Postingan Populer

Senin, 03 Oktober 2016

Kebijakan Sosial dan Pengembangan Masyarakat



Kebijakan Sosial dan Pengembangan Masyarakat:
Perspektif Pekerjaan Sosial





Many disciplines claim expertise in working with individuals, groups, and families, but social work has long stood alone in its focus on the organizational, community, and policy  contexts  within  which  its  clients  function.  The  concept  of  person-in- environment  is   not   simply   a   slogan   that   makes   social   workers  aware   of environmental influences. It means that social workers recognize that sometimes it is the environment and not the person that needs to change.

Netting, Kettner dan McMurtry,
Social Work Macro Practice (2004: xiv)

Abstract

This paper discusses relation between social policy and community development. It basically addresses three paramount questions: Why community development needs to involve social policy? What are the roles of policy makers in community empowerment programmes? What capacities needed by policy actors in performing their   mandate?   After   highlighting  concepts   of   community   development  and community  organisations,  this  article  then  identifies  community  development tragedies delineating the importance of social policy. Finally, roles and competencies of policy actors conclude this paper.



Pengantar



Banyak  disiplin  mengklaim  memiliki  keahlian  dalam  bekerja  dengan  individu, keluarga dan kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang memfokuskan pada keberfungsian klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan kebijakan, salah satunya adalah Pekerjaan Sosial (Social Work). Sebagaimana dinyatakan Netting, Kettner dan McMurthry (2004), dalam perspektif Pekerjaan Sosial konsep “orang- dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para Pekerja Sosial perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan. Melainkan, memberi pesan jelas bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.


Oleh karena itu, meskipun Pengembangan Masyarakat (PM) seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan individu dan kelompok pada aras lokal, PM yang berkelanjutan menekankan pentingnya strategi-strategi Kebijakan Sosial  yang  beroperasi melebihi pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.
 

Pengembangan Masyarakat



Disiplin Pekerjaan Sosial menetapkan bahwa PM adalah bagian dari strategi Praktik Pekerjaan Sosial Makro. Beberapa frasa lain yang sering dipertukarkan dengan PM antara lain: Community Organizing (CO), Community Work, Community Building, Community Capacity Building, Community Empowerment, Community Participation, Ecologically Sustainable Development, Community Economic Development, Asset- Based  Community Development, Faith-Based Community Development, Political Participatory Development, Social Capital Formation, dst. (Suharto, 2006; Suharto,
2007).



Di jagat Pekerjaan Sosial, PM seringkali didefinisikan sebagai proses penguatan masyarakat yang dilakukan secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama yang setara (Suharto, 2008; Suharto,
2006; Ife, 1995; Netting, Kettner dan McMurtry, 1993; DuBois dan Milley, 1992). PM

adalah strategi Pekerjaan Sosial dengan mana anggota masyarakat didorong agar

memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah kelompok miskin dan lemah yang tidak memiliki akses  kepada  sumber  pembangunan, meskipun  tidak  menafikan  kelompok  lain untuk berpartisipasi.


Tujuan utama PM adalah memberdayakan individu-individu dan kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan) yang  diperlukan untuk  mengubah kualitas  kehidupan komunitas mereka. Kapasitas tersebut seringkali berkaitan dengan penguatan aspek ekonomi dan politik melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial besar yang bekerja berdasarkan agenda bersama.


PM bukanlah pendekatan “cetak biru” (blueprint), sekali jadi. Melainkan proses yang partisipatif dan berkelanjutan; anggota-anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok-kelompok          formal   dan   informal   untuk   berbagi   pengetahuan   dan pengalaman, serta mencapai tujuan bersama. Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan kesempatan hidup; difasilitasi dalam merancang  solusi-solusi  yang  tepat;  serta  dilatih  agar  memiliki  kapasitas  agar mampu   mengakses   sumber-sumber   yang   ada   di   dalam   maupun   di   luar komunitasnya.


PM  mengekspresikan nilai-nilai  keadilan,  kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan, partisipasi, kerjasama, dan proses belajar yang berkelanjutan. Pendidikan, pendampingan  dan   pemberdayaan  adalah   inti   PM.   PM   berkenaan   dengan bagaimana mempengaruhi struktur dan relasi kekuasaan untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang mencegah orang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama Pekerjaan Sosial adalah making the best of the clients resources”. Payne (1986:
26) menyatakan:


Whenever a social worker tries to help someone, he or she is starting from a position in which there are some useful, positive things in the client’s life and surroundings which will help them move forward, as well as the problems or blocks which they are trying to overcome. Part of social work is finding the good things, and helping the client to take advantage of them.


Sejalan dengan perspektif kekuatan (strengths perspektif), para Pekerja Sosial tidak boleh memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan sebagai aktor dan sistem sosial yang memiliki kekuatan positif  dan  bermanfaat bagi  proses  pemecahan masalah. Bagian  dari pendekatan Pekerjaan Sosial adalah menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal itu.


Pengorganisasian Masyarakat



Sebagaimana dijelaskan di muka, Pengorganisasian Masyarakat (Community Organizing/CO)  adalah  nama  lain  dari  Pengembangan Masyarakat  (Community Development/CD). Saat ini, di negara asal Pekerjaan Sosial, seperti Inggris dan Amerika Serikat, mata kuliah ini umumnya dinamakan Social Work Macro Practice, Community Work, CD atau CO saja.


Selama puluhan tahun para pendidik dan praktisi Pekerjaan Sosial di Indonesia selalu menggabungkan konsep CO dan CD secara tandem. Mata kuliah inti Pekerjaan Sosial di banyak sekolah Pekerjaan Sosial di Indonesia hingga kini masih menggunakan nama COCD: Community Organization/Organizing and Community Development. Saking populernya, frasa ini nyaris tidak diterjemahkan lagi ke dalam Bahasa Indonesia. Para pengajar Pekerjaan Sosial di Indonesia seakan merasa berdosa jika tidak menggunakan istilah COCD atau CO/CD secara terintegrasi.


CO pada hakikatnya merupakan sebuah proses dengan mana warga masyarakat didorong  agar  bekerjasama  untuk  bertindak  berdasarkan kepentingan  bersama. Makna “pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang  melibatkan orang berinteraksi dengan orang lain secara formal. Karenanya, tujuan utama CO adalah mencapai tujuan  bersama  berdasarkan cara-cara dan  penggunaan sumberdaya yang disepakati bersama pula. Banyak program CO yang menggunakan cara-cara populis dan tujuan-tujuan ideal demokrasi partisipatoris. Para aktivis CO atau CO workers biasanya menciptakan gerakan-gerakan dan aksi-aksi sosial melalui pembentukan kelompok massa, dan kemudian memobilisasi para anggotanya untuk bertindak, mengembangkan kepemimpinan, serta relasi diantara mereka yang terlibat.


Meskipun identik, CO sejatinya dapat dibedakan dengan CD. Dalam sejarahnya, CD lebih sering diterapkan pada masyarakat perdesaan di negara-negara berkembang. Karena permasalahan sosial utama di negara ini adalah kemiskinan massal dan struktural, maka dalam praktiknya CD lebih sering diwujudkan dalam bentuk “pengembangan  ekonomi  masyarakat”  atau  Community  Economic  Development (lihat Suharto, 2008; Suharto, 2006; Ife, 1995). PM biasanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan lokal (locality development) di sebuah permukiman atau  wilayah  yang  relatif  kecil.  Program-programnya biasanya  berbentuk  usaha ekonomi mikro atau perawatan kesehatan dasar, pemberantasan buta aksara, peningkatan  kesadaran  dan  partisipasi  politik  warga  yang  bersifat  langsung dirasakan oleh penduduk setempat.


Sebaliknya, CO lebih sering diterapkan pada masyarakat perkotaan yang relatif sudah maju. CO lebih banyak bersentuhan dengan aspek politik warga, seperti penyadaran hak-hak sipil (civil rights), pembentukan forum warga, penguatan demokrasi,   pendidikan   warga   yang   merayakan   pluralisme,   kesetaraan   dan partisipasi publik. PM seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan advokasi atau aksi sosial yang melibatkan pengorganisasian masyarakt (CO) dan menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks politik. Program-programnya bisa berupa perumusan dan pengusulan naskah kebijakan (policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, pengusulan draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin, advokasi upah buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS, pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dst.


Singkatnya, sebagai ilustrasi, jika CD menanggulangi kemiskinan melalui pemberian kredit dan pelatihan ekonomi mikro. Maka, CO menanggulangi kemiskinan dengan mendidik warga agar membentuk organisasi massa atau forum warga, sehingga mereka mampu bertindak melawan status quo, kaum pemodal, rentenir, atau kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak adil dan menindas. Tentu saja, pembedaan antara CD dan CO tidak bersifat absolut. Dalam kenyataan dan pada kasus-kasus tertentu, percampuran pendekatan keduanya sangat mungkin terjadi di antara berbagai kategori masyarakat. Dalam makalah ini, pendekatan CO dan CD


akan digabungkan dan hanya akan dipakai istilah PM saja. Selain konsep ini lebih populer, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsep PM lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka.


Tragedi PM



Dalam buku “Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat” (Suharto, 2006), penulis berargumen bahwa satu tragedi dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah bahwa pendekatan yang diterapkan seringkali terlalu terkesima oleh, untuk tidak menyatakan sangat mengagungkan, konteks lokal. Sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut pembangunan sosial, Kebijakan Sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan jender, ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik, dan kesetaraan sosial seringkali kurang mendapat perhatian.


Seakan-akan komunitas lokal merupakan entitas sosial yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program  PM  yang  bermatra  usaha  ekonomi  produktif  berskala  mikro, seperti “warungisasi” (setiap kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka warung) atau kambingisasi” (pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok). Suharto (2006: vii) menyatakan:

Tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme seperti itu. Hanya saja, tanpa  perspektif  holistik  yang  memadukan  kegiatan-kegiatan  lokal  dengan analisis kelembagaan dan Kebijakan Sosial secara terintegrasi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan. Diibaratkan dengan analogi “ikan dan pancing”, maka meskipun kelompok sasaran (target group) diberi ikan dan pancing sekalipun, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan sungai yang ada di seputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.



Selain karena “jebakan lokalitas” di atas, kegagalan PM juga bisa disebabkan oleh adanya bias-bias yang menghinggapi perencanaan dan pelaksanaan PM. Merujuk pada pengalaman Robert Chambers di beberapa negara berkembang yang dikemas dalam bukunya Rural Development: Putting the Last First (1985) dan pengalaman


penulis yang dibukukan dalam Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia” (Suharto, 2004), ditemukan sedikitnya 10 bias dalam PM, yaitu:


1.  Bias perkotaan. PM cenderung banyak di laksanakan di wilayah perkotaan.

Sementara itu daerah-daerah perdesaan seringkali terabaikan.

2.  Bias jalan utama. PM lebih banyak dilakukan di wilayah-wilayah yang dekat dengan  jalan  utama.  Daerah-daerah terpencil  yang  jauh  dari  jalan  raya kurang menarik perhatian karena sulit dijangkau dan kurang terekpose media massa.

3.  Bias musim kering. Masyarakat seringkali mengalami masalah kekurangan pangan dan penyebaran penyakit pada saat musim hujan dan banjir. Namun, program-program PM kerap dilakukan pada saat musim kering ketika mobil para development tourist mudah menjangkau lokasi dan sepatu mengkilat mereka tidak mudah terperosok lumpur.

4.  Bias   pembangunan   fisik.   Donor   dan   aktivis   PM   lebih   menyukai melaksanakan program pembangunan fisik yang mudah terukur dari pada pembangunan manusia.

5.  Bias modal finansial. Saat melakukan needs assessment dan Participatory Rural Appraissal (PRA), baik anggota masyarakat maupun para aktivis PM tidak jarang terjebak pada pemberian prioritas yang tinggi pada perlunya penguatan modal finansial (kredit mikro, simpan pinjam). Padahal dalam kondisi modal sosial yang tipis, kemungkinan terjadinya korupsi, pemotongan dana, dan pemalsuan nama orang-orang miskin, sangat besar.

6.  Bias aktivis. Program PM seringkali diberikan pada “orang-orang itu saja” yang        relatif   lebih   menonjol   dan   aktif   dalam   menghadiri   pertemuan, mengemukakan pendapat dan mengikuti berbagai kegiatan di wilayahnya. Kecenderungan kepada good persons ini menyebabkan silent majority” menjadi terabaikan.

7.  Bias  proyek. Program PM  diterapkan berulangkali pada  wilayah-wilayah yang sering menerima proyek, karena dianggap telah mampu menjalankan


kegiatan dengan baik. Daerah-daerah yang dikategorikan good locations ini biasanya menjadi target rutin pelaksanaan proyek-proyek percontohan.

8.  Bias  orang  dewasa.  Anak-anak  dan  kelompok  lanjut  usia  yang  pada umumnya dianggap kelompok “minoritas” jarang tersentuh program PM. Mereka jarang dilibatkan dalam identifikasi kebutuhan dan perencanaan program, apalagi dimasukan sebagai penerima program.

9.  Bias  laki-laki.  Di  daerah-daerah  terpencil  di  Indonesia,  laki-laki  pada umumnya lebih sering terlibat dalam kegiatan PM ketimbang perempuan.

10. Bias orang “normal”. Para penyandang cacat, termasuk anak-anak dengan kebutuhan  khusus   jarang   tersentuh  program  PM.   Mereka   dipandang kelompok yang tidak normal”.



Kebijakan Sosial dan PM



Mengatasi tragedi PM tidak bisa dilakukan melalui perbaikan-perbaikan PM secara parsial. Melainkan, memerlukan perumusan dan pengembangan flatform kebijakan dalam tataran yang lebih luas dan holistik. Perumusan Kebijakan Sosial yang tepat merupakan strateginya. Kebijakan Sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan Sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.


Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006: 4): In short, social policy refers to what governments do when they attempt to improve the quality of peoples live by providing a range of income support, community services and support programs.” Artinya, Kebijakan Sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (lihat Suharto, 2008).


Dalam garis besar, Kebijakan Sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (lihat Midgley, 2000; Suharto, 2008). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan


bahwa   setiap   perundang-undangan,   hukum   atau   peraturan   daerah   yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari Kebijakan Sosial. Namun, tidak semua Kebijakan Sosial berbentuk perundang-undangan. Dalam perspektif yang lain, hukum bisa juga dipisahkan dari kebijakan. Hukum dipandang sebagai fondasi atau landasan konstitusional bagi Kebijakan Sosial. Dalam konteks ini,  kebijakan dirumuskan berdasarkan amanat konstitusi. Di  Indonesia, sebagai ilustrasi, Kebijakan Sosial yang berkaitan dengan program-program pembangunan kesejahteraan, seperti rehabilitasi sosial, jaminan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial dirumuskan dengan merujuk pada UU No. 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial.





Gambar 1: Hukum, Kebijakan Sosial dan Program PM
Sumber: Suharto (2008: 13)



Meskipun tidak harus berlaku di setiap konteks, Gambar 1 memberi petunjuk bahwa Kebijakan Sosial bisa pula dibedakan dengan kebijakan lembaga dan praktek aktual. Kebijakan Sosial bisa dijadikan rujukan oleh sebuah lembaga untuk merumuskan kebijakan lembaga yang kemudian dioperasionalkan dalam bentuk praktek aktual yang diterapkan di lembaga tersebut. Program-program PM bisa dilihat sebagai luaran (output) dari kebijakan lembaga, Kebijakan Sosial atau pun perundang- undangan.


Pemain Kebijakan



Di negara-negara Barat, Kebijakan Sosial sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah (Suharto, 2006; Suharto, 2008). Ini dikarenakan sebagian besar dana


untuk Kebijakan Sosial dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Di negara- negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin) (Suharto, 2009).


Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh Tabel 1, terjadinya pergeseran paradigma dalam  ketatanegaraan dan  kebijakan publik  dari  government (pemerintahan) ke governance (tata kepemerintahan), Kebijakan Sosial dipandang bukan lagi sebagai urusan yang didominasi pemerintah (Suharto, 2006; Suharto, 2008). Makna publik juga bergeser dari ‘penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ‘bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent  kemudian  muncul  sebagai  profesi  baru  dan  aktor  yang  banyak berperan mengkritisi beroperasinya Kebijakan Sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannnya demi  terwujudnya  good  governance  sejalan  dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.

Tabel 1: Pergeseran Paradigma dalam Formulasi Kebijakan Publik
Aspek
Government
Governance
Proses Perumusan
Kebijakan
Pemerintah
ƒ  Pemerintah
ƒ  Stakeholder
ƒ  Analis Kebijakan
ƒ  Independent ThinkThank
Penetapan
Kebijakan
Pemerintah
Pemerintah
Analisis Kebijakan
ƒ Pemerintah
ƒ Public Contractor
ƒ Government Think Thank
ƒ  Stakeholder
ƒ  Analis kebijakan
ƒ  Independent Think Thank
Sumber: Suharto (2006:108)


Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga negara secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan. Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang


(Winarno,  2004).  Struktur  pembuatan  kebijakan  di  negara-negara maju,  seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat, relatif lebih kompleks dari pada di negara-negara berkembang (Suharto, 2008). Proses perumusan kebijakan di negara-negara maju juga lebih responsif dalam merespon kebutuhan dan aspirasi warga negara. Selain karena prinsi-prinsip good governance telah berjalan efektif (KKN di kalangan pemerintah dan anggota dewan sangat rendah), setiap penduduk pada umumnya telah  memiliki kesadaran tinggi  terhadap hak-hak  politik  warga  negara.  Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Di Swiss dan negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen konstitusi (Winarno, 2004: 91). Di negara-negara berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil (Suharto, 2008).


Kebijakan Sosial memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan program PM (Suharto, 2009). Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, PM sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan perumus atau pembuat kebijakan seringkali diwujudkan bukan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Melainkan, sebagai aktor  yang  memungkinkan terciptanya lingkungan kondusif, sistem yang adil, dan program-program sosial yang holistik, termasuk memungkinkan terjadinya penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program PM.


Para   pembuat   kebijakan   biasanya   terlibat   dalam   menciptakan   situasi   dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pembuat kebijakan juga berusaha untuk membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Karenanya, mereka harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu    dalam    konteks    masyarakat    lokal,    maupun    bagaimana


mempengaruhi posisi-posisi  masyarakat  dalam  konteks  lembaga-lembaga sosial yang lebih luas.


Kompetensi



Menurut perspektif Pekerjaan Sosial, PM sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem  klien  dengan  lingkungannya.  Sistem  klien  dapat  bervariasi,  mulai  dari individu, keluarga, kelompok kecil, organisasi, sampai masyarakat (Suharto, 2009). Sementara itu sistem lingkungan dapat berupa keluarga, rukun tetangga, tempat kerja, rumah sakit dll. Dalam PM, Pekerja Sosial menempatkan masyarakat sebagai sistem klien dan sistem lingkungan sekaligus.


Karenanya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh perumus kebijakan yang terlibat dalam PM idealnya perlu mencakup pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan dan perilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial, dan pemasaran sosial (social marketing). Seperti diungkapkan oleh Mayo (1994:74), para Pekerja Sosial yang terlibat dalam perumusan kebijakan perlu memiliki pengetahuan mengenai latar belakang sosial, ekonomi dan politik dimana mereka bekerja:


The socio-economic and political backgrounds of the areas in which they are to work,  including  knowledge  and  understanding of  political  structures,  and  of relevant organisations and resources in the statutory, voluntary and community sectors. And they need to have knowledge and understanding of equal opportunities policies and practice, so that they can apply these effectively in every aspect of their work.


Perumus kebijakan juga memerlukan pengetahuan mengenai model-model analisis Kebijakan Sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktik Pekerjaan Sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktek perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan.


Keterampilan yang perlu dikuasai meliputi keterampilan interviu, relasi sosial, studi sosial,  pengumpulan  dan  pengorganisasian dana,  pengembangan  dan  evaluasi program, serta identifikasi kebutuhan (needs assessment) (Suharto, 2006). Dengan demikian, perumus Kebijakan Sosial perlu memiliki kompetensi profesional yang saling melengkapi (Suharto, 2006: 45-46) seperti:


    Engagement (cara melakukan kontak, kontrak dan pendekatan awal dengan beragam individu, kelompok, dan organisasi).
    Assessment (cara  memahami dan  menganalisis masalah dan  kebutuhan klien, termasuk assessment kebutuhan dan profile wilayah).
     Penelitian (cara mengumpulkan dan mengidentifikasi data sehingga menjadi informasi yang dapat dijadikan dasar dalam merencanakan pemecahan masalah atau mengembangkan kualitas program).
    Groupwork (bekerja dengan kelompok-kelompok yang dapat dijadikan sarana pemecahan masalah maupun dengan kelompok-kelompok kepentingan yang bisa menghambat atau mendukung pencapaian tujuan program pemecahan masalah).
   Negosiasi (bernegosiasi secara konstruktif dalam situasi-situasi konflik).

   Komunikasi (dengan berbagai pihak dan lembaga).

    Konseling  (melakukan  bimbingan  dan  penyuluhan  terhadap  masyarakat dengan beragam latar kebudayaan)
    Manajemen sumber (memobilisasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, termasuk                   manajemen   waktu   dan   aplikasi-aplikasi   untuk   memperoleh bantuan).
    Pencatatan dan pelaporan terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi program.




Senarai Literatur :



Barker,  R.  L.  (1987),  The  Social  Work  Dictionary,  Silver  Spring,  MD:  National
Association of Social Workers

Chambers, Robert (1984), Rural Development: Putting the Last First, Longman: Harlow

Chambers,  Robert  (1985),  Rural  Development:  Putting  the  Last  First,  London: Longman
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992). Social Work: An Empowering
Profession. Boston: Allyn and Bacon

Ife, Jim (1995), Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice, Mellbourne: Longman

Lee J dan Swenson C. (1986), “The Concept of Mutual Aid”, dalam A. Gitterman dan
L. Schulman (eds), Mutual Aid and the Life Cycle, Itasca: F. E. Peacock

Mayo, M. (1998), “Community Work”, dalam Adams, Dominelli dan Payne (eds),
Social Work: Themes, Issues and Critical Debates, London: McMillan.

Netting, F. Ellen, Peter M. Kettner dan Steven L. McMurtry (2004), Social Work
Macro Practice (third edition), Boston: Allyn and Bacon

Parsons, Ruth  J.,  James D.  Jorgensen dan  Santos H.  Hernandez (1994), The
Integration of Social Work Practice, California: Brooks/Cole

Payne, Malcolm (1986), Social Care in The Community, London: MacMillan Suharto, Edi (2009), Kemiskinan dan Perlindungan Sosial, Bandung: Alfabeta Suharto, Edi (2008), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta

Suharto, Edi (2007), Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) (edisi ke-2), Bandung: Alfabeta

Suharto, Edi (2007), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (edisi ke-4), Bandung: Alfabeta

Suharto, Edi (2006), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (edisi ke-2), Bandung: Refika Aditama

Suharto, Edi (2004), Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah
Tangga Miskin di Indonesia, Bandung: STKS Press

Winarno, Budi (2004), Teori dan Proses Kebijakan Publik (cetakan kedua), Yogyakarta: Media Pressindo.





Entri yang Diunggulkan

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua

Doc T anah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antro...