
Adakah yang (spontan) mengatakan “itu porno”?
“kok gitu ya”, “aaah.. tidak komentar tapi pikirannya ngeres”? Mengapa
kita berpikiran atau berkomentar demikian ketika melihat gambar ini? Gambar ini
anggap saja sebuah realitas sosial. Ketika kita langsung berkomentar atau
berpikir demikian, pastilah karena didahului oleh sebuah “referensi” atau
konstruk atau praduga tentang sebuah realitas. Ekspresi-ekspresi dalam tanda
kutip di atas adalah cerminan konstruk pikiran kita (yang dimiliki pikiran
kita) dalam melihat realitas. Ini mempengaruhi analisis sosial kita dalam
melihat dan memahami realitas. Jadinya, kurang “objektif” dalam melihat
realitas. Karena itu tadi, terpengaruh konstruk pikiran kita bahwa gambar itu
adalah “porno”, “ngeres” dsb. Padahal belum tentu demikian dalam
realitas yang sebenarnya. Gambar seperti ini dalam realitas sosial di desa di
Bali ketika foto itu dibuat, ya tidak ada apa-apa, tidak porno dsb seperti
pikiran kita tadi. Jika kita menyebut porno atau ngeres ya berarti pikiran kita
(konstruk) yang memang mungkin ngeres dan “piktor”.. hehe…. . Jika kita terpengaruh
konstruk “yang kita persiapkan” sebelum melihat realitas, sesungguhnya realitas
yang dimaksud adalah “rekaan kita” sendiri, bukan realitas itu sendiri. Apakah
tidak sebaiknya kita membiarkan realitas itu menampak dengan sendirinya tanpa
konstruk kita? Supaya realitas itu memberitahu kita tentang dirinya.
Inilah pemikiran dasar fenomenologi. Yaitu
melihat atau memahami realitas sosial tanpa praduga, tanpa konstruk, agar
realitas sosial itu menampak secara alami, dalam kenyataan yang sebenarnya.
Kembali pada gambar. Apakah itu porno? Ngeres? Sebutan porno, ngeres
adalah bukan realitas, tetapi konstruk. Itu bukan realitas yang sebenarnya.
Padahal di realitas sosial desa tersebut hal itu bukan apa-apa. Sebutan-sebutan
yang muncul tadi itu adalah sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dalam melihat
realitas. Lantas, bagaimana agar kita bisa melihat realitas apa adanya tanpa
konstruk? Dalam hal ini, Edmund Husserl mengajari kita untuk “menahan”,
membiarkan realitas itu lewat dulu tanpa ada “kesimpulan” apa-apa dari kita
supaya realitas itu menampak secara ‘genuine’ dan bisa ditangkap oleh pengamat
atau analis sosial secara sebenarnya, realitas yang sebenarnya. Ini oleh
Husserl disebut “epoche”.
Tulisan singkat ini mengantarkan pada
pemahaman dasar fenomenologi, yakni suatu pendekatan untuk memahami fenomena
atau realitas sosial secara natural dan “genuine”, apa adanya, tanpa prasangka,
prakonsepsi ataupun konstruk terhadap fenomena tersebut, sehingga memunculkan
kesadaran tentang sikap yang harus diambil secara tepat. Ia bicara tentang
bentuk relasi fenomena dengan dunia-kehidupannya yakni bentuk cara-berada (way
of being).
Kata kunci: fenomenologi, memahami fenomena
tanpa konstruk, cara-berada fenomena.
Fenomenologi, sebagaimana dikenalkan oleh Edmund
Husserl, merupakan gerakan pemikiran filsafat (cara berpikir) untuk memahami
fenomena (penampakan)[1], yang kemudian, dari gerakan filsafat, fenomenologi
dapat dimaknai sebagai sebuah teori dan juga metode. Hal ini
dapat dirunut dari pernyataan Husserl, bahwa hal yang paling penting
adalah mengembangkan suatu metode yang akurat sehingga mampu
mendorong para filsuf dan ilmuwan untuk mencapai “sesuatu itu sendiri” (things
themselves)[2]. Dan, “sesuatu itu sendiri” itu tak lain adalah
dasar-dasar pengertian tentang “fenomena”, yang dimulai dengan pemahaman
terhadap “dunia kehidupan yang secara langsung kita alami” atau yang oleh
Husserl disebut “lebenswelt”. Pemahaman terhadap lebenswelt ini
diperoleh dengan metode “reduksi” dan memahami karakter dasar kesadaran yaitu
“intensionalitas” dan “intersubjektivitas”[3]. Sebelum melanjutkan jabaran tentang fenomenologi Husserlian dengan karakter “trinitas”-nya
(filsafat, ilmu, metode), perlu dideskripsikan tentang “fenomena”. Selanjutnya,
bahasan fenomenologi dalam tulisan ini lebih mengemukakan fenomenologi sebagai teori
dan metode.
Fenomena, berasal dari kata dalam bahasa
Yunani, phainomenon (phainomai, menampakkan diri), sehingga
fenomenologi adalah ilmu tentang apa yang menampakkan diri ke pengalaman subjek[4]. Fenomena, berarti segala sesuatu yang menyingkapkan-diri atau
sesuatu yang memberikan-dirinya dalam ketersingkapannya yang khusus[5]. Maka, fenomenologi, adalah metode untuk menangkap fenomena,
atau metode untuk melihat segala sesuatu yang memberikan-dirinya (self-given)
menurut cara keterberiannya masing-masing yang khas dan singular/
perspectival (its manner of givenness). Kuncinya, terletak pada:
cara-bagaimana sesuatu itu memberikan-dirinya/ menyingkapkan-dirinya; atau
dengan kata lain: cara-berada dari sesuatu [6]. Lantas, bagaimana “sesuatu” itu dapat memberikan-dirinya
menurut cara keterberiannya masing-masing, atau secara “apa adanya”, sehingga
“sesuatu” itu “mewujud” atau “meng-ada” (being) ? Supaya “sesuatu”
(fenomena) itu dapat memberikan-dirinya apa adanya tanpa ada
prasangka, pra-konsepsi yang mencemari “wujud keasliannya”, maka fenomenologi
Husserlian memberikan cara yakni menangguhkan atau “menempatkan di dalam
kurung” segala konstruksi pengetahuan yang melekat dalam cara berpikir kita dan
selalu kita andaikan tentang sesuatu itu, untuk kemudian dari titik tanpa
pengandaian (presuppositionless) itu kita dapat melihat sesuatu itu
sebagai sesuatu itu sendiri, bukan konstruksi pengetahuan kita tentang sesuatu
itu. Metode ini oleh Husserl disebut “epoche”[7]. Di sini, fenomenologi hendak memprovokasi kesadaran
kita dengan memalingkan pengamatan dari dunia-keseharian yang
artifisial, kembali kepada dunia-kehidupan yang mendasar, fundamental
dan transendental[8].

Kesadaran inilah yang menjadi proyek besar
fenomenologi. Kesadaran muncul dari relasi intensional yang memberi makna pada “lebenswelt”
(life-world) tempat manusia hidup dengan segala pengalaman hidup dan
perasaannya, merupakan momen-afeksi atau kepedulian yang memperlihatkan
keterlibatan atau cara-berada (meng-ada) kita yang mendasar dengan realitas
atau yang dalam bahasa fenomenologi disebut sebagai “ada-di-dalam-dunia” (being-in-the-world).
Momen-afeksi atau kepedulian atau kesadaran ini adalah penghayatan hidup (vivacity),
yakni menghayati bahwa sesuatu itu dipahami sebagai sesuatu itu sendiri;
atau membiarkan peristiwa itu bercerita kepada kita apa adanya dan memberikan
kesadaran kepada kita tentangnya hingga mencapai “ego-transendental” dan bahkan
“kesadaran yang lain”. Inilah sebabnya analisis fenomenologi selalu
mengambil posisi atau “perspektif orang pertama” (first person perspective)[14], karena seluruh pengalaman dan pemahaman akan
realitas dimungkinkan dari diri sendiri dan refleksi diri.
Momen-afeksi dan penegasan diri yang muncul dalam
“first person perspective” ini bagi fenomenologi menjadi awal dari
seluruh aktivitas budaya dan kebudayaan. Dengan menegaskan-diri manusia menjadi
dirinya sendiri, dan dengan menjadi dirinya sendiri manusia “merawat jiwanya”,
merawat dunianya, sesamanya (otentisitas)[15]. Rumusan “merawat jiwa” ini mendapat tempat tersendiri dalam
kajian fenomenologi Patocka, seorang penganut fenomenologi Husserlian, yang
menganggap problem “penyingkapan-diri” atau “pemberian-diri” sebagai
sesuatu yang bermakna (showing in itself). Bagi Patocka, penegasan-diri,
penyingkapan-diri selalu memuat dimensinya yang mendua/ ganda (double
meanings), yang mana kemenduaan atau kegandaan cara-berada manusia ini
karena digerakkan oleh suatu gerak di dalam dirinya. Gerak yang menggerakkan
itu (auto-kineton) tidak lain adalah jiwa (soul). Bagi Patocka
kekhasan jiwa telah menetapkan dasar bagi seluruh peradaban manusia berikutnya[16]. Gerak mendua jiwa ini dalam pembacaan Patocka berasal dari
sifat alamiah jiwa itu sendiri, dan dalam jawaban untuk bertanggungjawab atas
jiwanya, atas sesamanya dan atas dunianya, dan dalam jawaban itulah terletak
inti kebebasan manusia[17]. Politik (polis), dalam pembacaan Patocka, adalah
sebuah wilayah yang di dalamnya jiwa manusia memberikan-diri melalui berbagai
caranya yang beragam (self-given in its varieties of manner of givenness).