Papua Barat merupakan suatu wilayah, provinsi yang terletak antara 0º,0” - 4º,0” Lintang
Selatan dan antara 124º,00” - 132º‟0 Bujur Timur dulunya merupakan bagian dari provinsi
Papua. Pada tahun 1999 berdasarkan peraturan perundang –undangan nomor 45 tahun 1999,
status administrasi kepemerintahannya sebagai sebuah provinsi di Indonesia telah di promosikan
untuk berpisah dari provinsi induk, namun mengalami beberapa masalah teknis sehingga
administrasi pemerintahannya tidak berjalan normal. Selanjutnya, wilayah Papua Barat secara
administrasi kepemerintahan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai
diaktifkan kembali untuk menjalankan pemerintahan secara normal pada tahun 2007 melalui
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2007 (PP.no 24 tahun 2007). Sejak
pemberlakuan PP no.24 tahun 2007, wilayah yang merupakan bagian dari dada, leher dan kepala
burung kasuari ini, yang dulunya merupakan satu bagian dari dan Provinsi Papua, kini dikenal
dengan nama Provinsi Papua Barat. Sejak awal pembentukannya Provinsi ini dikenal dengan
nama Irian Jaya Barat (Irjabar).
Papua Barat secara sosial budaya dalam bingkai kebudayaan bangsa Indonesia
merupakan satu kesatuan kebangsaan dengan provinsi Papua. Kedua provinsi ini dikenal secara
wilayah sebagai Papua Indonesia beda dari Papua New Guinea (PNG). Secara filosofis dalam
pengakuan masyarakat tempatan kedua provinsi ini secara bersama – sama disebut sebagai
Tanah Papua melalui ikrar – ikrar dan komitmen – komitmen seperti; “dua untuk satu dan satu
untuk dua”. Dua untuk satu - satu untuk dua, artinya satu Undang – Undang Otonomi Khusus
Papua untuk dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat, dua provinsi untuk satu pembangunan
yaitu Tanah Papua. Secara historis, kultur dan peradaban orang asli Papua yang mendiami
wilayah Papua Barat dan Papua memiliki pengalaman masa lalu yang sama dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesamaan pengalaman masa lalu itulah yang membuat
mengapa pemberlakuan Otonomi Khusus (OTSUS) di berikan pemerintah pusat dan berlaku
mutlak pada kedua provinsi baik Papua maupun Papua Barat.
Ketika menyimak proses pembangunan yang telah berjalan selama ini, sebagai partisipan
dan juga pelaksana pembangunan kami melihat banyak hal yang perlu diselesaikan, dan hal – hal
tersebut telah menjadi catatan – catatan penting yang kami gumuli. Kami terus berusaha untuk
mencari titik terang keberadaan solusi dari persoalan ini. Salah satu catatan kami tentang hal
yang perlu diselesaikan adalah tentang keterlibatan atau peran serta dari masyarakat hukum adat
dalam mendukung proses pembangunan yang berkelanjutan di Papua Barat.
Secara jujur disampaikan bahwa sebuah persoalan kompleks yang sangat mengganggu kelancaran
pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua secara khusus Papua Barat adalah persoalan –
persoalan yang menyangkut hak ulayat. Hak ulayat adalah hak kepemilikan yang harus dan wajib
dihargai, namun penghargaan terhadap hak ulayat kadang salah diterjemahkan dan kini menjadi
sebuah momok yang menakutkan bagi kelancaran pembangunan di Papua Barat. Untuk itu maka
pada momen ini melalui tulisan yang diberi judul “Masyarakat Hukum Adat dengan Hak
ulayatnya di Provinsi Papua Barat sebagai orang asli Papua” kami ingin memberikan sekilas
gambar atau potret Masyarakat Hukum Adat di Papua Barat dari sisi budaya dan kebudayaan.
Masyarakat Hukum Adat (Indigenous People)
Masyarakat Hukum Adat adalah kesatuan–kesatuan masyarakat yang mempunyai
kelengkapan – kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, mempunyai kesatuan hukum,
kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air
bagi semua anggotanya. Ciri – ciri masyarakat hukum adat adalah mempunyai kesatuan manusia
yang teratur, Menetap di suatu daerah tertentu atau memiliki kesatuan wilayah, mempunyai
penguasa atau kesatuan penguasa (yang jelas), mempunyai kesatuan kekayaan baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, dan mempunyai kesatuan hukum. Berdasarkan Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Masyarakat
Hukum adat didefiniskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama dalam suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun
atas dasar satu garis keturunan.
Masyarakat Hukum adat di Nusantara menurut pandangan professor Van Vollenhoven
dapat di bagi menjadi 19 lingkaran hukum adat, dan salah satunya adalah lingkaran hukum adat
Papua yang didalamnya termasuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Menurut Undang – Undang
Republik Indonesia nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (selanjutnya disebut
UU Otsus Papua) Bab 1, Pasal 1 dinyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat
asli papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada
hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.
Orang Asli Papua (Indigenous People of Papua)
Definisi orang asli papua secara historis muncul dari pengalaman „memory passionist‟
akan masa – masa diwaktu lalu yang penuh tantangan dan pergulatan untuk menunjukan jati diri,
sehingga dasar ini yang menjadi konsensus bersama seluruh pemangku kepentingan di Tanah
Papua untuk mengidentifikasikan masyarakat adat papua sebagai orang asli papua, dan
terakomodir secara legal dalam sebuah perundang - undangan yang konstitusional yaitu UU
Otsus Papua. Orang Asli Papua menurut UU Otsus Papua adalah orang yang berasal dari rumpun
ras Melanesia yang terdiri dari suku – suku asli di Papua dan/atau yang diterima dan diakui
sebagai orang asli papua oleh masyarakat (hukum) adat papua.
Hak Ulayat (Beschhikkingsrecht)
Jika ditinjau dari istilah „hak ulayat‟ dalam definisi atau referensi rujukan kata pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah „ulayat‟ berkait dengan wilayah dan hak. Untuk itu, maka
ketika berbicara tentang hak ulayat maka kita berbicara tentang hak patuanan (tuan dari tanah
atau anak negeri pribumi „Landlord‟). Dasar ini yang membuat sehingga orang papua sering
secara „politik‟ sosial budaya mengidentifikasi dirinya sebagai lelaki dan perempuan yang
berideologi papua di panggil dengan sebutan penghargaan „tuan‟untuk kaum lelaki dan „puan‟
untuk kaum perempuan.
Hak ulayat atau hak patuanan (Beschhikkingsrecht) merupakan hak pertama dari 9 hak
hukum adat tanah. Hak ulayat merupakan suatu hak yang sangat tua dan asal mulanya bersifat
keagamaan ‟religius‟. Hal ini berkait dengan teori konsep evolusi sosial universal HerbertSpencer (1820 -1903) yang mengatakan bahwa pada semua bangsa di dunia religi itu di mulai
karena manusia sadar dan takut akan maut. Van Vollehoven merumuskan Hak ulayat sebagai
suatu hak yang sangat tua dan asal mulanya bersifat keagamaan „religio – magis‟ di punyai suatu
suku (stam), atau gabungan desa (dorpsbond) atau bisa jadi hanya satu desa saja dan tidak
menjadi kepunyaan seorang individu. Malak Stepanus (2006. 38) menyatakan bahwa antara
masyarakat hukum adat dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan erat yang bersifat religio
– magis yang menyebabkan persekutuan masyarakat adat memperoleh hak untuk menguasai
tanah.
Dan hak inilah yang disebut hak ulayat yaitu kewenangan yang menurut hukum adat di
punyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan.
Wilayah Budaya Masyarakat Hukum Adat Papua
Masyarakat hukum adat diatas Tanah Papua dibagi kedalam tujuh (7) wilayah adat
budaya yaitu Wilayah I disebut dengan wilayah adat budaya Tabi atau Mamta yang meliputi
suku – suku yang mendiami dataran sungai Mamberamo sampai Sungai Tami, Wilayah II
disebut dengan wilayah adat budaya Saireri yaitu suku – suku yang mendiami wilayah Teluk
Saireri, Wilayah III disebut dengan wilayah adat budaya Doberay yaitu meliputi suku – suku
yang mendiami daerah kepala burung, Wilayah IV disebut dengan wilayah adat budaya
Bomberai yang meliputi suku – suku yang mendiami daerah Teluk Bintuni hingga ke Mimika,
Wilayah V disebut dengan wilayah adat budaya Ha – Anim yaitu wilayah suku – suku yang
mendiami daerah antara Asmat sampai Kondo (Merauke), Wilayah VI adalah wilayah adat
budaya La Pago yang meliputi suku – suku yang mendiami daerah pegunungan Tengah bagian
Timur, dan Wilayah VII adalah wilayah adat budaya Me Pago yang meliputi suku – suku yang
mendiami daerah pegunungan tengah bagian barat.
Berdasarkan pembagian wilayah hukum adat – budaya Papua, Provinsi Papua Barat
adalah wilayah adat budaya Doberay dan Bomberai dari manusia Papua di Tanah Papua,
Indonesia. Manusia Papua yang menempati wilayah Adat Budaya Doberai dan Bomberay Papua
Barat secara adat budaya secara asli mempunyai keterikatan sosial dengan sesama (homo humanicus) maupun juga memiliki keterikatan dengan alam dimana mereka ada (homo ekonomicus).
Keterikatan itu bisa dilihat dari interaksi dan komunikasi mereka baik terhadap
sesamanya maupun terhadap alam dimana mereka ada. Ciri ini menjadikan mereka sebagai suatu
komunitas adat budaya yang berbeda dari komunitas adat budaya Papua di ke lima daerah
lainnya. Untuk memahami tentang mereka (masyarakat adat budaya Doberai dan Bomberai
Papua) maka kita bisa melihat dari lembaga – lembaga tertua yang mengatur kehidupannya
sebagai homo kulturalis. Lembaga – lembaga itu berupa sistem kekerabatan, kekerabatan bahasa,
cerita rakyat (folklore), pola perkawinan, dan beberapa norma atau hukum adat lainnya seperti
politik tradisional dan juga sistem penguasaan atas tanah.
Untuk menggambarkan atau memetakan karakteristik masyarakat hukum adat di Papua
Barat. Berikut akan di bahas atau diuraikan secara antropologis dan sosiologis tentang
karakteristik etnografi masyarakat hukum adat di Papua Barat.
Distribusi Bahasa
Wilayah Papua Barat secara genealogi bahasa merupakan sebuah massive melting pot
dari kedua tipe bahasa besar yang ada di Tanah Papua. Jika di tinjau dari penyebaran bahasa
(language distribution) diseluruh wilayah Papua Barat yang terdiri dari Adat Budaya Doberai
dan Bomberai. Bahasa – bahasa Papuan dan bahasa – bahasa Austronesian tersebar secara merata
hampir ke semua titik simpul peradaban. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan
wilayah Papua (New Guinea) lainnya. Di provinsi Papua dan Papua New Guinea penyebaran
bahasa – bahasa Austronesia umumnya terkonsentrasi pada wilayah pantai utara dari pulau New
Guinea, namun di wilayah Papua Barat penyebarannya hampir merata ke seluruh wilayah.
Kelompok yang termasuk tipe bahasa – bahasa Austronesia menguasai seluruh wilayah dari leher
burung sampai ke sebelah utara dan Barat Daya. Kantong – kantong dimana penutur bahasa
Austronesia berada mulai dari wilayah Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Kaimana dan
Fakfak, sedangkan di wilayah Manokwari, Sorong dan Raja Ampat hampir sebagian besar
wilayah pantai adalah penutur bahasa – bahasa tipe Austronesian. Kelompok bahasa – bahasa
Papuan umumnya berada pada daerah gunung dan lembah (dataran rendah) dari kepala burung
Seperti pegunungan Indon (Arfak), Ihandin (Iha), Ndokdar (Tambrauw), Maybrat, dan Moi. Jika
ditinjau dari distribusi bahasa kedua kelompok penutur ini telah melakukan interaksi dan
komunikasi yang intensif dan masif sejak dahulu kala sehingga mengakibatkan terjadi
percampuran budaya yang bernilai dalam kehidupan sosial budaya suku – suku di Papua Barat.
Sistem Kepemimpinan
Secara umum sistem kepemimpinan yang ada di wilayah Papua Barat secara tradisional
dapat di bagi menjadi dua bentuk kepemimpinan tradisional yaitu sistem kerajaan dan sistem
campuran. Ciri utama dari sistem kerajaan bahwa kedudukan pemimpin menurut tradisi adalah
pewarisan kepada anak lelaki sulung dari pemimpin yang sedang berkuasa. Jika tidak ada anak
lelaki atau dianggap tidak memenuhi syarat karena cacat fisik atau mental terganggu maka
kedudukan tersebut dapat dijabat oleh seorang adik atau saudara saudara laki –laki ayah. Dan
selain itu, ruang lingkup kekuasaan raja luas dan bisa mencakup beberapa kampung baik secara
bahasa tidak dari satu keturunan maupun secara kampung berlainan. Kebudayaan ini merupakan
hasil akulturasi antara kebudayaan yang bersumber dari Papua dan kebudayaan yang bersumber
dari Maluku. Bentuk sistem kepemimpinan kedua adalah sistem kepemimpinan campuran. Pada
sistem kepemimpinan ini pemimpin tidak selalu berada pada garis keturunan saja tetapi sekali –
kali dapat beralih ke orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang
timbul pada situasi tertentu.
Secara mendasar perbedaan azas kepemimpinan dapat dilihat pada prinsip mendapatkan
kedudukan. Dalam hal ini ada yang mendapat kedudukan kepemimpinannya melalui prinsip
pewarisan dan hak kekuasaannya mendapat legitimasi lewat mitologi (religi) dan keturunan.
Golongan etnik pendukung prinsip pewarisan seperti di Raja Ampat orang Kawe, Maya, Matbat,
Moi dan Beser. Di Daerah semenanjung Onin (Fakfak) seperti Iha, Onin dan Mbaham didaerah
Kaimana dan Bintuni seperti orang Kowiai, Irarutu, Mairasi, Buruai, Kamberau dan Kamoro.
Selain itu ada yang mendapat kedudukan pemimpin melalui sistem pencapaian
kedudukan. Golongan etnik yang termasuk dalam type ini adalah orang Maybrat. Pencapaian
kedudukan ini pada prinsipnya dilihat dari kekayaan. Selain kedua tipe ini ada juga tipe lain yang
merupakan hasil asimilasi kebudayaan karena interaksi dengan sistem campuran yang banyak
terdapat di wilayah Teluk Cenderawasih.
Sistem Penguasaan Tanah
Filosofi mendasar yang harus di pahami ketika kita berbicara mengenai tanah sebagai hak
ulayat bagi orang Papua secara keseluruhan adalah bahwa berbicara tentang hubungan penduduk
(masyarakat) dengan tanahnya. Dan hal ini berhubungan erat dengan hubungan kekerabatan,
kekuasaan, kepemimpinan, sumber nafkah, ritus dan alam roh. Inilah yang disebut dengan
hubungan hak ulayat yang bersifat „religio magis‟. Hubungan ini menjadikan tanah dihayati
sebagai suatu bagian integral dari kepribadian orang. Hal ini membuat sehingga terdapat ikatan
batin yang sangat kuat terhadap tanah, dan hal ini bukan berarti tanah dianggap suci tetapi
hubungan batin manusianya dengan tanah itu yang suci. Dan ketika berbicara tentang „sistem
penguasaan tanah‟ yang dimaksud adalah pemilik dan pewaris tanah atau dengan kata lain
mereka yang mempunyai hak atas tanah di wilayah tertentu.
Pada umumnya di wilayah lingkaran hukum adat Papua di kenal dua sistem penguasaan/
kepemilikan tanah yaitu kepemilikan komunal dan kepemilikan individu. Kepemilikan komunal
ini masih dapat dibedakan lagi menjadi kepemilikan berbasis marga kecil yaitu clan atau marga
tertentu, dan kepemilikan berbasis marga besar yaitu kepemilikan berdasarkan kampung dalam
pengertian suku mana sebagai penduduk asli kampung. Sedangkan kepemilikan individu bukan
perorangan tetapi keturunan.
Secara internal ada tata aturan yang mengatur ke dalam keluarga (marga) tentang
pembagian hak dari penguasaan maupun pengelolaan tanah dan disana diakui bagian dari setiap
anggota sesuai marga. Namun kekuasaan kepemimpinan atas tanah secara sosial religi berada
pada orang tertentu yang berasal dari garis keturunan tertua. Jadi secara umum hak penguasaan
ada dua yaitu hak persekutuan dan hak perseorangan. Hak perseorangan bersifat sekunder
sedangkan hak persekutuan bersifat primer.
Bagi orang Papua hubungan atas tanah (adat/ulayat) bukan semata – mata hubungan
ekonomi yang dapat memberi makan tetapi juga merupakan wilayah dalam pengertian ulayat
dimana kejadian – kejadian menurut cerita – cerita rakyat pernah berlangsung. Dengan kata lain
hubungan itu tidak bisa di lihat secara sepihak pada manusia sebagai homo ekonomicus tetapi
juga sebagai homo humanicus dan homo culturalis artinya tanah itu mempunyai hubungan yang
suci secara batin dengan manusia.
Transformasi Kebudayaan di Papua Barat
Transformasi perubahan kebudayaan terjadi sebagai proses penerapan kebiasaan atau
tradisi baru yang tidak sesuai dengan apa yang dulunya diyakini. Papua Barat yang merupakan
wilayah adat budaya Doberay dan Bomberai telah mengalami transformasi. Transformasi
kebudayaan ini terjadi secara berkelanjutan dimulai dari masa waktu hadirnya kekuasaan
Belanda 1828, Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 hingga
pemberlakuan UU Otsus Papua 2001. Transformasi ini bersifat umum untuk Papua dan Papua
Barat. Beberapa studi kasus yang bisa diuraikan memperlihatkan bahwa degradasi nilai – nilai
asali keaslian budaya orang Papua terjadi sebagai akibat dari intervensi kekuasaan asing dan hal degradasi itu dimungkinkan karena lemahnya pengendalian kekuasaan masyarakat tempatan
terhadap intervensi tersebut.
Dalam hal berbahasa masyarakat asli Papua diwilayah Provinsi Papua Barat dapat
dikatakan bahwa secara teratur dan berangsur – angsur telah mengalami peralihan berbahasa
„shifting code‟ dari bahasa ibu atau bahasa pertama (L1) yang adalah kebanyakan merupakan
bahasa daerah suku masing – masing dalam wilayah adat budaya Doberay dan Bomberay kepada
bahasa Melayu dan bahasa Nasional yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (L2). Identitas
kesukuan semakin mulai pudar ketika bahasa dijadikan indikator untuk menilai asal usul
seseorang. Bahasa adalah identitas seseorang telah dan akan pasti tidak sah untuk mengukur
keaslian suku bangsa seseorang di Papua karena generasi muda Papua hari ini banyak yang tidak
lagi menuturkan bahasa sukunya.
Sistem kepemimpinan di Papua Barat yang awalnya didentifikasi menganut dua pola
kepemimpinan tradisional secara umum yaitu kepemimpinan sistem kerajaan dan kepemimpinan
sistem campuran.
Bersamaan dengan proses terjadinya peralihan bahasa ibu, sistem
kepemimpinan juga telah mengalami transformasi kebudayaan dari dua sistem kepemimpinan
adat yang berbeda menuju kepada satu bentuk sistem representasi kepemimpinin tradisional yang
cenderung sama di wilayah Papua Barat yaitu sistem „Kepala Suku‟. Sistem kepala suku sebagai
pemimpin mewakili kelompok suku tertentu mulai mendominasi kepemimpinan asli di Papua
Barat. Kepala suku dianggap sebagai pemimpin yang bisa mengakomodasi keterwakilan suku –
suku tradisional diwilayah Papua Barat untuk berbicara dengan pihak luar baik seperti dengan
pihak pemerintah modern maupun organisasi non kepemerintahan. Sistem kepala suku diprediksi
merupakan budaya intruduktif yang kehadirannya mulai diterapkan sejak kehadiran Belanda. Hal
ini terjadi karena pada waktu kekuasaan Belanda untuk membangun komunikasi dan interaksi
dibutuhkan orang – orang Papua yang mampu, bisa dan memahami bahasa melayu sehingga
dapat berkomunikasi dengan amtenar – amtenar Belanda.
Dan karena itulah diangkat orang –
orang tertentu dari suku – suku asli yang bisa berbahasa melayu sebagai kepala dari suku untuk
berbicara tentang hak – hak ulayat orang atau suku tertentu.
Dalam hal penguasaan tanah ulayat dikenal dua bentuk sistem penguasaan/ kepemilikan
tanah yaitu kepemilikan komunal dan kepemilikan individu (kepemilikan individu bersifat
warisan keturunan). Pada umumnya semua suku secara adat memiliki aturan yang mengatur
kedalam keluarga (marga) tentang pembagian hak dari penguasaan maupun pengelolaan tanah
dimana kekuasaan tersebut berada pada anak tertua yang berasal dari garis keturunan tertua.
Perubahan yang terjadi berkaitan dengan pentingnya tanah bagi pembangunan seiring masuknya
kapitalisme adalah bahwa penghargaan terhadap anak tertua untuk mengatur hak ulayat tanah
tidak terjadi di masyarakat Papua dewasa ini.
Dalam hal pembagian ulayat setiap anak dalam
marga tampil sebagai pemimpin dan penentu sehingga memperlemah eksistensi kelembagaan
adat teristimewa hubungan antara manusia dengan tanah. Dulunya hubungan antara manusia
Papua dengan tanahnya dianggap suci karena tanah bukan saja sebagai sumber ekonomi tetapi
juga sumber sejarah asal – usul suku. Dalam kenyataan hari ini hubungan itu tidak suci, tanah
dapat diperjualbelikan bahkan dijual berulang – ulang secara bergantian dengan tidak
mempertimbangkan sedikitpun kesucian hubungan pemilik dengan tanah ulayatnya.
Budaya pada prinsipnya bersifat dinamis artinya berkembang tetapi setiap perkembangan
secara berbudaya harus bisa dipertanggungjawabkan, dan yang paling terpenting dari inovasi dan
kreativitas manusia dalam berbudaya sebagai homo kulturalis adalah bahwa budaya itu tidak bisa
dipisahkan dari hubungan manusia sebagai homo humanicus artinya menjaga keseimbangan
hidup dengan sesama. Menyimak kasus masyarakat hukum adat di Papua Barat; secara filosofi
kebudayaan dapat dikatakan bahwa sebagai makhluk sosial „social animal‟ manusia Papua atau
dengan bahasa khusus dikatakan bahwa masyarakat hukum adat di Papua Barat pada khususnya
telah berada pada sebuah transformasi secara budaya. Secara mendasar dan bersifat teoritis
tentang hubungan manusia dengan lingkungan budayanya. Dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa transformasi kebudayaan di Papua Barat lebih besar penerapan fungsi homo kulturalis
demi memenuhi fungsi homo ekonomicus dan tidak mempertimbangkan fungsi manusia sebagai
homo humanicus.
homo humanicus.
Sumber : Andreas Jefri Deda dan Suriel Semuel Mofu