang dapat dianggap sebagai pemangku kepentingan yang sah terhadap
operasi perusahaan? Jawaban pertanyaan ini pertama-tama dikemukakan oleh
Mitchell, Agle dan Wood (1997), yang menyatakan bahwa derajat kesahihan
pemangku kepentingan ditentukan oleh aspek kekuatan, legitimasi, dan urgensi.
Sejak itu ketiga kriteria itu dipergunakan secara luas, sampai kemudian
Driscoll dan Starik (2004) mengusulkan kedekatan (proximity) sebagai kriteria
lainnya
Teori pemangku kepentingan didasarkan pada pemahaman
bahwa melampaui para pemegang saham, terdapat beberapa agen dengan sebuah
kepentingan dalam tindakan dan keputusan perusahaan. Mengutip Freeman, seorang
penganjur pertama teori ini, yang dimaksud dengan pemangku kepentingan adalah
kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari atau kerugian oleh, dan
yang hak-haknya dilanggar atau dihargai oleh, tindakan korporasi. Yang termasuk
pemangku kepentingan adalah para pemegang saham itu sendiri, para kreditor,
pekerja atau buruh, para pelanggan, pemasok, dan masyarakat atau komunitas pada
umumnya. Teori pemangku kepentingan menekankan bahwa perusahaan mempunyai
tanggung jawab sosial yang menuntut harus mempertimbangkan semua kepentingan
pelbagai pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya. Acuan pertimbangan para
manajer dalam mengambil keputusan dan tindakan bukan semata-mata para pemegang
saham, melainkan juga pihak lain mana pun yang terkena pengaruhnya. Dalam
pandangan teori pemangku kepentingan melihat persepektif bisnis sebagai
“kesadaran sosial” dimana perusahaan harus sensitive terhadap kerusakan
potensial dari tidakannya terhadap berbagai kelompok pemangku kepentingan.
Disamping itu bisnis dipandang sebagai “aktivitas sosial” yang memandang
perusahaan harus menggunakan segala sumber dayanya untuk kepentingan publik.
Teori pemangku kepentingan dapat digunakan dalam
tiga cara: Pertama adalah cara deskriptif atau empiris, di mana teori ini
digunakan untuk “menggambarkan dan kadang menjelaskan karakteristik dan
perilaku spesifik korporasi. Sifat pendekatan ini adalah deskriptif. Kedua
adalah cara instrumental, di mana teori ini digunakan untuk “mengidentifikasi
kaitan atau kurangnya koneksi antara manajemen pemangku kepentingan dan
pencapaian sasaran korporasi tradisional. Misalnya keuntungandan pertumbuhan.
Sifat pendekatan ini adalah preskriptif. Pendekatan instrumental melihat para
pemangku kepentingan sebagai ‘alat’ untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu
menghasilkan keuntungan dan meningkatkan efisiensi. Para pemangku kepentingan
hanya diperhatikan sejauh itu menunjang tujuan-tujuan lebih tinggi dari sebuah
perusahaan yaitu maksimisasi keuntungan, keberlangsungan dan pertumbuhan.
Ketiga adalah cara normatif, di mana teori ini digunakan untuk
menginterpretasikan fungsi perusahaan dan mengidentifikasi pandu¬an moral atau
filosofis yang harus diikuti berkaitan dengan operasi dan manajemen perusahaan.
Pendekatan ini tentu saja bersifat normatif-preskriptif, dan karena itu kadang
dikacaukan dengan pendekatan kedua. Pendekatan normatif melihat para pemangku
kepentingan sebagai tujuan.
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perusahaan
dalam memandang signifikansi pemangku kepentingan, yaitu kekuasaan/kekuatan (power),
legitimasi, dan urgensi. Meskipun ketiga hal tersebut bersama-sama dan saling
terkait dalam mempengaruhi pengambilan tindakan oleh sebuah perusahaan, tetapi
yang paling besar dari ketiganya adalah kekuasaan/kekuatan. Kekuasaan/kekuatan
yang dimaksudkan di sini adalah kekuatan nyata suatu pemangku kepentingan untuk
melakukan tekanan dan tuntutan baik secara sosial, politis, maupun hukum. Bisa
terjadi bahwa suatu pemangku kepentingan memiliki legitimasi dan memiliki
urgensitas yang sangat tinggi (keadaan mereka sudah sangat membahayakan dari
segi kelangsungan hidup) untuk melakukan penuntutan kepada sebuah perusahaan,
namun karena mereka tidak memiliki kekuasaan yang real (misalnya mereka
terpecah belah dalam memandang persoalan itu, bahkan ada yang menerima
begitu saja hal tersebut sebagai sebuah ”bencana alam” dan bukan ”bencana
buatan manusia” yang harus dituntut), maka perusahaan bisa enggan atau bahkan
tidak mau melakukan tindakan apa pun. Branco dan Rodriguez mengutip contoh
kasus di Kanada dan Swedia28di mana perusahaan-perusahaan kehutanan lebih
memprioritaskan tuntutan para pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan real
ketimbang tuntutan yang hanya dilontarkan berdasarkan argumen etis atau
tanggung jawab sosial belaka
Nilai-nilai Pelibatan Pemangku
Kepentingan
Prof Witold Henisz dari Wharton Business School telah mempelajari manajemen risiko sosial dan politik selama 15 tahun, dengan fokus pada penggunaan strategi bagaimana organisasi menghindar dari resiko dengan studi kasus perusahaan pertambangan. Dalam kajiannya Henisz menggunakan data dari 26 tambang emas yang dimiliki oleh 19 perusahaan publik antara tahun 1993 dan 2008. Melalui coding lebih dari 50.000 “peristiwa pemangku kepentingan” yang ditemukan dan dilaporkan media mereka mengembangkan suatu indeks tingkat kerja sama pemangku kepentingan atau konflik pertambangan. Dari hasil studi yang dilakukan ditemukan bahwa ada investasi berbasis proyek yang tertunda atau terganggu akibat orang-orang khawatir tentang pasokan air, pola lalu lintas, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Henisz juga menyusun sebuah daftar penerapan terbaik untuk bisnis yang serius melibatkan para pemangku kepentingan. Pertama, mengubah pola pikir perusahaan sehingga karyawan di seluruh papan percaya bahwa pemangku kepentingan kunci. Kedua, mendapatkan data yang diperlukan untuk menjelaskan siapa pemangku kepentingan, apa yang mereka inginkan dan yang terhubung ke siapa. Ketiga, menemukan cara untuk membangun jaringan informasi melalui datalink untuk kepentingan kinerja operasi, mengintegrasikan informasi tersebut ke dalam sistem manajemen risiko (integrated risk management) daripada memperlakukannya sebagai kategori secara terpisah. Keempat, berinteraksi dengan para pemangku kepentingan di tingkat masyarakat dengan cara yang asli dan adil; merespon kekhawatiran mereka dan koneksi bentuk daripada hanya menulis cek. Kelima, menemukan cara untuk menyebarkan informasi tentang proyek yang sedang berlangsung secara kredibel dan transparan.
Michael Porter sebagai seorang tokoh terkenal
pada strategi bisnis dan daya saing, memperkenalkan konsep “menciptakan nilai
bersama”, dalam rangka memberikan jalan inovasi bagi praktisi secara
keberlanjutan. Menciptakan nilai bersama dikemas ulang dari prinsip-prinsip
keberlanjutan, dimana peran dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam
membangun nilai-nilai bersama sangat penting dalam membangun produk dan inovasi
daya sain dalam pasar yang semakin komptetitif. Munculnya pemain lain
mengisyaratkan penting nilai-nilai bersama yang perlu disepakati sebagai acuan
bisnis untuk menghindari dampak dalam jangka panjang. Tetapi juga menekankan
pentingnya mendekati keterlibatan pemangku kepentingan sebagai perluasan dari
sistem berfikir. Setiap lembaga yang bertahan melakukannya karena ketahanan
dari sistem di mana ia beroperasi. Ketahanan berasal dari keragaman individu
atau organisasi dan kuat hubungan antara mereka. Keterlibatan pemangku
kepentingan merupakan kesempatan untuk membangun dan memperkuat hubungan ini
serta memanfaatkan kepercayaan otak kolektif dari sistem, tetapi dengan kata
Porter, akan membutuhkan pemimpin dan manajer untuk mengembangkan apresiasi
yang lebih dalam kebutuhan masyarakat dan kemampuan untuk berkolaborasi antar
keuntungan atau batas nirlaba.
Dalam dunia yang semakin terbuka, dengan buy-in
dari pelanggan, pemasok, karyawan, dan setiap mitra kelembagaan lainnya sangat
penting untuk mendapatkan manfaat. Keterlibatan pemangku kepentingan telah lama
dianggap sebagai pertahanan yang baik, tetapi pelanggaran lebih baik dan harus
di jantung dari setiap strategi untuk berinovasi. Perusahaan perlu memahami
bagaimana mereka harus bekerja dengan masyarakat dalam menghadapi tantangan
kompetitif dengan membangun nilai-nilai inovasi inovasi ketika perusahaan
berusaha untuk tidak hanya melibatkan para pemangku kepentingan, tetapi juga
berkolaborasi dengan masyarakat atau pemangku kepentingan yang lebih luas.
Konsep bisnis telah mengalami evolusi, dimana
nilai-nilai sosial menjadi landasan dalam penetapan berbagai kebijakan, proses
hinggga hasil yang diperoleh oleh perusahaan. Pertama-tama ada pembedaan antara
konsep kewajiban sosial (social obligation), tanggung jawab sosial (social
responsibility), dan kepedulian sosial (social responsiveness).
Kewajiban sosial berkaitan dengan perilaku atau tindakan perusahaan dalam
merespon kekuatan pasar atau ketentuan hukum. Kewajiban sosial bersifat
proskriptif atau negatif untuk menentukan hal-hal yang dianggap etis tidak
boleh dilanggar.. Tanggung jawab sosial menuntut adanya kesepadanan antara
perilaku perusahaan dengan norma-norma sosial yang berlaku, nilai dan harapan
yang diletakkan dalam tindakan perusahaan. Sifatnya adalah preskriptif atau
positif yang mengharuskan bertindak untuk kepentingan masyarakat.. Kepedulian
sosial menekankan bahwa yang penting bukanlah bagaimana sebuah perusahaan harus
merespon tekanan sosial, tetapi apa yang seharusnya menjadi peran perusahaan
dalam jangka panjang dalam sebuah sistem sosial yang selalau berubah. Ide
dasarnya adalah bahwa orientasi bisnis bersifat antisipatoris dan preventif.
Dengan demikian dskursu peran perusahaan terhadap masyarakat mencakup tanggung
jawab sosial dan kepedulian sosial, sementara kewajiban sosial lebih terkait
dengan kinerja ekonomi murni sebuah perusahaan atau bisnis.
Daftar Pustaka
Branco, Manuel Castelo dan Lúcia Lima Rodriguez, “Positioning Stakeholder Theory within the Debate on Corporate Social Responsibility”, EJBO (Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies), Vol. 12, No. 1(2007), hlm. 5-15.
Carr, A. Z., “Is Business Bluffing Ethical”, Harvard Business Review, Vol. 46No. 1, 1968, hlm. 143-153.Carroll, A. B., “A Three-Dimensional Conceptual Model of Corporate Social Performance”, Academy of Management Review, Vol. 4No. 4, 1979, hlm. 497-505.
Carroll, A. B., “The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders”, Business Horizons, Vol. 34No. 4, 1991, hlm. 39-48.
Clapham, A. dan S. Jerbi, Categories of Corporate Complicity in Human Rights Abuses, dapat diunduh di http://www.business-humanrights.org/Clapham-Jarbi-paper.htm.
Donaldson, T. dan L. E. Preston, “The Stakeholder Theory of the Corporation: Concepts, Evidence, and Implications”, Academy of Management Review, Vol. 20 No. 1, 1995, hlm. 65-91.
Frederick, W. C., “From CSR1 to CSR2: The Maturing of Business-and-Society Thought”, Business and Society, Vol. 33No. 2, 1994, hlm. 150-164.
Freeman, R. Edward, “A Stakeholder Theory of the Modern Corporation”, dalam L.B. Pincus (ed.), Perspectives in Business Ethics, Singapore: McGraw Hill, 1998, hlm. 171-181.
Lantos, G. P., “The Ethicality of Altruistic Corporate Social Responsibility”,Journal of Consumer Marketing, Vol. 19 NO. 3, 2002, hlm. 205-230.
Levitt, T., “The Dangers of Social Responsibility”, Harvard Business Review, Vol. 33 No. 5, 19 58, hlm. 41 -50.
Riyadi E.S. Landasan Teoretis bagi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: dari Pemegang Saham (Shareholder) ke Pemangku Kepentingan (Stakeholder). Dignitas Volume V No. II Tahun 2008