|
Pembangunan Jalan |
Dalam
edisi khusus buletin kami tentang Papua yang terbit pada bulan November
2011, DTE teuk menangani masalah status politik Papua. Namun dengan masih
berlanjutnya kekerasan yang dilakukan negara dan tekanan politik berarti dalam
keadaan sekarang ini misi itu sulit mencapai keberhasilanlah memaparkan sejarah
panjang dan kelam tentang eksploitasi sumber daya dengan pendekatan dari atas
ke bawah (top-down) di Papua. Saat ini, serangkaian rencana pembangunan baru
tengah disorongkan, di bawah upaya pemerintah mencakup seluruh Indonesia untuk
mempercepat pembangunan (Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI)) yang diluncurkan tahun lalu. Serangkaian rencana
tambahan khusus untuk Papua kini dipromosikan oleh Unit Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat (UP4B), yaitu sebuah unit khusus untuk percepatan
pembangunan di Tanah Papua. Pemerintah berharap bahwa UP4B akan berhasil tidak
seperti Otonomi Khusus yang gagal dan menyepelekan seruan unt.
MP3EI
Keseluruhan
rencana tingkat nasional untuk mempercepat pembangunan di Indonesia disebut
sebagai MP3EI - Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Dokumen besar ini, yang diterbitkan oleh Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian Indonesia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris pada bulan Mei
2011, mengetengahkan tiga tahapan periode rencana untuk menjadikan
Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025. Tujuannya adalah agar pada saat
itu Indonesia bisa berada di peringkat ke-9 perekonomian terbesar
di dunia. Landasan rencana ini adalah percepatan pertumbuhan ekonomi yang
menitikberatkan investasi sektor swasta dan meningkatkan iklim investasi dengan
memperbaiki atau menghapus peraturan-peraturan yang dapat menghambat proyek.
Dua
puluh dua kegiatan ekonomi yang dianggap berpotensi tinggi untuk
pertumbuhan dijadikan target perhatian khusus dalam dalam delapan program
utama, yaitu: pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata,
telekomunikasi, dan pengembangan kawasan strategis. Beberapa di antara 22
kegiatan ekonomi potensial yang tercatat adalah bauksit, tembaga, nikel,
batubara, minyak dan gas, kayu, kelapa sawit, kakao, karet, pertanian pangan,
pariwisata, peralatan pertahanan dan baja.
Rencana
ini membagi Indonesia menjadi enam target koridor sesuai dengan karakter
masing-masing, namun pada beberapa kasus dapat terjadi tumpang tindih fokus
ekonomi. Koridor yang dimaksud adalah:
- Sumatra sebagai “Sentra
produksi dan pengolahan hasil bumi, dan lumbung energi nasional”
- Jawa sebagai “Pendorong
industri dan jasa nasional”
- Kalimantan sebagai “Pusat
produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional”
- Sulawesi sebagai “Pusat
produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, minyak dan
gas, dan pertambangan nasional”
- Bali – Nusa Tenggara sebagai
“Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional”
- Papua – Maluku sebagai “Pusat
pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional”
Pertumbuhan
tahunan PDB nasional dengan penerapan MP3EI diharapkan menjadi sekitar 12,7%
secara nasional, dengan pertumbuhan wilayah dalam koridor sebesar 12,9%, serta
mengurangi dominasi Jawa di perekonomian Indonesia. Tambahan pembangkit
energi listrik yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana ini diproyeksikan
sekitar 90.000 MW pada tahun 2025 dan nilai total investasi diidentifikasi
sebesar 4.012 triliun rupiah (USD437 miliar). Kontribusi pemerintah
adalah sekitar 10% dari total biaya ini dalam bentuk penyediaan infrastruktur
dasar, sementara sisanya akan disediakan oleh BUMN, sektor swasta, serta
melalui mekanisme kerja sama pemerintah swasta/KPS (Public Private
Partnership/PPP).
MP3EI
di Papua
Investasi
sebesar Rp622 triliun ditujukan untuk Papua-Maluku dalam MP3EI, dengan sebagian
besar dana yang diperlukan ini berasal dari sektor swasta. Tujuh pusat ekonomi
yang diidentifikasi di koridor Papua-Maluku adalah: Sofifi dan Ambon di
provinsi Maluku dan Maluku Utara; serta Sorong, Manokwari, Timika, Jayapura,
dan Merauke di provinsi Papua Barat dan Papua. Proyek Lumbung Pangan dan Energi
Terpadu Merauke (Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE))
diidentifikasi sebagai salah satu kegiatan ekonomi utama, selain tembaga
(Timika), nikel (Halmahera), minyak dan gas (Sorong dan Teluk Bintuni), dan
perikanan (Morotai, Maluku Utara, dan Ambon, Maluku).
Beberapa
tantangan yang telah diidentifikasi oleh MP3EI adalah tingkat Pendapatan
Domestik Regional Bruto (PDRB) yang rendah (walaupun laju pertumbuhannya lebih
tinggi dari pertumbuhan rata-rata); kesenjangan tinggi di wilayah tersebut;
tingkat investasi rendah, produktivitas sektor pertanian belum optimal (karena
fasilitas irigasi yang terbatas), infrastruktur pendukung pembangunan tidak
memadai, mobilitas populasi rendah, dan (terutama di Papua) jumlah penduduk
rendah.
Infrastruktur
lintas-sektor yang diperlukan untuk mendukung rencana-rencana ini
termasuk pembangunan jalan Trans-Papua, perbaikan dan perluasan bandar
udara dan pelabuhan laut, pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara
di Timika dan Jayapura (serta masing-masing satu di Maluku dan Maluku
Utara), pembangkit listrik tenaga panas bumi di tujuh lokasi, dan dukungan
jaringan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Walaupun
kawasan Mamberamo pada tahun 1990-an ditargetkan sebagai pusat pengembangan
agro-industri, kawasan ini tidak merupakan area fokus MP3EI. Tapi MP3EI memang
mencatat potensi tinggi kawasan ini untuk membangun pembangkit listrik.
MP3EI menganjurkan pemerintah untuk melakukan studi kelayakan atas aktivitas
pembangunan agar dapat mempromosikan kawasan tersebut kepada para investor
potensial. [1]
MIFEE
Salah
satu proyek utama MP3EI adalah proyek Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) di bagian selatan Papua – sebuah skema raksasa
yang membuka lahan dan merusak penghidupan tradisional masyarakat adat Malind
beserta kelompok-kelompok adat lainnya di bagian selatan Papua .[2]
Menurut
MP3EI, MIFEE akan mencakup area sebesar 1,2 juta hektare, dan terdiri dari 10
klaster Sentra Produksi Pertanian (KSPP).[3]
Prioritas pengembangan jangka pendek (2011-2014) adalah mengembangkan klaster I
- IV, yang meliputi area seluas 228.023 ha, di Greater Merauke, Kali
Kumb, Yeinan, dan Bian. Prioritas jangka menengah (2015 - 2019), area-area
untuk sentra produksi pertanian pangan, hortikultura, peternakan,
perkebunan, dan budi daya air akan dikembangkan di Okaba, Ilwayab,
Tubang, dan Tabonji. Jangka panjang (2020-2030), area produksi pusat
untuk tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, dan perkebunan yang
akan dikembangkan di Nakias and Selil. Tanaman pangan terdiri dari beras,
jagung, kacang kedelai, sorgum, gandum, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Hewan
ternak akan terdiri dari ayam, hewan ternak, kambing, dan kelinci. Tebu, karet,
dan kelapa sawit adalah tanaman non-pangan yang diidentifikasi akan
dikembangkan dalam skema tersebut.
Rencana
pengembangan infrastruktur yang dikaitkan dengan MIFEE terdiri dari pembangunan
pelabuhan, infrastruktur air dan reklamasi rawa, jalan dan jembatan, pabrik
pupuk organik dan proyek ammonia-urea di Tangguh (lihat kotak, di bawah); dan
pembangkit listrik biomassa di Merauke dan Tanah Miring.
Tembaga,
minyak, dan gas
MP3EI
mencanangkan peningkatan produksi tembaga, minyak, dan gas di Papua, serta
meningkatkan nilainya melalui industri pengolahan hilir. Tiga pengolahan
tembaga (smelter) baru akan dibangun di Indonesia, satu di antaranya
adalah di Timika di lokasi pertambangan tembaga dan emas Freeport-Rio
Tinto, untuk menambah pengolahan tembaga yang saat ini sudah ada di Gresik,
Jawa Timur. Pengembangan kawasan industri tembaga di Timika sudah direncanakan,
bersama dengan pembangkit listrik, perbaikan jalan dan pelabuhan serta
perubahan peraturan perundang-undangan untuk mendukung pengembangan. Eksplorasi
minyak dan gas akan ditingkatkan dengan akses yang diperbaiki untuk
para investor. Ini termasuk penerapan ‘layanan satu
pintu/layanan terpadu dalam bidang perizinan dan produksi eksplorasi untuk
mempercepat penuntasan isu-isu lintas sektoral (seperti persoalan
tumpang-tindih lahan dan dampak lingkungan) dan dengan cara yang terintegrasi’.
Infrastruktur
pendukung yang disebutkan dalam MP3EI untuk lokasi proyek Tangguh yang
dioperasikan oleh BP di Bintuni terdiri dari pipa-pipa transmisi dan
pengembangan jaringan distribusi (lihat juga kotak di bawah tentang hubungan ke
MIFEE).
Bagaimana
dengan masyarakat, lingkungan dan perubahan iklim?
Masalah
keberlanjutan sosial dan lingkungan hampir tidak disinggung dalam rencana
ini. Walaupun ada asumsi bahwa pengembangan ekonomi akan menguntungkan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tidak disebutkan bahwa harus ada
pengaman (safeguards) bagi komunitas-komunitas lokal yang lahan dan
sumber dayanya akan digunakan dalam daftar panjang proyek-proyek
pembangunan itu. Ini mungkin mencerminkan cara pengkonsepan MP3EI
yang hanya dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta, tanpa partisipasi
masyarakat sipil atau pemangku kepentingan lainnya.
Menjelang
bagian akhir dokumen MP3EI, ada sebuah bagian tentang undang-undang dan
regulasi yang memerlukan amendemen untuk mempercepat pembangunan. Di
bagian ini ada sejumlah pengakuan tentang masalah di lahan-lahan sekitar, klaim
penggunaan lahan yang tumpang tindih dan tanah adat/tanah ulayat milik
masyarakat adat. Pada bagian teratas daftar ini tertulis “Perlu pengkajian
ulang atas undang-undang dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan
diterapkannya tanah ulayat sebagai bagian dari komponen investasi yang memberi
peluang kepada pemilik tanah ulayat mendapatkan keuntungan ekonomi yang
lebih tinggi.” Kajian ini dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN),
Kementerian Kehutanan (Kemhut), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dengan
target penyelesaian pada tahun 2011. Dokumen ini juga menyebutkan bahwa
rencana tata ruang wilayah harus disahkan pada akhir tahun 2011 sebagai
landasan dalam penyelesaian potensi konflik lahan dalam hutan, perkebunan, dan
lokasi-lokasi pertambangan.
Walaupun
hal ini berarti mengakui adanya masalah sampai tingkat tertentu,
penyelesaiannya tampaknya hanya dimaksudkan untuk memuluskan jalan lebih banyak
investasi dengan memastikan para pemangku kepentingan, termasuk pemilik
hak tanah ulayat, untuk lebih diuntungkan dari sebelumnya. Jadi, model
pembangunan tersebut hanya mementingkan investasi – dengan memprioritaskan
kebutuhan dunia usaha – bukannya berfokus pada masyarakat, yang akan
mementingkan kebutuhan komunitas dalam mencapai pembangunan yang efektif dan
berkelanjutan baik secara sosial maupun lingkungan. Pendekatan yang berfokus
pada masyarakat akan lebih mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat untuk
melaksanakan hak mereka atas kesepakatan dengan informasi awal tanpa paksaan
(Padiatapa/FPIC) sebelum menyetujui melanjutkan proyek investasi apa pun,
namun MP3EI tidak menyebutkan tentang FPIC tersebut.
Prioritas
terhadap kepentingan dunia usaha sangat nyata dalam penjelasan tentang proyek
MIFEE dalam MP3EI. Di situ, rencana tersebut menyatakan perlu ada
percepatan dalam proses konversi lahan hutan menjadi areal tanaman pangan
dan perlunya ‘sosialisasi’ kepada masyarakat lokal tentang pelaksanaan
dan keuntungan dari program MIFEE ini bagi kesejahteraan komunitas. Bahasa
semacam ini menunjukkan bahwa tidak banyak kemajuan dari semenjak zaman
Suharto, saat berbagai komunitas juga diinformasikan tentang keuntungan
dipakainya lahan mereka untuk konsesi produksi kayu, proyek pertambangan dan
lokasi-lokasi transmigrasi. Seperti yang saat ini terjadi di areal proyek
MIFEE, kegagalan menghormati hak-hak masyarakat adat yang terkena dampak
walaupun telah dijamin secara internasional menyebabkan adanya pemaksaan
dan praktik manipulasi untuk mendapatkan sertifikat yang menyatakan bahwa
masyarakat adat telah menyerahkan tanahnya; meningkatnya konflik dan
kekerasan antarsuku; dan pembukaan hutan yang merupakan sumber penghidupan suku
Malind dan komunitas masyarakat adat lainnya.[4]
(Lihat kotak untuk sumber informasi lebih lanjut tentang MIFEE.)
Mengenai
masalah perubahan iklim, MP3EI juga memperlihatkan ketidakpedulian yang
sama mengenai dampak sosialnya. Rencana Aksi Nasional pemerintah untuk
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) adalah salah satu dari elemen perencanaan
dan peraturan yang ditetapkan sebagai bagian dari proses perencanaan
pembangunan nasional yang terpadu yang memasukkan MP3EI di
dalamnya. Namun tidak ada indikasi bagaimana rencana ambisius untuk
pertambangan, ekploitasi minyak dan gas, dan industri berat akan berdampak
terhadap tingkat emisi gas rumah kaca. Sama halnya juga, tidak ada informasi
mengenai dampak pembukaan hutan untuk perkebunan dan pertanian terhadap
emisi CO2. Perubahan iklim hanya digambarkan secara singkat sebagai
salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia, tapi selebihnya tidak dipedulikan
dalam dokumen itu. Pada bagian tentang perkayuan, yang merupakan kegiatan
utama di koridor Kalimantan, fokus berada pada pengembangan hutan buatan untuk
produksi kayu bulat dan kayu lainnya, seperti produk dari rotan dan bambu,
sementara juga menyebutkan bahwa hutan alami akan digunakan untuk tujuan
non-kayu, termasuk REDD.[5]
Akan tetapi, penekanannya jelas untuk meningkatkan produksi kayu
bulat, kayu lapis, dan produk lain yang mengeksploitasi “... area berpotensi
besar untuk pengembangan industri perkayuan, dengan memperluas nilai
ekonomi dari produksi hutan yang belum tersentuh …”.[6]
UP4B
UP4B
atau Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
dibentuk pada bulan September 2011 melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.
66/2011. Unit ini dipimpin oleh Bambang Darmono, mantan komandan militer di
Aceh dan melapor langsung kepada Presiden.
Periode
mandat UP4B adalah dari tahun 2011- sampai 2014.Tugas mereka termasuk
memastikan penerapan ‘Rencana Aksi Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua
Barat’. Perpres No. 66/2011 menyatakan bahwa percepatan pembangunan perlu
dilakukan melalui kebijakan sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya,
yang disebutkan terakhir ini termasuk juga membangun “komunikasi konstruktif”
antara pemerintah dan rakyat di provinsi Papua dan Papua Barat. Komunikasi ini,
kemudian, dilakukan melalui “pemetaan dan pengelolaan sumber persoalan
dalam politik, penegakan hukum, dan hak asasi manusia.” Bahasa yang dipakai di
sini mengindikasikan bahwa misi UP4B membuka untuk adanya diskusi tentang
penyebab keresahan politik di kalangan orang Papua, walau lingkup diskusi
semacam itu (seperti, apakah dapat menyertakan seruan untuk diadakannya
referendum bagi penentuan status politik Papua di masa yang akan datang) tidak
dijabarkan.
Sebagaimana
yang tercantum pada bagian pendahuluan, Rencana Aksi Percepatan (yang dipilih
dari Rencana Aksi Lengkap[7]),
dengan program strategi cepat, bertujuan meningkatkan lahan pekerjaan dan
mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi baru yang berpotensi mempercepat
pertumbuhan ekonomi regional. Kegiatan-kegiatan ini harus pada skala yang dapat
dipikul oleh kapasitas tampung lingkungan, dan harus mengkonsolidasikan peran
pemerintah, BUMN dan sektor swasta. Rencana ini terdiri dari 7 kategori:
- Ketahanan pangan (peternakan
babi di Area Dataran Tinggi Tengah, provinsi Papua, dan ternak di
kabupaten Bomberai dan Kebar, provinsi Papua Barat);
- Penanggulangan kemiskinan
(meningkatkan modal Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, ternak dan industri desa lain melalui
inisiatif pemerintah);
- Pengembangan industri desa
(pemrosesan sagu);
- Perbaikan pendidikan
(pendidikan gratis hingga sekolah menengah atas, untuk menjangkau seluruh
kabupaten dan desa di provinsi Papua dan Papua Barat);
- Peningkatan pelayanan kesehatan
(menerapkan pelayanan kesehatan gratis untuk menjangkau seluruh kabupaten,
seperti disebutkan di atas);
- Pengembangan infrastruktur
dasar (penyediaan energi yang terbarukan– mikrohidro dan tenaga surya;
pembangkit tenaga listrik berbasis batubara di Jayapura dan Mimika (34
MW); pabrik semen di Timika dan Manokwari. Kegiatan di Timika akan didanai
oleh perusahaan pertambangan Freeport sebagai bagian dari program CSR
mereka).
- Tindakan afirmatif untuk
masyarakat adat Papua (jatah untuk murid berprestasi untuk kuliah di
universitas terbaik di luar Papua; jatah keanggotaan angkatan bersenjata
dan polisi, jatah untuk mendapat tempat di akademi-akademi militer dan
polisi; jatah untuk posisi di sekolah-sekolah kebidanan dan
perawat; mendirikan pusat pelatihan pegawai negeri di Sorong, dan
akademi pelatihan guru di provinsi Papua dan Papua Barat).
Partisipasi
komunitas dibatasi dalam memberikan masukan terhadap rencana tahunan dan
berpartisipasi dalam pelaksanaan Rencana Aksi, serta pemantauan dan pengawasan.
Rencana
ini mengikuti wilayah strategis yang diidentifikasi dalam MP3EI sebagai
‘koridor Papua-Maluku’. Rencana ini menyatakan bahwa fokus MP3EI pada ekonomi,
dan khususnya investasi, akan disinergikan dengan Rencana Aksi UP4B
dengan penekanannya pada kebijakan pembangunan sosial ekonomi, dan sosial
politik serta sosial budaya. Rencana Aksi Percepatan mengandung sebuah daftar
panjang proyek yang akan dilaksanakan pada periode 2011/2012 tapi tidak
memasukkan perubahan peraturan atau kebijakan yang menurut Rencana itu
diperlukan untuk mendukung investasi di kedua provinsi tersebut. Perpres No.
66/2011 malah hanya menyatakan bahwa UP4B akan mengembangkan kapasitas
pemerintah daerah dalam merancang peraturan daerah.
Konflik
Terus Berlangsung
Penindasan
menggunakan kekerasan terhadap para pembangkang politik terus berlanjut sejak
dilangsungkannya Kongres Masyarakat Papua ke-3 di Abepura pada bulan Oktober
lalu (lihat DTE 89-90). Pasukan Indonesia telah menjalankan beberapa
operasi “penyapuan” di DataranTinggi Tengah. Menurut organisasi yang
berbasis di Inggris, Tapol, seluruh komunitas diserang dan rumah-rumah mereka
beserta gereja, pusat pertemuan adat dan bangunan-bangunan milik
umum dihancurkan. “Penyerangan seperti itu, yang konon ditujukan untuk
membasmi kelompok pertahanan rakyat Papua yang hanya bersenjata
minimal, telah memaksa para penduduk kampung untuk meninggalkan rumah
mereka demi mencari perlindungan di hutan-hutan sekitar, sehingga mereka
kehilangan penghidupan mereka dan berisiko menghadapi kelaparan serta
terserang penyakit.”
Walaupun
tidak ada yang dimintai pertanggunggugatan untuk pembunuhan-pembunuhan
yang terjadi setelah Kongres ke-3 itu, lima orang pimpinan Papua yang
ditangkap setelah kongres sekarang telah diadili, dinyatakan bersalah
melakukan makar, dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. [18]
Menurut
Dr Neles Tebay, Koordinator Jaringan Perdamaian Papua (Papua Peace Network),
akan ada lebih banyak lagi pelanggaran hak asasi manusia pada masa yang akan
datang karena ribuan tentara tambahan telah dikerahkan di Papua Barat dan
akar penyebab konflik Papua belum juga diatasi. Dalam pernyataannya
kepada Parlemen Eropa pada bulan November, Dr Tebay mengatakan bahwa Indonesia
beranggapan bahwa Papua Barat adalah bagian integral dari wilayahnya dan
menggunakan alasan penumpasan pergerakan separatis di Papua Barat untuk
menjustifikasi segala bentuk kekerasan yang dilakukan negara dan pelanggaran
hak asasi manusia terhadap rakyat Papua. “Di lain sisi, banyak masyarakat
adat Papua melihat tanah ulayat mereka di Papua Barat diduduki oleh kelompok
militer Indonesia. Mereka merasa telah dan masih dijajah oleh Indonesia. Maka
mereka meningkatkan perlawanan mereka terhadap kekuasaan kolonial di tanah
leluhur mereka.”
Dr
Tebay menyambut baik komitmen Presiden SBY di muka umum untuk berdialog
dengan masyarakat Papua, dan meminta dukungan Eropa untuk dialog terbuka
dengan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai.[19]
|
Penilaian
Sejauh ini
Beberapa
bagian dari Rencana Aksi UP4B (seperti peningkatan pelayanan kesehatan dan
pendidikan), apabila dilaksanakan dengan benar, akan memberi manfaat positif
bagi rakyat Papua. Namun tampaknya hal tersebut dikalahkan oleh kepatuhan UP4B
untuk menjalankan model pengembangan ekonomi dasar yang dijabarkan dalam MP3EI
– kelanjutan proyek-proyek sumber daya alam yang bersifat intensif modal
besar dan berskala besar, dan skema infrastruktur yang ambisius telah banyak
merusak komunitas masyarakat adat Papua hingga saat ini.
Pada
dasarnya, UP4B belum diterima di Papua. Media massa melaporkan adanya reaksi
bermusuhan pada pertemuan-pertemuan yang diadakan untuk mempromosikan
UP4B di Jayapura dan Manokwari pada bulan Desember dan Januari;
demonstrasi oleh pelajar Papua di Makassar, Sulawesi, untuk menolak UP4B di
bulan Februari; dan pada bulan Maret 2012, dilaporkan terjadi penangkapan di
FakFak pada saat demonstrasi untuk menolak inisiatif tersebut.[8]
Pada
pertemuan di bulan Desember, Hakim Pahabol dari Komite Nasional Papua Barat
(KNPB) mengatakan bahwa persoalan dasar di Papua adalah politik, bukan
kesejahteraan. “Kami hanya ingin referendum. Tidak ada yang lain.”[9]
Bahkan mereka yang dilaporkan mendukung UP4B, menyatakan skeptis terhadap
pelaksanaannya. Yusak Reba, dosen di Universitas Cendrawasih, mengatakan bahwa
UP4B perlu memenuhi harapan masyarakat atau “krisis kepercayaan antara Papua
dan Jakarta” akan memburuk. Dia mengatakan bahwa dia masih berharap program
tersebut dapat memberi manfaat positif kepada rakyat Papua, namun
memperingatkan bahwa UP4B tidak memiliki kewenangan dalam pelaksanaan, sehingga
tetap administrasi daerah dan pemerintah pusat yang harus bertanggung jawab
penuh dalam membawa perubahan positif.[10]
Komentar-komentar
tersebut menunjukkan bahwa UP4B hampir tidak mungkin dapat mencapai misinya
dalam menyelesaikan persoalan mendasar Papua atau mengakhiri kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia (lihat kotak). Yang paling bisa diberikan oleh
unit ini adalah membantu rakyat Papua hidup sedikit lebih baik dalam
kondisi yang sangat tidak adil. Namun apabila tujuan utamanya adalah untuk
melancarkan eksploitasi sumber daya secara top-down yang lebih merusak,
UP4B tidak mungkin bisa memperbaiki nasib rakyat Papua, malah bisa
memperburuknya.
Perusahaan LG dari Korea Selatan merencanakan pabrik petrokimia
di Teluk Bintuni
Menurut
laporan media massa, sebuah kerja sama Korea Selatan dan Indonesia akan
mengembangkan pabrik petrokimia senilai USD3 miliar di Tangguh, Teluk
Bintuni, Papua Barat. Presiden SBY telah menandatangani kesepakatan
awal pada saat kunjungannya ke Korea Selatan, untuk pembangunan oleh LG
International Corp dan PT Duta Firza. Firlie Gandinduto dari Duta Firza
mengatakan pada bulan Maret bahwa konstruksi akan dimulai pada pertengahan
tahun 2014.[11]
Teluk
Bintuni adalah lokasi instalasi LNG Tangguh yang kontroversial yang
dioperasikan oleh perusahaan energi multinasional berbasis di Inggris, BP.
Sebelumnya di bulan yang sama, Bisnis Indonesia mengutip seorang
pejabat senior Kementerian Perindustrian yang mengatakan bahwa BP tertarik
untuk membangun sebuah kawasan petrokimia terintegrasi dengan menggunakan gas
yang diperoleh dari lapangan gas Tangguh.[12] BP kemudian mengklarifikasi bahwa
mereka tidak tertarik melakukan hal tersebut, namun akan tetap berfokus pada
LNG dan juga pengembangan, eksplorasi dan produksi Tangguh.[13]
Pejabat
lain dari Kementerian yang sama menyatakan bahwa rencana pembangunan kawasan
tersebut membutuhkan kepastian adanya pasokan gas. Berdasarkan
informasi kementerian itu, tahap pertama pembangunan tersebut membutuhkan
minimal pasokan gas sebesar 382 juta standar kubik kaki per hari, dan akan
digunakan untuk memasok dua pabrik urea berkapasitas 3.500 ton per hari
dan dua pabrik amonia berkapasitas 2.000 ton per hari, serta sebuah pabrik
metanol. Pejabat tersebut menyatakan beberapa perusahaan dari Jerman, Korea
Selatan, dan Jepang tertarik untuk memproduksi metanol dan produk turunannya
di Tangguh, sementara PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) berminat untuk membangun
pabrik amonia dan urea.[14]
Apakah
Teluk Bintuni memang akan melihat adanya pembangunan klaster petrokimia atau
tidak; rencana semacam ini ini tidak tercantum dalam rencana induk MP3EI yang
diterbitkan tahun lalu. Namun, rencana untuk membangun fasilitas produksi
amonia dan urea di Tangguh memang tercantum dalam MP3EI, dan dikaitkan dengan
pasokan pupuk yang dibutuhkan untuk proyek MIFEE,[15] dan dalam Rencana Aksi UP4B.
Menurut UP4B, tanggal yang ditargetkan untuk memulai konstruksi proyek
amonia-urea adalah tahun 2011 dan selesai pada tahun 2015 serta membutuhkan
investasi sebesar Rp20.850 miliar yang akan dilaksanakan oleh
BUMN PT Pusri.[16] Pembangunan selanjutnya yang
direncanakan untuk Bintuni termasuk perbaikan jalan, pembangunan pipa
transmisi gas dan jaringan distribusi.
Tangguh
sebagai magnet
Tidak
diragukan bahwa operasi LNG Tangguh oleh BP merupakan penarik utama
untuk adanya rencana pembangunan selanjutnya di dalam dan sekitar
Teluk Bintuni. Hal-hal ini sangat mungkin mengundang masuknya para
tenaga kerja migran dari bagian lain Papua dan dari bagian lain
Indonesia.
Patut
diingat bahwa dalam tahap perencanaan Tangguh, BP berdalih bahwa mereka
memiliki strategi untuk mencegah migrasi besar-besaran ke area tersebut.
Bahkan sebelum proses produksi gas dimulai pun segera terlihat jelas bahwa
usaha pencegahan itu tidak berhasil karena para migran dari luar
Papua pindah ke sana.
Sekarang,
dengan lebih banyaknya proyek sedang disiapkan untuk Bintuni, serta rencana
perusahaan itu sendiri untuk meningkatkan produksi gas di Tangguh, strategi
BP menjadi lebih tidak terpercaya. Bahkan lebih nyata lagi bahwa perusahaan
semacam BP sebaiknya berhenti berpura-pura bahwa mereka bukan yang menjadi
penyebab utama masuknya industri lain ke area operasi mereka.[17]
|
Informasi
lebih lanjut tentang MIFEE
An
Agribusiness Attack in West Papua: Unravelling the Merauke Integrated Food
and Energy Estate (Penyerangan
Agrobisnis di Papua Barat: Mengupas Kawasan Pangan dan Energi Terpadu Merauke
-MIFEE) adalah sebuah laporan independen daring (online) tentang
MIFEE:
Ironic
Survival (Kondisi Bertahan Hidup yang
Ironis) adalah sebuah film tentang proyek MIFEE yang dibuat oleh ‘Papuan
Voices’, sebuah proyek pemberdayaan dan pembuatan film. Lihat http://www.engagemedia.org/papuanvoices.
SORAK: (Suara Orang Kampung) adalah forum bagi masyarakat
kampung di Papua Selatan (Merauke, Mappi, dan area Boven Digul) untuk
berbicara langsung tentang persoalan dan aspirasi mereka, termasuk
pengembangan perkebunan. Versi bahasa Inggris dan Indonesia.
FPP,
AMAN, Sawit Watch dan berbagai kelompok lain telah mengirimkan permintaan
tindak lanjut kepada UN Committee on the Elimination or Racial
Discrimination (CERD)/ Komite PBB untuk Penghapusan Atau Diskriminasi Ras tentang
kasus MIFEE. Lihat surat bulan Februari 2012 di http://www.forestpeoples.org/.
|
[1] Rencana
Aksi Percepatan UP4B mencakup studi kelayakan untuk proyek bendungan air
yang akan dilaksanakan oleh sebuah badan pemerintah, yaitu Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada tahun 2011-2013. Informasi lebih lanjut
tentang rencana-rencana sebelumnya untuk Mamberamo dapat dilihat di DTE 89-90, November 2011,
dan DTE 50, Agustus 2001.
[3]
Konsep-konsep MIFEE yang lain menyebutkan kawasan-kawasan berbeda dengan jenis
tanaman yang berbeda yang akan ditanam.
[5] Reducing
Emissions from Forest Degradation and Deforestation (REDD)–
skema-skema konservasi karbon dengan melindungi hutan-hutan (lihat /id/theme/redd untuk informasi lebih lanjut.
[7] Rencana
Aksi lengkap (2011-2014 ada dalam Lampiran II Peraturan Presiden
No. 65, September 2011, tentang Percepatan Pembangunan di provinsi Papua dan
Papua Barat), sementara Rencana Aksi Percepatan untuk periode 2011-2012
terdapat dalam Lampiran I.
[8] Lihat Jakarta
Post 8/Des/2011, 12&14/Jan/2012; Feb 20, 2012; dan westpapuamedia,
Maret 1.
[9] Jakarta
Post 8/Des/11.
[10] Jakarta
Post 14/Jan/2012
[11] VIVAnews
28/Mar/2012
[12] Bisnis
Indonesia 16/Mar/2012
[13] Indonesia
Today 16/Mar/2012
[14] Bisnis
Indonesia 16/Mar/2012
[16] Lihat
tabel, halaman 38, UP4B Rencana Aksi Percepatan
[19]
Pernyataan kepada Subkomite Parlemen Eropa tentang Hak Asasi Manusia, ‘Dengar
Pendapat Umum tentang kondisi hak asasi manusia di Asia Tenggara dengan fokus
khusus Papua Barat’, 29 November 2011.