Postingan Populer

Kamis, 01 September 2016

Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Ulayat Di Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papua Di Tinjau Dari Sisi Adat Dan Budaya

Papua Barat merupakan suatu wilayah, provinsi yang terletak antara 0º,0” - 4º,0” Lintang Selatan dan antara 124º,00” - 132º‟0 Bujur Timur dulunya merupakan bagian dari provinsi Papua. Pada tahun 1999 berdasarkan peraturan perundang –undangan nomor 45 tahun 1999, status administrasi kepemerintahannya sebagai sebuah provinsi di Indonesia telah di promosikan untuk berpisah dari provinsi induk, namun mengalami beberapa masalah teknis sehingga administrasi pemerintahannya tidak berjalan normal. Selanjutnya, wilayah Papua Barat secara administrasi kepemerintahan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai diaktifkan kembali untuk menjalankan pemerintahan secara normal pada tahun 2007 melalui dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2007 (PP.no 24 tahun 2007). Sejak pemberlakuan PP no.24 tahun 2007, wilayah yang merupakan bagian dari dada, leher dan kepala burung kasuari ini, yang dulunya merupakan satu bagian dari dan Provinsi Papua, kini dikenal dengan nama Provinsi Papua Barat. Sejak awal pembentukannya Provinsi ini dikenal dengan nama Irian Jaya Barat (Irjabar).

Papua Barat secara sosial budaya dalam bingkai kebudayaan bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan kebangsaan dengan provinsi Papua. Kedua provinsi ini dikenal secara wilayah sebagai Papua Indonesia beda dari Papua New Guinea (PNG). Secara filosofis dalam pengakuan masyarakat tempatan kedua provinsi ini secara bersama – sama disebut sebagai Tanah Papua melalui ikrar – ikrar dan komitmen – komitmen seperti; “dua untuk satu dan satu untuk dua”. Dua untuk satu - satu untuk dua, artinya satu Undang – Undang Otonomi Khusus Papua untuk dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat, dua provinsi untuk satu pembangunan yaitu Tanah Papua. Secara historis, kultur dan peradaban orang asli Papua yang mendiami wilayah Papua Barat dan Papua memiliki pengalaman masa lalu yang sama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Kesamaan pengalaman masa lalu itulah yang membuat mengapa pemberlakuan Otonomi Khusus (OTSUS) di berikan pemerintah pusat dan berlaku mutlak pada kedua provinsi baik Papua maupun Papua Barat. Ketika menyimak proses pembangunan yang telah berjalan selama ini, sebagai partisipan dan juga pelaksana pembangunan kami melihat banyak hal yang perlu diselesaikan, dan hal – hal tersebut telah menjadi catatan – catatan penting yang kami gumuli. Kami terus berusaha untuk mencari titik terang keberadaan solusi dari persoalan ini. Salah satu catatan kami tentang hal yang perlu diselesaikan adalah tentang keterlibatan atau peran serta dari masyarakat hukum adat dalam mendukung proses pembangunan yang berkelanjutan di Papua Barat. 

Secara jujur disampaikan bahwa sebuah persoalan kompleks yang sangat mengganggu kelancaran pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua secara khusus Papua Barat adalah persoalan – persoalan yang menyangkut hak ulayat. Hak ulayat adalah hak kepemilikan yang harus dan wajib dihargai, namun penghargaan terhadap hak ulayat kadang salah diterjemahkan dan kini menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi kelancaran pembangunan di Papua Barat. Untuk itu maka pada momen ini melalui tulisan yang diberi judul “Masyarakat Hukum Adat dengan Hak ulayatnya di Provinsi Papua Barat sebagai orang asli Papua” kami ingin memberikan sekilas gambar atau potret Masyarakat Hukum Adat di Papua Barat dari sisi budaya dan kebudayaan.

Masyarakat Hukum Adat (Indigenous People)

Masyarakat Hukum Adat adalah kesatuan–kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan – kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Ciri – ciri masyarakat hukum adat adalah mempunyai kesatuan manusia yang teratur, Menetap di suatu daerah tertentu atau memiliki kesatuan wilayah, mempunyai penguasa atau kesatuan penguasa (yang jelas), mempunyai kesatuan kekayaan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan mempunyai kesatuan hukum. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Masyarakat Hukum adat didefiniskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama dalam suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar satu garis keturunan. Masyarakat Hukum adat di Nusantara menurut pandangan professor Van Vollenhoven dapat di bagi menjadi 19 lingkaran hukum adat, dan salah satunya adalah lingkaran hukum adat Papua yang didalamnya termasuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Menurut Undang – Undang Republik Indonesia nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (selanjutnya disebut UU Otsus Papua) Bab 1, Pasal 1 dinyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat asli papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. 

Orang Asli Papua (Indigenous People of Papua) 
Definisi orang asli papua secara historis muncul dari pengalaman „memory passionist akan masa – masa diwaktu lalu yang penuh tantangan dan pergulatan untuk menunjukan jati diri, sehingga dasar ini yang menjadi konsensus bersama seluruh pemangku kepentingan di Tanah Papua untuk mengidentifikasikan masyarakat adat papua sebagai orang asli papua, dan terakomodir secara legal dalam sebuah perundang - undangan yang konstitusional yaitu UU Otsus Papua. Orang Asli Papua menurut UU Otsus Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku – suku asli di Papua dan/atau yang diterima dan diakui sebagai orang asli papua oleh masyarakat (hukum) adat papua. 

 Hak Ulayat (Beschhikkingsrecht) 

 Jika ditinjau dari istilah „hak ulayat‟ dalam definisi atau referensi rujukan kata pada Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah „ulayat‟ berkait dengan wilayah dan hak. Untuk itu, maka ketika berbicara tentang hak ulayat maka kita berbicara tentang hak patuanan (tuan dari tanah atau anak negeri pribumi „Landlord‟). Dasar ini yang membuat sehingga orang papua sering secara politiksosial budaya mengidentifikasi dirinya sebagai lelaki dan perempuan yang berideologi papua di panggil dengan sebutan penghargaan „tuan‟untuk kaum lelaki dan „puan‟ untuk kaum perempuan. Hak ulayat atau hak patuanan (Beschhikkingsrecht) merupakan hak pertama dari 9 hak hukum adat tanah. Hak ulayat merupakan suatu hak yang sangat tua dan asal mulanya bersifat keagamaan ‟religius‟. Hal ini berkait dengan teori konsep evolusi sosial universal HerbertSpencer (1820 -1903) yang mengatakan bahwa pada semua bangsa di dunia religi itu di mulai karena manusia sadar dan takut akan maut. Van Vollehoven merumuskan Hak ulayat sebagai suatu hak yang sangat tua dan asal mulanya bersifat keagamaan „religio – magis‟ di punyai suatu suku (stam), atau gabungan desa (dorpsbond) atau bisa jadi hanya satu desa saja dan tidak menjadi kepunyaan seorang individu. Malak Stepanus (2006. 38) menyatakan bahwa antara masyarakat hukum adat dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan erat yang bersifat religio – magis yang menyebabkan persekutuan masyarakat adat memperoleh hak untuk menguasai tanah. 

Dan hak inilah yang disebut hak ulayat yaitu kewenangan yang menurut hukum adat di punyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Wilayah Budaya Masyarakat Hukum Adat Papua 

Masyarakat hukum adat diatas Tanah Papua dibagi kedalam tujuh (7) wilayah adat budaya yaitu Wilayah I disebut dengan wilayah adat budaya Tabi atau Mamta yang meliputi suku – suku yang mendiami dataran sungai Mamberamo sampai Sungai Tami, Wilayah II disebut dengan wilayah adat budaya Saireri yaitu suku – suku yang mendiami wilayah Teluk Saireri, Wilayah III disebut dengan wilayah adat budaya Doberay yaitu meliputi suku – suku yang mendiami daerah kepala burung, Wilayah IV disebut dengan wilayah adat budaya Bomberai yang meliputi suku – suku yang mendiami daerah Teluk Bintuni hingga ke Mimika, Wilayah V disebut dengan wilayah adat budaya Ha – Anim yaitu wilayah suku – suku yang mendiami daerah antara Asmat sampai Kondo (Merauke), Wilayah VI adalah wilayah adat budaya La Pago yang meliputi suku – suku yang mendiami daerah pegunungan Tengah bagian Timur, dan Wilayah VII adalah wilayah adat budaya Me Pago yang meliputi suku – suku yang mendiami daerah pegunungan tengah bagian barat. Berdasarkan pembagian wilayah hukum adat – budaya Papua, Provinsi Papua Barat adalah wilayah adat budaya Doberay dan Bomberai dari manusia Papua di Tanah Papua, Indonesia. Manusia Papua yang menempati wilayah Adat Budaya Doberai dan Bomberay Papua Barat secara adat budaya secara asli mempunyai keterikatan sosial dengan sesama (homo humanicus) maupun juga memiliki keterikatan dengan alam dimana mereka ada (homo ekonomicus). 

Keterikatan itu bisa dilihat dari interaksi dan komunikasi mereka baik terhadap sesamanya maupun terhadap alam dimana mereka ada. Ciri ini menjadikan mereka sebagai suatu komunitas adat budaya yang berbeda dari komunitas adat budaya Papua di ke lima daerah lainnya. Untuk memahami tentang mereka (masyarakat adat budaya Doberai dan Bomberai Papua) maka kita bisa melihat dari lembaga – lembaga tertua yang mengatur kehidupannya sebagai homo kulturalis. Lembaga – lembaga itu berupa sistem kekerabatan, kekerabatan bahasa, cerita rakyat (folklore), pola perkawinan, dan beberapa norma atau hukum adat lainnya seperti politik tradisional dan juga sistem penguasaan atas tanah. Untuk menggambarkan atau memetakan karakteristik masyarakat hukum adat di Papua Barat. Berikut akan di bahas atau diuraikan secara antropologis dan sosiologis tentang karakteristik etnografi masyarakat hukum adat di Papua Barat.

Distribusi Bahasa 

Wilayah Papua Barat secara genealogi bahasa merupakan sebuah massive melting pot dari kedua tipe bahasa besar yang ada di Tanah Papua. Jika di tinjau dari penyebaran bahasa (language distribution) diseluruh wilayah Papua Barat yang terdiri dari Adat Budaya Doberai dan Bomberai. Bahasa – bahasa Papuan dan bahasa – bahasa Austronesian tersebar secara merata hampir ke semua titik simpul peradaban. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan wilayah Papua (New Guinea) lainnya. Di provinsi Papua dan Papua New Guinea penyebaran bahasa – bahasa Austronesia umumnya terkonsentrasi pada wilayah pantai utara dari pulau New Guinea, namun di wilayah Papua Barat penyebarannya hampir merata ke seluruh wilayah. Kelompok yang termasuk tipe bahasa – bahasa Austronesia menguasai seluruh wilayah dari leher burung sampai ke sebelah utara dan Barat Daya. Kantong – kantong dimana penutur bahasa Austronesia berada mulai dari wilayah Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Kaimana dan Fakfak, sedangkan di wilayah Manokwari, Sorong dan Raja Ampat hampir sebagian besar wilayah pantai adalah penutur bahasa – bahasa tipe Austronesian. Kelompok bahasa – bahasa Papuan umumnya berada pada daerah gunung dan lembah (dataran rendah) dari kepala burung Seperti pegunungan Indon (Arfak), Ihandin (Iha), Ndokdar (Tambrauw), Maybrat, dan Moi. Jika ditinjau dari distribusi bahasa kedua kelompok penutur ini telah melakukan interaksi dan komunikasi yang intensif dan masif sejak dahulu kala sehingga mengakibatkan terjadi percampuran budaya yang bernilai dalam kehidupan sosial budaya suku – suku di Papua Barat.

Sistem Kepemimpinan 

Secara umum sistem kepemimpinan yang ada di wilayah Papua Barat secara tradisional dapat di bagi menjadi dua bentuk kepemimpinan tradisional yaitu sistem kerajaan dan sistem campuran. Ciri utama dari sistem kerajaan bahwa kedudukan pemimpin menurut tradisi adalah pewarisan kepada anak lelaki sulung dari pemimpin yang sedang berkuasa. Jika tidak ada anak lelaki atau dianggap tidak memenuhi syarat karena cacat fisik atau mental terganggu maka kedudukan tersebut dapat dijabat oleh seorang adik atau saudara saudara laki –laki ayah. Dan selain itu, ruang lingkup kekuasaan raja luas dan bisa mencakup beberapa kampung baik secara bahasa tidak dari satu keturunan maupun secara kampung berlainan. Kebudayaan ini merupakan hasil akulturasi antara kebudayaan yang bersumber dari Papua dan kebudayaan yang bersumber dari Maluku. Bentuk sistem kepemimpinan kedua adalah sistem kepemimpinan campuran. Pada sistem kepemimpinan ini pemimpin tidak selalu berada pada garis keturunan saja tetapi sekali – kali dapat beralih ke orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang timbul pada situasi tertentu. Secara mendasar perbedaan azas kepemimpinan dapat dilihat pada prinsip mendapatkan kedudukan. Dalam hal ini ada yang mendapat kedudukan kepemimpinannya melalui prinsip pewarisan dan hak kekuasaannya mendapat legitimasi lewat mitologi (religi) dan keturunan. Golongan etnik pendukung prinsip pewarisan seperti di Raja Ampat orang Kawe, Maya, Matbat, Moi dan Beser. Di Daerah semenanjung Onin (Fakfak) seperti Iha, Onin dan Mbaham didaerah Kaimana dan Bintuni seperti orang Kowiai, Irarutu, Mairasi, Buruai, Kamberau dan Kamoro. Selain itu ada yang mendapat kedudukan pemimpin melalui sistem pencapaian kedudukan. Golongan etnik yang termasuk dalam type ini adalah orang Maybrat. Pencapaian kedudukan ini pada prinsipnya dilihat dari kekayaan. Selain kedua tipe ini ada juga tipe lain yang  merupakan hasil asimilasi kebudayaan karena interaksi dengan sistem campuran yang banyak terdapat di wilayah Teluk Cenderawasih.

Sistem Penguasaan Tanah 

Filosofi mendasar yang harus di pahami ketika kita berbicara mengenai tanah sebagai hak ulayat bagi orang Papua secara keseluruhan adalah bahwa berbicara tentang hubungan penduduk (masyarakat) dengan tanahnya. Dan hal ini berhubungan erat dengan hubungan kekerabatan, kekuasaan, kepemimpinan, sumber nafkah, ritus dan alam roh. Inilah yang disebut dengan hubungan hak ulayat yang bersifat „religio magis‟. Hubungan ini menjadikan tanah dihayati sebagai suatu bagian integral dari kepribadian orang. Hal ini membuat sehingga terdapat ikatan batin yang sangat kuat terhadap tanah, dan hal ini bukan berarti tanah dianggap suci tetapi hubungan batin manusianya dengan tanah itu yang suci. Dan ketika berbicara tentang „sistem penguasaan tanah‟ yang dimaksud adalah pemilik dan pewaris tanah atau dengan kata lain mereka yang mempunyai hak atas tanah di wilayah tertentu. 

Pada umumnya di wilayah lingkaran hukum adat Papua di kenal dua sistem penguasaan/ kepemilikan tanah yaitu kepemilikan komunal dan kepemilikan individu. Kepemilikan komunal ini masih dapat dibedakan lagi menjadi kepemilikan berbasis marga kecil yaitu clan atau marga tertentu, dan kepemilikan berbasis marga besar yaitu kepemilikan berdasarkan kampung dalam pengertian suku mana sebagai penduduk asli kampung. Sedangkan kepemilikan individu bukan perorangan tetapi keturunan. Secara internal ada tata aturan yang mengatur ke dalam keluarga (marga) tentang pembagian hak dari penguasaan maupun pengelolaan tanah dan disana diakui bagian dari setiap anggota sesuai marga. Namun kekuasaan kepemimpinan atas tanah secara sosial religi berada pada orang tertentu yang berasal dari garis keturunan tertua. Jadi secara umum hak penguasaan ada dua yaitu hak persekutuan dan hak perseorangan. Hak perseorangan bersifat sekunder sedangkan hak persekutuan bersifat primer. 

Bagi orang Papua hubungan atas tanah (adat/ulayat) bukan semata – mata hubungan ekonomi yang dapat memberi makan tetapi juga merupakan wilayah dalam pengertian ulayat dimana kejadian – kejadian menurut cerita – cerita rakyat pernah berlangsung. Dengan kata lain hubungan itu tidak bisa di lihat secara sepihak pada manusia sebagai homo ekonomicus tetapi juga sebagai homo humanicus dan homo culturalis artinya tanah itu mempunyai hubungan yang suci secara batin dengan manusia.

Transformasi Kebudayaan di Papua Barat

Transformasi perubahan kebudayaan terjadi sebagai proses penerapan kebiasaan atau tradisi baru yang tidak sesuai dengan apa yang dulunya diyakini. Papua Barat yang merupakan wilayah adat budaya Doberay dan Bomberai telah mengalami transformasi. Transformasi kebudayaan ini terjadi secara berkelanjutan dimulai dari masa waktu hadirnya kekuasaan Belanda 1828, Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 hingga pemberlakuan UU Otsus Papua 2001. Transformasi ini bersifat umum untuk Papua dan Papua Barat. Beberapa studi kasus yang bisa diuraikan memperlihatkan bahwa degradasi nilai – nilai asali keaslian budaya orang Papua terjadi sebagai akibat dari intervensi kekuasaan asing dan hal degradasi itu dimungkinkan karena lemahnya pengendalian kekuasaan masyarakat tempatan terhadap intervensi tersebut. Dalam hal berbahasa masyarakat asli Papua diwilayah Provinsi Papua Barat dapat dikatakan bahwa secara teratur dan berangsur – angsur telah mengalami peralihan berbahasashifting code‟ dari bahasa ibu atau bahasa pertama (L1) yang adalah kebanyakan merupakan bahasa daerah suku masing – masing dalam wilayah adat budaya Doberay dan Bomberay kepada bahasa Melayu dan bahasa Nasional yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (L2). Identitas kesukuan semakin mulai pudar ketika bahasa dijadikan indikator untuk menilai asal usul seseorang. Bahasa adalah identitas seseorang telah dan akan pasti tidak sah untuk mengukur keaslian suku bangsa seseorang di Papua karena generasi muda Papua hari ini banyak yang tidak lagi menuturkan bahasa sukunya. Sistem kepemimpinan di Papua Barat yang awalnya didentifikasi menganut dua pola kepemimpinan tradisional secara umum yaitu kepemimpinan sistem kerajaan dan kepemimpinan sistem campuran. 

Bersamaan dengan proses terjadinya peralihan bahasa ibu, sistem kepemimpinan juga telah mengalami transformasi kebudayaan dari dua sistem kepemimpinan adat yang berbeda menuju kepada satu bentuk sistem representasi kepemimpinin tradisional yang cenderung sama di wilayah Papua Barat yaitu sistem „Kepala Suku‟. Sistem kepala suku sebagai pemimpin mewakili kelompok suku tertentu mulai mendominasi kepemimpinan asli di Papua Barat. Kepala suku dianggap sebagai pemimpin yang bisa mengakomodasi keterwakilan suku – suku tradisional diwilayah Papua Barat untuk berbicara dengan pihak luar baik seperti dengan pihak pemerintah modern maupun organisasi non kepemerintahan. Sistem kepala suku diprediksi merupakan budaya intruduktif yang kehadirannya mulai diterapkan sejak kehadiran Belanda. Hal ini terjadi karena pada waktu kekuasaan Belanda untuk membangun komunikasi dan interaksi dibutuhkan orang – orang Papua yang mampu, bisa dan memahami bahasa melayu sehingga dapat berkomunikasi dengan amtenar amtenar Belanda. 

Dan karena itulah diangkat orang – orang tertentu dari suku – suku asli yang bisa berbahasa melayu sebagai kepala dari suku untuk berbicara tentang hak – hak ulayat orang atau suku tertentu. Dalam hal penguasaan tanah ulayat dikenal dua bentuk sistem penguasaan/ kepemilikan tanah yaitu kepemilikan komunal dan kepemilikan individu (kepemilikan individu bersifat warisan keturunan). Pada umumnya semua suku secara adat memiliki aturan yang mengatur kedalam keluarga (marga) tentang pembagian hak dari penguasaan maupun pengelolaan tanah dimana kekuasaan tersebut berada pada anak tertua yang berasal dari garis keturunan tertua. Perubahan yang terjadi berkaitan dengan pentingnya tanah bagi pembangunan seiring masuknya kapitalisme adalah bahwa penghargaan terhadap anak tertua untuk mengatur hak ulayat tanah tidak terjadi di masyarakat Papua dewasa ini. 

Dalam hal pembagian ulayat setiap anak dalam marga tampil sebagai pemimpin dan penentu sehingga memperlemah eksistensi kelembagaan adat teristimewa hubungan antara manusia dengan tanah. Dulunya hubungan antara manusia Papua dengan tanahnya dianggap suci karena tanah bukan saja sebagai sumber ekonomi tetapi juga sumber sejarah asal – usul suku. Dalam kenyataan hari ini hubungan itu tidak suci, tanah dapat diperjualbelikan bahkan dijual berulang – ulang secara bergantian dengan tidak mempertimbangkan sedikitpun kesucian hubungan pemilik dengan tanah ulayatnya.

Budaya pada prinsipnya bersifat dinamis artinya berkembang tetapi setiap perkembangan secara berbudaya harus bisa dipertanggungjawabkan, dan yang paling terpenting dari inovasi dan kreativitas manusia dalam berbudaya sebagai homo kulturalis adalah bahwa budaya itu tidak bisa dipisahkan dari hubungan manusia sebagai homo humanicus artinya menjaga keseimbangan hidup dengan sesama. Menyimak kasus masyarakat hukum adat di Papua Barat; secara filosofi kebudayaan dapat dikatakan bahwa sebagai makhluk sosial „social animal‟ manusia Papua atau dengan bahasa khusus dikatakan bahwa masyarakat hukum adat di Papua Barat pada khususnya telah berada pada sebuah transformasi secara budaya. Secara mendasar dan bersifat teoritis tentang hubungan manusia dengan lingkungan budayanya. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa transformasi kebudayaan di Papua Barat lebih besar penerapan fungsi homo kulturalis demi memenuhi fungsi homo ekonomicus dan tidak mempertimbangkan fungsi manusia sebagai
homo humanicus.

Sumber : Andreas Jefri Deda dan Suriel Semuel Mofu
 

Entri yang Diunggulkan

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua

Doc T anah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antro...