Postingan Populer

Selasa, 30 Agustus 2016

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua




Doc
Tanah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antropologi” di mana masyarakat pribumi “ tidak tersentuh sama sekali oleh kebudayaan Barat" (de Bruijn, 1959). Penjajahan telah sering dianggap sebagai kekuatan yang dapat merusak peradaban masyarakat-masyarakat pribumi. Mungkin tidak mengagetkan kemudian bahwa para antropolog awal yang berpikir bahwa mereka adalah orang-orang pertama yang menyentuh kebudayaan Papua yang “perawan”, mengalami benturan tentang peran mereka sendiri dalam proyek-proyek penjajahan. Para antropolog ini secara bersamaan membayangkan bahwa mereka memiliki baik kekuasaan untuk menghancurkan kebudayaan-kebudayaan pribumi maupun kecakapan ilmiah untuk melestarikan kebudayaan-kebudayaan itu selamanya. Kebanyakan antropolog abad 19 yang berpartisipasi dalam proyek-proyek kolonial yang penuh kekerasan memperkuat prasangka-prasangka umum dengan menggambarkan orang Papua sebagai bangsa yang secara mendasar biadab.

Sementara antropologlain menulis kritik dan bahkan mengadakan kampanye yang menggambarkan watak tak beradab dari misi memperadabkan orang-orang Papua ini. Ketika Indonesia menduduki Papua pada tahun 1962, Indonesia menggambarkan orang Belanda sebagai kaum penjajah yang miskin yang belum mampu menundukkan kebiadaban orang Papua (Machlin, 2000 [1972]). Teori antropologi digunakan oleh kaum nasionalis Indonesia yang menganggap bahwa orang Papua berada di tingkat terbawah dari tahap perkembangan umat manusia. Seperti antropolog penjajah, misi dari kaum nasionalis Indonesia di Papua adalah, dan hal ini masih berlaku sampai sekarang, berwajah Janus (ganda): mereka melawan apa yang mereka gambarkan sebagai primitivisme Papua namun di saat yang bersamaan, mereka berusaha untuk melestarikan identitas-identitas suku regional di Papua.

Pada tahun 1874 penjelajah Rusia Miklouho-Maclay memilih pantai Kowiai sebagai tempat penelitian antropologinya yang pertama di Tanah Papua. Dia memilih tempat ini karena dia membayangkan bahwa orang Kowiai adalah orang biadab murni. "Dikatakan bahwa orang-orang pribumi menyerang siapa pun yang mendarat di pantai mereka secara biadab. Mereka menjarah, membunuh dan menyiksanya. Semua cerita teror tentang kebiasaan biadab dan kanibal orang-orang di pantai Koviai (Kowiai, Papua) yang dikisahkan oleh orang-orang Melayu (Indonesia) membuat saya memilih tempat ini karena sepertinya saya akan bisa bertemu dengan penduduk Papua murni yang telah lama saya cari " (Maclay, dikutip dalam Greenop, 1944 [1874]).

Foto : Miklouho-Maclay
Orang Kowiai ternyata bukan berdarah murni sehingga ia pun kecewa. Dia menemukan bahwa beberapa orang Kowiai memiliki nenek moyang dari Pulau Seram dan pulau-pulau lain di sebelah barat Papua (Maclay, 1982 [1874]). Dia juga tidak bisa menemukan bukti yang meyakinkan yang dapat mendukung kecurigaannya bahwa orang Papua adalah kanibal. Reputasi kekerasan yang dilakukan orang Kowiai, Maclay menjadi percaya, bukanlah karena sifat inheren mereka yang biadab. Namun, watak ini datang dari sejarah panjang kontak penjajahan. Pada tahun 1828, hampir 50 tahun sebelum Maclay memulai penelitiannya, pemerintah Hindia Belanda mendirikan benteng Fort du Bus di pantai Kowiai sebagai pos terdepan pemerintahan kolonial mereka di Tanah Papua. Meskipun begitu, secara tidak langsung Belanda menegaskan otoritas mereka atas Papua sejak tahun 1660 melalui Sultan Tidore.

Sultan kadang-kadang mengirim armada hongi ke pantai-pantai di Tanah Papua, di mana mereka menggumpulkan kulit kura-kura, burung cenderawasih, ketimun laut (teripang), beras dan persembahan lain secara paksa (Huizinga, 1998). Setiap perahu sampan dalam armada hongi ini didayung oleh lebih dari 30 prajurit pribumi. Ketika armada hongi mendapatkan perlawanan dari orang-orang Papua, tindak kekerasan segera dilakukan; orang-orang Papua yang tertangkap di dalam peperangan ini dibawa ke Tidore sebagai budak (Huizinga, 1998). Kunjungan-kunjungan dari armada kapal Eropa ke pantai Papua selama periode ini menghasilkan pertemuan yang bisa digambarkan sebagai "konflik bersenjata setelah kontak awal yang relatif renggang "

Foto : Miklouho-Maclay
 Sastra Rusia merayakan Maclay sebagai seorang humanis dan seorang akademisi yang bertindak “melalui kebaikan hati dan kebenaran, tidak melalui senjata dan vodka” (Ogloblin, 1997). Persepsi tajamnya bahwa orang-orang Papua tidaklah secara inheren memiliki watak kejam dan biadab membedakannya dengan teman-teman seangkatannya. Namun begitu, peninggalan pemikirannya bukannya tidak rumit. Usaha awal Maclay untuk melaksanakan penelitian di antara orang Kowiai diperantarai oleh sekelompok tentara. Pada tanggal 1 Maret 1874, dia menulis: "Setelah sarapan, dilengkapi dengan sebuah buku catatan, payung dan revolver, saya berangkat dengan perahu lokal. Saya diantar oleh Sangil yang membawa sebuah pedang pendek yang tua, dan David yang membawa senapan berburu dan sebuah tikar karet India yang kecil” (Maclay, 1982 [1874]).

Nara sumber Maclay sangat takut kepadanya. Di kemudian hari di bulan yang sama, dia menulis: "Meskipun menerima pembagian tembakau dalam jumlah yang relatif banyak, mereka tidak merasa aman berada di urumbai (kabin perahu), dan ketika saya sibuk menulis kata-kata mereka, mendengarkan aksen mereka secara berhati-hati, semua orang Papua, satu demi satu, pergi diam-diam dengan perahu. Seorang pribumi yang mendiktekan kata-kata kepadaku tiba-tiba merasa sangat ketakutan ketika ditinggalkan sendirian. Ia bahkan melupakan tembakau yang telah ia terima. Ia melompat ke perahunya, dan segera mendayung perahunya cepat-cepat tanpa berkata apa-apa."

Peta perjalanan Miklouho-Maclay
Maclay meninggalkan pantai Kowiai kira-kira dua bulan kemudian setelah berbagai insiden kekerasan mulai sering terjadi. Seratus orang Papua menyerang markas Maclay ketika dia pergi melakukan ekspedisi. Orang-orang Maclay berkata pada Maclay bahwa tubuh seorang gadis muda dipotong-potong di dalam markas itu. "Tubuh tanpa kepala dan lengan yang menjuntai ditusuk dengan tombak dan dibawa dengan penuh kemenangan ke gunung-gunung" (Maclay 1982 [1874]). Tiga minggu kemudian, pada tanggal 23 April, Maclay menulis bahwa dia telah menangkap pemimpin Papua yang diduga menyerang markasnya dengan “menangkap kapten dengan memegang leher dan membidikkan pistol ke arah mulutnya.” Maclay pun segera bergegas pergi dari Papua. Meski, atau mungkin karena, tempat risetnya yang penuh kekerasan itu, Maclay melihat peradaban [Barat] sebagai kekuatan yang merusak. Dia menggambarkan buruh-buruh Papua yang baru kembali dari perkebunan-perkebunan Eropa sebagai agitator kejam yang mengganggu kehidupan yang biasanya damai dan aman (Maclay, 1982 [1874]). Maclay memiliki beberapa gagasan untuk menyelamatkan orang Papua dari apa yang ia lihat sebagai dampak buruk penjajahan; orang harus mendirikan komunitas utopia Papua di sebuah wilayah yang bebas dari kendali dan eksploitasi penjajah (Ogloblin, 1997). Hal yang mendasari kepedulian liberal Maclay terhadap orang-orang yang dipelajarinya itu adalah gagasan bahwa masyarakat-masyarakat pribumi Papua yang sederhana akan dirusak dan dihancurkan oleh masyarakat Eropa yang lebih maju atau oleh “pengaruh yang mencemari” dari peradaban Indonesia (Greenop, 1944

Tak lama setelah Maclay menyelesaikan penelitiannya, Luigi Maria D'Albertis berlayar menaiki Sungai Fly melalui tiga perjalanan pada tahun 1876 dan 1877. (Beberapa bagian dari sungai Fly sekarang ini menjadi pembatas alam antara Provinsi Papua dan negara Papua Nugini). Pada tahun 1876, D'Albertis menjadi orang Eropa pertama yang menjelajah jauh ke wilayah yang belum terpetakan, melampaui wilayah-wilayah pantai di Papua. Tidak seperti Maclay, D'Albertis memiliki kepercayaan kolot bahwa orang Papua pada dasarnya adalah biadab. Di dalam ekspedisinya, D'Albertis membawa sebuah senapan, empat buah revolver enam bilik, dinamit, 2000 peluru besar dan kecil, roket dan kembang api, serta sembilan senapan angin (Souter, 1964) Dalam perjalanan pertamanya ke Fly pada tahun 1876, kebanyakan orang Papua yang tinggal di kampung-kampung kecil di sepanjang sungai berlari ke hutan ketika melihat kapal uap 52 kaki D'Albertis bernama Neva (D'Albertis, 1880b) D'Albertis memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil makanan untuk krunya dari rumah-rumah yang “ditinggalkan”sekaligus mengumpulkan artefak etnografik bagi museum-museum Eropa. Babi-babi, ubi manis, tepung sagu, panah, kapak batu, tas-tas dari kulit kayu, tengkorak nenek moyang, dan bahkan mayat diambilnya (D'Albertis, 1880b). Tidak mengagetkan, akhirnya orang Papua segera melakukan serangan terhadap Neva ketika kapal itu melewati rumah-rumah mereka.

Foto :Luigi Maria D'Albertis
Pada tanggal 1 Juni 1887, selama perjalanan D'Albertis yang kedua, Neva disergap sesaat sebelum fajar ketika kru masih tertidur. D'Albertis tidak dapat menghitung jumlah penyerang di dalam gelap, tetapi dia menghitung ada 45 anak panah yang menempel di kapal Neva. Sebagai balasan, dia menembakkan 120 tembakan dengan senjata laras ganda. Satu orang kru D'Albertis berkebangsaan China terluka dan setidaknya satu orang Papua terbunuh. Pada akhir tahun 1877, dalam perjalanan ketiganya, D'Albertis mampu mencapai jarak 580 mil ke arah atas sungai Fly (Souter, 1964). Saat itu, orang-orang Papua yang tinggal di sepanjang sungai telah mengorganisasi dirinya guna melawan Neva. Di satu titik, 400-500 orang muncul di bibir sungai dan ketika Neva memunculka uapnya, beberapa lusin orang naik ke perahu-perahu dan mengejarnya. Hanya ketika satu dari orang-orang itu tertembak di lengan, armada perahu itu meninggalkan usahanya untuk mengejar mesin uap itu. Selama perjalanan pulang ke pantai, armada perahu Papua menemuinya di tempat di mana Neva pernah diserang. D'Albertis dan orang-orangnya semakin ketakutan terhadap orang Papua: dalam beberapa kasus, mereka bahkan menembak perahu-perahu yang membawa orang Papua yang tidak menampakkan gejala-gejala permusuhan sedikit pun (D'Albertis, 1880b

Kepala Orang Papua
Selama perjalanan keduanya di sungai Fly, D'Albertis mengambil kepala seorang Papua yang terbunuh oleh salah seorang krunya. Kepala dipisahkan dari tubuh dan kemudian diawetkan dalam cairan alkohol. Cara-cara yang digunakan D'Albertis untuk mengumpulkan dan mengawetkan kepala ini sungguh mirip dengan cara-cara yang dia gunakan untuk mengumpulkan dan mengawetkan spesimen serangga dan tanaman. Dengan standar sekarang, cara-cara D'Albertis ini akan dianggap sangat tidak etis, bahkan melanggar hukum (illegal). Yang mengagetkan, volume pertama dari catatan perjalanannya ditutup dengan sebuah permohonan yang terdengar liberal untuk mendukung dan memandu orang-orang Papua: "Mereka harus kita berlakukan sebagai teman, bukan sebagai budak; mereka harus kita hargai, bukan kita rusak”(D'Albertis, 1880a). Tidak seperti Maclayyang ingin melestarikan kebudayaan Papua dari pengaruh merusak pasar tenaga kerja dan serangan-serangan Eropa lainnya, D'Albertis melihat proyek penjajahan sebagai sebuah kesempatan untuk menggantikan kebiadaban orang Papua dengan peradaban. Selama masa awal abad 20, penelitian antropologi di Papua sebagian besar dilaksanakan sebagai bagian dari ekspedisi militer besar. Daftar kata Belanda-Mimika yang disusun pada bulan Oktober 1904 dalam sebuah ekspedisi militer Belanda di dekat tempat penelitian Maclay dengan jelas menggambarkan peran ganda antropolog sebagai pelestari sekaligus perusak budaya. Beberapa kata dari daftar kata ini antara lain: manusia baik (goed mensch), manusia jahat (slecht mensch), duda (weduwnaar), janda (weduwe), menangis (roepen), mati (dood), hidup (levend), sakit (ziek), luka (wond), hantu (geest), kuburan (graf), parang, budak (slaaf), perang (oorlog), pembunuhan (vermoorden), menembak (schieten), mengayau (koppensnellen), perdamaian (vrede), tajam (scherp) dan tumpul (bot) (Anonymous, 1904). Daftar ini menyoroti kekerasan yang menyertai penelitian antropologi di dalam periode ini. Petugas-petugas awal penjajahan Belanda di Papua menganggap bahwa tugas membuat orang Papua beradab adalah jauh lebih penting daripada tugas melestarikan kebudayaan-kebudayaan mereka yang khas.

Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan serangkaian eksplorasi militer dari tahun 1907 hingga 1915 untuk mendapatkan pengetahuan tentang wilayah pedalaman sambil melakukan"sebuah pameran kekuatan yang mencukupi untuk menghentikan segala bentuk pengayauan dan hal-hal semacam itu" (Overweel, 1998). Tim ekspedisi terdiri dari dua petugas militer, 80 tentara, satu petugas kesehatan, personil administratif dan RS, 80 tahanan dengan empat pengawas, seorang ahli geologi, dan dua pemandu pribumi (Ibid.) Ekspedisi-ekspedisi swasta juga memiliki komposisi seperti ini. Sebagai contoh, ekspedisi antropologi 1926 yang dipimpin Matthew Stirling untuk menemukan suku "pigmy" di Papua yang terdiri lebih dari 400 orang, termasuk tahanan-tahanan Jawa, pembawa barang dari Dayak, tentara dari Ambon, dan petugas-petugas Belanda. Seperti kontak antropologi pada abad 19, ekspedisi-ekspedisi ini ditandai dengan kekerasan. Lebih dari delapan orang Papua dibunuh oleh anggota ekspedisi Stirling.

Setelah proses pasifikasi (penundukan) orang-orang di pedalaman Papua dengan serangan penghukuman, ilmuwan mulai merasa tidak membutuhkan lagi kawalan sejumlah kecil pembawa barang dan tentara. Pada pertengahan abad 20, puncak dari kecenderungan etnografi bernama “etnografi penyelamatan”, misi untuk melestarikan kebudayaan Papua menjadi kewajiban administratif. Pada tahun 1951, Kantor Urusan Pribumi (the Bureau for Native Affairs) didirikan di Hollandia (sekarang Jayapura), dan selama dekade berikutnya, Kantor ini mengkoordinasi usaha-usaha penelitian lebih dari selusin etnografer/antropolog yang bekerja di seluruh Papua(de Bruijn, 1959).

Antropolog Jan van Baal menjadi gubernur Papua pada tahun 1953 dan memberikan dukungan institusional yang lebih besar lagi untuk para antropolog (Souter, 1964). Ketika Indonesia menduduki Papua pada tahun 1962, penelitian antropologi sama sekali terhenti. Alih-alih, antropologi gaya lama dan museum etnografi dimobilisasi untuk menjadikan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Di museum provinsi, sebagai contoh, kebudayaan Papua digambarkan sebagai bagian dari kesatuan, namun secara regional beragam dari kebudayaan Indonesia. Pesannya: "Kami khas sebagai provinsi namun kami satu dengan seluruh Nusantara”(Taylor, 1995). Ketika identitas Papua dikonfigurasi ulang melalui proyek rekayasa budaya, antropologi digunakan untuk melukiskan orang-orang Papua sebagai warga kelas dua. Menurut buku teks SMP, banyak kebudayaan Indonesia masih hidup di alam masa prasejarah (Koentjaraningrat, 1954). Meski beberapa teks diterbitkan sebelum Papua menjadi bagian dari Indonesia, kebanyakan orang Indonesia sekarang terus menganggap orang Papua sebagai orang-orang biadab dari zaman batu. Meski pelestarian identitas budaya regional masih menjadi bagian penting dari ideologi nasional Indonesia, misi memperadabkan orang Papua tetap menjadi agenda yang kuat. Gerakan penentuan nasib sendiri yang menginginkan kemerdekaan bangsa Papua dari Indonesia digambarkan di media massa sebagai sekelompok teroris tak beradab (Kirksey & Roemajauw, 2002). Tentara Indonesia membayangkan bahwa peran mereka dalam misi memperadabkan orang Papua ini adalah dengan melawan orang-orang Papua “yang liar” secara langsung (Kirksey, 2002).


Tubuh Wellem Korwam yang dibawa kedarat
Orang-orang Papua, seperti juga antropolog-antropolog pasifis yang sudah disebutkan di atas, juga memegang wacana kolot di atas, yakni menggambarkan negara Indonesia sebagai biadab. Banyak taktik militer Indonesia di Papua memang bisa dilihat sebagai biadab dalam kacamata dan standar Barat. Sebagai contoh, tentara membunuh seorang laki-laki bernama Igiyouda di dekat Enarotali di Paniai (Pegunungan Tengah) dengan cara yang luar biasa kejam. Menurut para saksi mata, Igiyouda berteriak ketika hampir meninggal. "Saya disiksa,"dia berteriak. "Mereka mengebiri saya." Tentara-tentara Indonesia memanaskan sebatang besi panjang di atas api hingga besi itu panas dan merah. Mereka kemudianmenusukIgiyouda dari anus hingga mulutnya. Dalam sebuah insiden lain yang terjadi pada bulan September 2001, tubuh Wellem Korwam (berusia 32 tahun) ditemukan mengapung di laut di dekat kota Wasior di pantai Utara Papua. Seperti orang Papua yang kepalanya diambil dan dikoleksi oleh asisten D'Albertis, tubuh Korwam dimutilasi.

Tubuhnya telah dipotong-potong menjadi tujuh bagian. Dalam kata-kata Arjun Appadurai (1998), "kekerasan kolektif merupakan dampak dari propaganda, rumor, prasangka dan ingatan –segala bentuk pengetahuan dan biasanya ditambah dengan keyakinan yang berlebihan, sebuah keyakinan yang mampu memproduksi tingkat kekerasan yang tidak manusiawi." Wacana tentang orang-orang biadab –apakah itu diproyeksikan ke orang Papua atau Indonesia, agen nasional maupun kolonial, pribumi atau antropolog – memiliki kapasitas untuk menciptakan konflik baru. Dengan kata lain, “perang kata-kata” mampu membuat orang berperang sungguhan. Secara historis, antropolog telah memproduksi sebuah ideologi yang cukup rumit tentang kebiadaban pribumi dan sesungguhnya telah melakukan kekerasan fisik di Papua. Kita harus memikirkan secara sungguh-sungguh sebelum kita melemparkan batu ke rumah kaca kita.

Sejarah panjang kekerasan kolonial di Papua sangat relevan untuk memahami kebudayaan Papua kontemporer, tetapi mengikuti kajian kolot tentang kebiadaban Papua ke Indonesia, yang kemudian memproduksi kajian tandingan soal kekerasan neo-kolonial biadab, hanya akan melanggengkan mitos pribumi yang biadab. Penelitian lebih lanjut tentang Papua mestinya melihat bagaimana kekerasan telah dipakai baik untuk kepentingan individu maupun lembaga, dan bagaimana kekerasan menghasilkan hasrat untuk kesenangan pribadi dan kekuasaan. Eben Kirksey telah melakukan penelitian di Papua, Panama, Costa Rica, Belanda dan Indonesia. 

Sumber :
Cultural Survival Quarterly. 2002.Fall: 34-8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua

Doc T anah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antro...