EMPAT
PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Oleh
: Stevanus Thane
A.
Latar
Belakang
Setiap bangsa harus
memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental
bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan. Dalam pidato di Perserikatan Bangsa
Bangsa, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia,
Presiden Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu
bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan
suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi
dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya”
. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian
sendiri. Keperibadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya,
dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya” (Soekarno,
1958).
Konsepsi pokok yang
melandasi semua hal itu adalah semangat gotong royong. Bung Karno mengatakan,
“Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan.
Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong
royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong
adalah pembantingan tulang bersama, perjuangan bantu binantu bersama. Amal
semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis
kuntul baris, buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong.” (dikutip dari
Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945).
Dengan semangat
gotong royong itu, konsepsi tentang dasar negara dirumuskan dengan merangkum
lima prinsip utama (sila) 3 yang menyatukan dan menjadi haluan keindonesian,
yang dikenal sebagai Pancasila. Kelima sila itu terdiri atas: 1) Ketuhanan Yang
Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawararan/perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan kelima sila
tersebut terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sejak pengesahan Undang-Undang Dasar ini pada 18 Agustus
1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi
negara, ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan, dan
sumber dari segala sumber hukum.
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hukum dasar, merupakan
kesepakatan umum (konsensus) warga negara mengenai norma dasar (grundnorm) dan
aturan dasar (grundgesetze) dalam kehidupan bernegara. Kesepakatan ini utamanya
menyangkut tujuan dan cita-cita bersama, the rule of law sebagai
landasan penyelenggaraan negara, serta bentuk institusi dan prosedur
ketatanegaraan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, Indonesia ialah negara
yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat). Negara juga menganut sistem
konstitusional, dengan Pemerintah berdasarkan konstitusi (hukum dasar), dan
tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Undang-Undang Dasar
menjadi pedoman bagi pelaksanaan ”demokrasi konstitusional” (constitusional
democracy), yakni praktik demokrasi yang tujuan ideologis dan teleologisnya
adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.
Konsepsi tentang
bentuk Negara Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang menjunjung tinggi
otonomi dan kekhususan daerah sesuai dengan budaya dan adat istiadatnya. Bentuk
negara yang oleh sebagian besar pendiri bangsa dipercaya bisa menjamin
persatuan yang kuat bagi negara kepulauan Indonesia adalah Negara Kesatuan (unitary).
Semangat persatuan yang bulat-mutlak itu dirasa lebih cocok diwadahi dalam
bentuk negara kesatuan. Selain itu, pengalaman traumatis pembentukan negara
federal sebagai warisan kolonial, disertai kesulitan secara teknis untuk
membentuk negara bagian dalam rancangan negara federal Indonesia, kian
memperkuat dukungan pada bentuk negara kesatuan.
Meskipun
memilih bentuk negara kesatuan, para pendiri bangsa sepakat bahwa untuk
mengelola negara sebesar, seluas dan semajemuk Indonesia tidak bisa
tersentralisasi. Negara seperti ini sepatutnya dikelola, dalam ungkapan
Mohammad Hatta “secara bergotong-royong”, dengan melibatkan peran serta daerah
dalam pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial-budaya sesuai dengan keragaman
potensi daerah masing-masing. Itulah makna dari apa yang disebut Muhammad Yamin
sebagai negara kesatuan yang dapat melangsungkan beberapa sifat pengelolaan
negara federal lewat prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi (AB Kusuma,
2004).
Sejalan dengan itu,
konsepsi tentang semboyan negara dirumuskan dalam “Bhinneka Tunggal Ika”,
meskipun berbeda-beda, tetap satu jua (unity in diversity, diversity in
unity). Di satu sisi, ada wawasan ”ke-eka-an” yang berusaha mencari
titik-temu dari segala kebhinnekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara
(Pancasila), Undang-Undang Dasar dan segala turunan perundang-undangannya,
negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di
sisi lain, ada wawasan kebhinnekaan yang menerima dan memberi ruang hidup bagi
aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, serta
unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.
Keempat konsepsi
pokok itu disebut empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia pengertian
pilar adalah tiang penguat, dasar, yang pokok, atau induk. Penyebutan Empat
Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidaklah dimaksudkan bahwa keempat
pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat. Setiap pilar memiliki
tingkat, fungsi dan konteks yang berbeda. Pada prinsipnya Pancasila sebagai
ideologi dan dasar negara kedudukannya berada di atas tiga pilar yang lain.
Dimasukkannya
Pancasila sebagai bagian dari Empat Pilar, semata-mata untuk menjelaskan adanya
landasan ideologi dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
yaitu Pancasila, yang menjadi pedoman penuntun bagi pilar-pilar kebangsaan dan
kenegaraan lainnya. Pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika sudah terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, tetapi dipandang perlu untuk dieksplisitkan sebagai
pilar-pilar tersendiri sebagai upaya preventif mengingat besarnya potensi
ancaman dan gangguan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wawasan
kebangsaan.
Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh
pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai
Pancasila baik sebagai ideologi dan dasar negara sampai hari ini tetap kokoh
menjadi landasan dalam bernegara. Pancasila juga tetap tercantum dalam
konstitusi negara kita meskipun beberapa kali mengalami pergantian dan
perubahan konstitusi. Ini menunjukkan bahwa Pancasila merupakan konsensus
nasional dan dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat Indonesia. Pancasila
terbukti mampu memberi kekuatan kepada bangsa Indonesia, sehingga perlu
dimaknai, direnungkan, dan diingat oleh seluruh komponen bangsa.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah konstitusi negara sebagai
landasan konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Oleh karena itu, dalam negara yang
menganut paham konstitusional tidak ada satu pun perilaku penyelenggara negara
dan masyarakat yang tidak berlandaskan konstitusi.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk negara yang dipilih sebagai
komitmen bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pilihan yang tepat
untuk mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen kebangsaan akan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi suatu “keniscayaan” yang
harus dipahami oleh seluruh komponen bangsa.
Empat pilar dari
konsepsi kenegaraan Indonesia tersebut merupakan prasyarat minimal, di samping
pilar-pilar lain, bagi bangsa ini untuk bisa berdiri kukuh dan meraih kemajuan
berlandaskan karakter kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Setiap
penyelenggara negara dan segenap warga negara Indonesia harus memiliki
keyakinan, bahwa itulah prinsip-prinsip moral keindonesian yang memandu
tercapainya perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Dalam
negara yang berasaskan kekeluargaan, para penyelenggara negara wajib memelihara
budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur. Sementara itu, setiap warga negara hendaknya lebih mengedepankan
pemenuhan kewajibannya kepada negara sebelum menuntut hak-haknya. Untuk dapat
menjalankan kewajiban dan memahami hak-haknya, setiap unsur pemangku
kepentingan dalam kehidupan kenegaraan harus menyadari pentingnya prinsip yang
terkandung dalam keempat pilar tersebut, berusaha mengembangkan pemahamannya,
serta memberdayakan kapasitas dan komitmennya dalam aktualisasi nilai-nilai
tersebut sesuai dengan bidang, profesi dan posisi masing-masing.
Urgensi pemahaman
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara karena berbagai persoalan
kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi di Indonesia saat ini disebabkan abai
dan lalai dalam pengimplementasian Empat Pilar itu dalam kehidupan sehari-hari.
Liberalisme ekonomi terjadi karena kita mengabaikan sila-sila dalam Pancasila
terutama sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dan sila Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Konflik horizontal terjadi karena
kita lalai pada Bhinneka Tunggal Ika.
Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dipandang sebagai sesuatu yang harus
dipahami oleh para penyelenggara negara bersama seluruh masyarakat dan menjadi
panduan dalam kehidupan berpolitik, menjalankan pemerintahan, menegakkan hukum,
mengatur perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan, dan berbagai
dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa lainnya. Dengan pengamalan prinsip
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, diyakini bangsa Indonesia akan
mampu mewujudkan diri sebagai bangsa yang adil, makmur, sejahtera, dan
bermartabat.
B. Kondisi Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara
Kehidupan bangsa
Indonesia akan semakin kukuh, apabila segenap komponen bangsa, di samping
memahami dan melaksanakan Pancasila, juga secara konsekuen menjaga sendi-sendi
utama lainnya, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Perjuangan ke depan
adalah tetap mempertahankan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara,
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan
konstitusional, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara dan
wadah pemersatu bangsa, serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang
merupakan modal untuk bersatu dalam kemajemukan.
Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara tersebut patut disyukuri dengan cara menghargai
kemajemukan yang hingga saat ini tetap dapat terus dipertahankan, dipelihara,
dan dikembangkan. Semua agama turut memperkukuh integrasi nasional melalui
ajaran-ajaran yang menekankan rasa adil, kasih sayang, persatuan, persaudaraan,
hormat-menghormati, dan kebersamaan. Selain itu, nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang dimanifestasikan melalui adat istiadat juga berperan dalam mengikat
hubungan batin setiap warga bangsa. Konflik sosial yang berkepanjangan,
berkurangnya sopan santun dan budi pekerti luhur dalam pergaulan sosial,
melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian
terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh
berbagai faktor yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri.
Faktor yang berasal dari
dalam negeri, antara lain, (1) masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama
dan munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, serta
tidak harmonisnya pola interaksi antarumat beragama; (2) sistem sentralisasi
pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan
di Pusat dan pengabaian terhadap pembangunan dan kepentingan daerah serta
timbulnya fanatisme kedaerahan; (3) tidak berkembangnya pemahaman dan
penghargaan atas kebhinnekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa; (4)
terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang
panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal
dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan
moralitas dan etika; (5) kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku
sebagian pemimpin dan tokoh bangsa; (6) tidak berjalannya penegakan hukum
secara optimal, dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang
menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di tengah masyarakat; (7)
adanya keterbatasan kemampuan budaya lokal, daerah, dan nasional dalam
merespons pengaruh negatif dari budaya luar; (8) meningkatnya prostitusi, media
pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran, dan penyelundupan obat-obat
terlarang (Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa);
(9) Pemahaman dan implementasi otonomi daerah yang tidak sesuai dengan semangat
konstitusi (Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, Pembagian, Dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang
Berkeadilan Serta Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia).
Faktor-faktor yang berasal
dari luar negeri meliputi, antara lain, (1) pengaruh globalisasi kehidupan yang
semakin meluas dengan persaingan antarbangsa yang semakin tajam; (2) makin
kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan
nasional. Faktor-faktor penghambat yang sekaligus merupakan ancaman tersebut
dapat mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami kesulitan dalam
mengaktualiasikan segenap potensi yang dimilikinya untuk mencapai persatuan,
mengembangkan kemandirian, keharmonisan dan kemajuan. Oleh sebab itu,
diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengingatkan kembali warga bangsa dan
mendorong revitalisasi khazanah nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana terdapat
pada empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa).
Dalam sejarah
perjalanan negara Indonesia telah terjadi pergolakan dan pemberontakan sebagai
akibat dari ketidaksiapan masyarakat dalam menghormati perbedaan pendapat dan
menerima kemajemukan, penyalahgunaan kekuasaan serta tidak terselesaikannya
perbedaan pendapat di antara pemimpin bangsa. Hal tersebut telah melahirkan
ketidakadilan, konflik vertikal antara pusat dan daerah maupun konflik
horizontal antar berbagai unsur masyarakat, pertentangan ideologi dan agama,
kemiskinan struktural, kesenjangan sosial, dan lain-lain (Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional).
Usaha
untuk mewujudkan gerakan reformasi secara konsekuen dan untuk mengakhiri
berbagai konflik yang terjadi, jelas memerlukan kesadaran dan komitmen seluruh
warga masyarakat untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional. Persatuan
dan kesatuan nasional hanya dapat dicapai apabila setiap warga masyarakat mampu
hidup dalam kemajemukan dan mengelolanya dengan baik (Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional).
Pada saat
ini bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah yang telah menyebabkan
terjadinya krisis yang sangat luas. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya
bangsa belum sepenuhnya dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara
oleh sebagian masyarakat. Hal itu kemudian melahirkan krisis akhlak dan moral
yang berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi
manusia. Dalam kerangka itu, diperlukan upaya mewujudkan nilai-nilai agama dan
nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat baik dan
menghindari perbuatan tercela, serta perbuatan yang bertentangan dengan hukum
dan hak asasi manusia. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa selalu
berpihak kepada kebenaran dan menganjurkan untuk memberi maaf kepada orang yang
telah bertobat dari kesalahannya. Konflik sosial budaya terjadi karena
kemajemukan suku, budaya, dan agama tidak teratasi dengan baik dan adil oleh
penyelenggara negara maupun masyarakat. Dalam kerangka itu, diperlukan
penyelenggaraan negara yang mampu memahami dan mengelola kemajemukan bangsa
secara baik dan adil sehingga dapat terwujud toleransi, kerukunan sosial,
kebersamaan, dan kesetaraan berbangsa
Globalisasi
dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan
keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat memberi
dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa. Dalam kerangka itu, diperlukan
adanya sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu bekerja sama
serta berdaya saing untuk memperoleh manfaat positif dari globalisasi dengan
tetap berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional.
C. Pancasila Sebagai
Ideologi dan Dasar Negara
Rumusan dokumen
Pancasila yang pernah ada, baik yang terdapat pada pidato Ir. Soekarno maupun
rumusan Panitia Sembilan yang tertuang pada Piagam Jakarta merupakan sejarah
dalam proses penyusunan dasar negara. Rumusan tersebut seluruhnya autentik
sampai akhirnya disepakati rumusan sebagaimana terdapat pada alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Secara historis, ada
tiga rumusan dasar negara yang diberi nama Pancasila, yaitu rumusan konsep Ir.
Soekarno yang disampaikan pada pidato tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI,
rumusan oleh Panitia Sembilan dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, dan
rumusan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI tanggal
18 Agustus 1945. Dengan demikian, rangkaian dokumen sejarah yang bermula dari 1
Juni 1945, 22 Juni 1945, hingga teks final 18 Agustus 1945 itu, dapat dimaknai
sebagai satu kesatuan dalam proses kelahiran falsafah negara Pancasila.
Tanggal 1 Juni 1945
untuk pertama kalinya Bung Karno menyampaikan pidatonya yang monumental tentang
Pancasila sebagai dasar negara di depan sidang BPUPKI. Pada hari itulah, lima
prinsip dasar Negara dikemukakan dengan diberi nama Pancasila, dan sejak itu
jumlahnya tidak pernah berubah. Meskipun demikian, untuk diterima sebagai Dasar
Negara, Pancasila mendapatkan persetujuan kolektif melalui perumusan Piagam
Jakarta (22 Juni 1945) dan akhirnya mengalami perumusan final lewat proses
pengesahan konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945. Demikianlah rangkaian panjang
proses konseptualisasi Pancasila hingga mencapai rumusannya yang final pada 18
Agustus 1945. Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi
berbagai unsur dan golongan.
Karena Pancasila
merupakan karya bersama yang dihasilkan melalui konsensus bersama, Pancasila
itu merupakan titik-temu (common denominator) yang menyatukan
keindonesiaan. Dengan demikian, jelas bahwa penetapan rumusan Pancasila
merupakan hasil final, yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga Indonesia
dalam mengembangkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pidatonya,
Soekarno mengatakan sebagai berikut:
“Saya bukanlah
pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan
tempo hari, ialah sekadar memformuleer perasaan-perasaan yang ada di dalam
kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya
tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada orang mengatakan
bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia. Saya
tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan
Tuhan, itu lain pertanyaan…
Aku memang manusia.
Manusia dengan segala kedaifan dari pada manusia. Malahan manusia jang tidak
lebih daripada saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan
pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekedar memformuleerkan
adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”.
Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam
kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat
dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan
tekanan kata memang kuletakan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu….
Pada saat kita
menghadapi kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, dan
alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian,
kita menghadapi soal bagaimana Negara hendak datang ini, kita letakan di atas
dasar apa. Maka di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh
Indonesia, difikir-fikirkan soal ini dengan cara jang sedalam-dalamnya. Di
dalam sidang inilah buat pertama kali saya formuleeren apa yang kita kenal
sekarang dengan perkataan “Pancasila”. Sekedar formuleren, oleh karena lima
perasaan ini telah hidup berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun di
dalam kalbu kita. Siapa yang memberi bangsa Indonesia akan perasaan-perasaan
ini? Saya sebagai orang yang percaya kepada Allah SWT berkata: “Sudah barang
tentu yang memberikan perasaan-perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Allah
SWT pula”. (Dikutip
dari Pidato Bung Karno, 1 Juni 1946 dalam Rangka Peringatan Hari Pancasila).
Memaknai kembali
Pancasila berarti kita ingin menegaskan komitmen, bahwa nilai-nilai Pancasila
adalah dasar dan ideologi dalam kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila bukanlah konsep pemikiran semata, melainkan sebuah perangkat tata
nilai untuk diwujudkan sebagai panduan dalam berbagai segi kehidupan. Dengan
demikian, nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan etika dan moral ketika
kita membangun pranata politik, pemerintahan, ekonomi, pembentukan dan
penegakan hukum, politik, sosial budaya, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Menurut, Hans
Nawiasky, dalam suatu negara yang merupakan kesatuan tatanan hukum, terdapat
suatu kaidah tertinggi, yang kedudukannya lebih tinggi dari undang-undang
dasar. Berdasarkan kaidah yang tertinggi inilah undang-undang dasar dibentuk.
Kaidah tertinggi dalam kesatuan tatanan hukum dalam negara itu yang disebut
dengan staatsfundamentalnorm, yang untuk bangsa Indonesia berupa
Pancasila. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi
berlakunya suatu undang-undang dasar karena lahir terlebih dahulu dan merupakan
akar langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa serta keputusan bersama yang
diambil oleh bangsa (Riyanto, Astim, 2007).
Dengan demikian,
jelas kedudukan Pancasila itu adalah sebagai dasar negara, di mana Pancasila
sebagai Dasar Negara dibentuk setelah menyerap berbagai pandangan yang
berkembang secara demokratis dari para anggota BPUPKI dan PPKI sebagai
representasi bangsa Indonesia saat itu. Apabila dasar negara Pancasila
dihubungkan dengan cita-cita negara dan tujuan negara, jadilah Pancasila
ideologi negara. Dalam konteks ideologi negara, Pancasila dapat dimaknai
sebagai sistem kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan dalam rangka pencapaian cita-cita dan tujuan
bangsa yang berlandaskan dasar negara.
D. Tantangan Kekinian
dan Solusi Menghadapinya
1. Tantangan Kekinian
Pada saat ini bangsa
Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan walaupun sudah satu dasawarsa
reformasi berjalan, tantangan tersebut kalau diidentifikasi sesuai dengan
Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional dan kondisi bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai berikut :
a.
Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa tidak dijadikan sumber etika
dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal itu kemudian
melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa ketidakadilan, pelanggaran
hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia.
b.
Konflik sosial budaya telah terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan
agama yang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun
masyarakat.
c.
Penegakan hukum tidak berjalan dengan
baik dan pelaksanaannya telah diselewengkan sedemikian rupa, sehingga
bertentangan dengan prinsip keadilan, yaitu persamaan hak warga negara di
hadapan hukum.
d. Perilaku ekonomi yang
berlangsung dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta kurangnya
keberpihakan kepada kelompok usaha kecil dan menengah, sehingga telah
menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, utang besar yang harus dipikul
oleh negara, pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat, serta
kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar.
e.
Sistem politik tidak berjalan dengan baik, sehingga belum dapat melahirkan
pemimpin-pemimpin yang amanah, mampu memberikan teladan dan memperjuangkan
kepentingan masyarakat.
f.
Peralihan kekuasaan yang sering
menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara kelompok masyarakat
terjadi sebagai akibat proses demokrasi yang tidak berjalan dengan baik.
g.
Masih berlangsungnya pelaksanaan dalam
kehidupan bermasyarakat yang mengabaikan proses demokrasi menyebabkan rakyat
tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya sehingga terjadi gejolak politik
yang bermuara pada gerakan masyarakat yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan
keadilan.
h.
Penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat dari lemahnya fungsi pengawasan oleh
internal pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat, serta terbatasnya pengawasan
oleh masyarakat dan media massa pada masa lampau, telah menjadikan transparansi
dan pertanggungjawaban pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih
dan bertanggung jawab tidak terlaksana. Akibatnya, kepercayaan masyarakat
kepada penyelenggara negara menjadi berkurang.
i.
Globalisasi dalam kehidupan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia,
tetapi jika tidak diwaspadai, dapat memberi dampak negatif terhadap kehidupan
berbangsa.
j.
Kurangnya pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai
yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan keterkaitannya satu sama lain,
untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Solusi Menghadapi Tantangan
Dari berbagai
tantangan yang dihadapi bangsa saat ini perlu ada arah kebijakan yang merupakan
solusi menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, agar memperkuat kembali persatuan dan kesatuan bangsa. Arah
kebijakan tersebut sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional adalah sebagai berikut :
a.
Menjadikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa
sebagai sumber etika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkuat
akhlak dan moral penyelenggara negara dan masyarakat.
b.
Menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka
dengan membuka wacana dan dialog terbuka di dalam masyakarat sehingga dapat
menjawab tantangan sesuai dengan visi Indonesia masa depan.
c.
Meningkatkan kerukunan sosial antar dan antara pemeluk agama,
suku, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya melalui dialog dan kerja sama
dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan, toleransi dan saling menghormati.
Intervensi pemerintah dalam kehidupan sosial budaya perlu dikurangi, sedangkan
potensi dan inisiatif masyarakat perlu ditingkatkan.
d.
Menegakkan supremasi hukum dan perundang-undangan secara
konsisten dan bertanggung jawab, serta menjamin dan menghormati hak asasi
manusia. Langkah ini harus didahului dengan memproses dan menyelesaikan
berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran hak asasi
manusia.
e.
Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,
khususnya melalui pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pemberdayaan ekonomi
rakyat dan daerah.
f.
Memberdayakan masyarakat melalui perbaikan sistem politik
yang demokratis sehingga dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas,
bertanggung jawab, menjadi
g.
Menata kehidupan politik agar distribusi kekuasaan, dalam
berbagai tingkat struktur politik dan hubungan kekuasaan, dapat berlangsung
dengan seimbang. Setiap keputusan politik harus melalui proses yang demokratis
dan transparan dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
h.
Memberlakukan kebijakan otonomi daerah, menyelenggarakan
perimbangan keuangan yang adil, meningkatkan pemerataan pelayanan publik,
memperbaiki kesenjangan dalam pembangunan ekonomi dan pendapatan daerah, serta
menghormati nilai-nilai budaya daerah berdasarkan amanat konstitusi.
i.
Meningkatkan integritas, profesionalisme, dan tanggung jawab
dalam penyelenggaraan negara, serta memberdayakan masyarakat untuk melakukan
kontrol sosial secara konstruktif dan efektif.
j.
Mengefektifkan Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara
yang berperan dalam bidang pertahanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang berperan dalam bidang keamanan, serta mengembalikan
jatidiri Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai bagian dari rakyat.
k.
Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia Indonesia sehingga
mampu bekerja sama dan bersaing sebagai bangsa dan warga dunia dengan tetap
berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional.
l.
Mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara,
mengembangkan Pancasila sebagai ideologi dan sebagai dasar landasan peraturan
perundang-undangan, mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan
produk-produk perundangan, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal
(negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan
menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Untuk membangun
pemahaman nilai-nilai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam
kondisi global, maka dapat dibuat arah kebijakan untuk mengaktualisasikan
nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara baik melalui pendidikan formal, maupun nonformal
serta pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin bangsa.
Upaya memaknakan
Pancasila penting dilakukan agar Pancasila lebih operasional dalam kehidupan
dan ketatanegaraan, dapat memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan
bersifat fungsional. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran yang bersifat
abstraksi-filosofis akan menjadi lebih bermakna apabila dilaksanakan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
E. Periode Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Bentuk Negara
Federasi dan Penerapan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (1949)
hanyalah bersifat sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17
Agustus 1945 menginginkan bentuk Negara Kesatuan. Hal ini terbukti dengan
negara Republik Indonesia Serikat yang tidak bertahan lama karena negara-negara
bagian tersebut menggabungkan dengan Republik Indonesia, sehingga dari 16
negara bagian menjadi hanya 3 negara, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara
Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Keadaan ini menambah semakin
merosotnya wibawa negara Republik Indonesia Serikat.
Pada akhirnya,
dicapai kesepakatan antara Republik Indonesia Serikat yang mewakili Negara
Republik Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan Negara Republik Indonesia
untuk kembali mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Langkah
selanjutnya, dibuatlah kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian pada 19 Mei
1950 untuk mendirikan kembali negara kesatuan, sebagai kelanjutan dari negara
kesatuan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Bagi negara kesatuan
yang baru terbentuk, tentu diperlukan sebuah undang-undang dasar yang baru.
Untuk kebutuhan tersebut dibentuk Panitia bersama yang bertugas menyusun
Rancangan Undang-Undang Dasar yang kemudian disahkan pada 12 Agustus 1950 oleh
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan selanjutnya panutan
masyarakat, dan mampu mempersatukan bangsa dan negara. Mengatur peralihan
kekuasaan secara tertib, damai, dan demokratis sesuai dengan hukum dan
perundang-undangan. Menata kehidupan politik agar distribusi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada 14 Agustus 1950,
Dengan disahkannya itu, berlakulah Undang-Undang Dasar Sementara pada 17
Agustus 1950.
Meskipun telah
bersidang selama kurang lebih dua setengah tahun namun Konstituante belum bisa
menyelesaikan tugasnya, situasi di tanah air berada dalam keadaan genting,
sehingga dikhawatirkan bisa timbul perpecahan bangsa dan negara. Belum lagi
konstituante selalu gagal memecahkan masalah pokok dalam menyusun undang-undang
dasar baru, karena tidak pernah mencapai kuorum 2/3 sebagaimana yang
diharuskan. Untuk mengatasi hal tersebut, Akhirnya pada 22 April 1959, Presiden
Soekarno menyampaikan amanat atas nama pemerintah Republik Indonesia di depan sidang
pleno Konstituante yang berisi anjuran agar Konstituante menetapkan saja
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia. Dalam tiga kali pemungutan suara untuk memberlakukan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu pada 30 Mei, 1 Juni, dan 2 Juni 1959,
Konstituante tidak juga berhasil mencapai kuorum 2/3 yang diperlukan.
Sementara situasi
tanah air waktu itu sama sekali tidak menguntungkan bagi perkembangan
ketatanegaraan, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Republik Indonesia Ir.
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang
salah satu isinya adalah kembali menggunakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Undang-Undang Dasar yang berlaku di
Indonesia. Dasar hukum yang dijadikan rujukan untuk mengeluarkan Dekrit ini
adalah Staatsnoodrecht (hukum tata negara darurat).
a. Periode Undang-Undang
Dasar 1945 (5 Juli 1959 - 1999)
Melalui Dekrit
Presiden Nomor 150 Tanggal 5 Juli Tahun 1959, berlakulah kembali Undang-Undang
Dasar 1945 di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah
Undang-Undang Dasar 1945 yang menggunakan angka “1945” di belakang
Undang-Undang Dasar, baru muncul pada awal tahun 1959, ketika pada 19 Februari
1959 Kabinet Karya mengambil kesimpulan dengan suara bulat mengenai
“pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar
1945”. Keputusan pemerintah ini disampaikan kepada Konstituante pada 22 April
1959. Dengan demikian, pada saat Undang-Undang Dasar 1945 disahkan pada 18
Agustus 1945 hanya bernama “Oendang-Oendang Dasar”. Begitu pula ketika
Undang-Undang Dasar tercantum dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7
tanggal 15 Februari 1946, istilah yang digunakan masih “Oendang-Oendang Dasar”
tanpa ada Tahun 1945. Baru setelah Dekrit Presiden 1959 menggunakan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75
Tahun 1959.
Dalam perjalanan
bangsa selanjutnya, sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah
satu isinya adalah kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, di dalam
konsiderannya mengakui bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan satu
kesatuan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
di awal pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945 sangat kondusif, dan bahkan dalam
perjalanannya, menjadi keinginan seluruh pihak, termasuk Presiden, DPR, dan MPR
untuk selalu tetap melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen.
Sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah suatu sistem yang
khas menurut kepribadian Bangsa Indonesia. Menurut Undang-Undang Dasar 1945,
Presiden di samping berkedudukan sebagai “Kepala Negara” juga berkedudukan
sebagai “Kepala Pemerintahan”. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan yang tertinggi
di bawah MPR. Presiden adalah “Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat”. MPR
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia,
tidak dapat selalu bersidang setiap hari. Oleh karena itu, untuk melaksanakan
tugas sehari-hari diserahkan kepada Presiden sebagai mandataris MPR. Hanya
dalam hal-hal tertentu saja, menurut Undang-Undang Dasar 1945, harus dikerjakan
sendiri oleh MPR, yaitu melaksanakan kedaulatan rakyat (Pasal 1 Ayat (2),
menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar haluan negara (Pasal 3),
memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6), dan mengubah Undang-Undang Dasar
(Pasal 37).
b.
Periode Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(Tahun 1999 sampai Sekarang)
Pada tanggal 21 Mei
1998, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden setelah
terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang menandakan dimulainya era
reformasi di Indonesia. Proses reformasi yang sangat luas dan fundamental itu
dilalui dengan selamat dan aman. Negara kepulauan yang besar dan majemuk dengan
keanekaragaman suku, berhasil menjalani proses reformasi dengan utuh, tidak
terpecah-belah, terhindar dari kekerasan dan perpecahan.
Pada 1999 sampai
2002, MPR melakukan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi tuntutan
reformasi 1998. Pada awal era reformasi, muncul desakan di tengah masyarakat
yang menjadi tuntutan reformasi dari berbagai komponen bangsa, termasuk
mahasiswa dan pemuda. Tuntutan itu antara lain sebagai berikut:
1)
Amandemen (perubahan) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2)
Penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI).
3)
Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia
(HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
4)
Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah
(otonomi daerah).
5)
Mewujudkan kebebasan pers.
6)
Mewujudkan kehidupan demokrasi.
Tuntutan terhadap
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
digulirkan oleh berbagai elemen masyarakat dan kekuatan sosial politik
didasarkan pada pandangan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dianggap belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis,
pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. Selain itu di dalamnya terdapat
pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi
penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN yang
menimbulkan mereosotnya kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pertama kali dilakukan
pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang menghasilkan Perubahan Pertama. Setelah
itu, dilanjutkan dengan Perubahan Kedua pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000,
Perubahan Ketiga pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Dengan perubahan yang
dilakukan pada tahun 1999-2002, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memuat antara lain pengaturan prinsip checks and
balances sytem, penegasan otonomi daerah, penyelenggaraan pemilihan umum,
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, pengaturan institusi lainnya
terkait dengan hal keuangan dan lain-lain dalam rangka penyempurnaan
penyelenggaraan ketetanegaraan.
c. Sejarah Konsep Negara
Kesatuan dalam Undang-Undang Dasar
Sejak Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, sejarah Bangsa Indonesia dimulai dari sejarah menyusun
pemerintahan, politik, dan administrasi negara. Landasan yang dijadikan pijakan
adalah konstitusi dan ideologi. Atas dasar tersebut, pada 18 Agustus 1945,
diselenggarakan sidang PPKI yang berhasil menetapkan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi negara dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs.
Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Keinginan bangsa
Indonesia untuk membangun sendiri negara yang merdeka dan berdaulat mendapat
tantangan besar dari pemerintah Belanda. Pada 1946, secara sepihak Belanda
kembali masuk ke Indonesia mengatasnamakan sebagai penguasa yang sah karena
berhasil mengalahkan Jepang yang sebelumnya mengambil alih kekuasaan Hindia
Belanda (Indonesia) dari Belanda. Menghadapi situasi semacam ini, menggeloralah
semangat revolusi kemerdekaan yang mengakibatkan Indonesia yang baru merdeka
harus secara fisik berperang melawan Belanda yang ingin merampas kembali
kemerdekaan Indonesia. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan tersebut melewati
beberapa episode penting yang mengkombinasikan antara perang fisik dan perang
diplomasi atau perundingan-perundingan dalam kurun waktu 1945-1949.
Negara
kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagsverhouding)
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sedangkan persatuan adalah sikap batin
atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara. Disini
jelas-jelas Bung Karno mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus menjadi wadah yang menyatukan seluruh aspek kehidupan nasional meliputi aspek
geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya sampai
pertahanan dan keamanan bangsa (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
Memperhatikan keadaan
negara-negara bagian yang sulit dikoordinasikan dan berkurangnya wibawa
pemerintah negara federal selama pelaksanaan konstitusi Republik Indonesia
Serikat, rakyat Indonesia sepakat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan.
Negara Kesatuan adalah pilihan yang dianggap tepat pada saat proklamasi tanggal
17 Agustus 1945.
Pada tanggal
17 Agustus 1950, Indonesia resmi kembali ke negara kesatuan dengan konstitusi
UUDS 1950, sebagaimana terdapat pada Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang menetapkan
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara dengan bentuk kesatuan.
d. Konsep Negara Kesatuan
Menurut UUD 1945
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengukuhkan keberadaan
Indonesia sebagai Negara Kesatuan dan menghilangkan keraguan terhadap pecahnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkukuh prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tidak sedikit pun mengubah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi negara federal. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mendorong pelaksanaan otonomi daerah untuk lebih
memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan proses
pembangunan di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di
daerah. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan yang komprehensif untuk pelaksanaan otonomi daerah sehingga
dapat dilaksanakan sesuai dengan hakikat tujuan pembangunan nasional.
Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan naskah
asli mengandung prinsip bahwa ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik.” Pasal yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia tersebut merupakan tekad bangsa Indonesia yang menjadi sumpah anak
bangsa pada 1928 yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa persatuan, satu tanah air yaitu Indonesia. Penghargaan
terhadap cita-cita luhur para pendiri bangsa (The Founding Fathers) yang
menginginkan Indonesia sebagai negara bangsa yang satu merupakan bagian dari
pedoman dasar bagi MPR 1999-2004 dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wujud
Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kukuh setelah dilakukan perubahan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dimulai
dari adanya kesepakatan MPR yang salah satunya adalah tidak mengubah Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final negara
bagi bangsa Indonesia.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia dinyatakan dibagi atas bukan terdiri atas.
Kalimat “dibagi atas” menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
tersebut adalah satu, setelah itu baru kemudian dibagi atas daerah-daerah,
sehingga Negara Kesatuan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Meskipun Negara
Kesatuan Republik Indonesia sudah dibagi, dia merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan bahkan dimungkinkan untuk ditarik kembali apabila ada yang
ingin mencoba memisahkan diri dari kesatuannya. Kalimat ”dibagi atas provinsi
dan provinsi dibagi atas kabupaten dan kota” adalah sebagai wujud pengukuhan
dari pengakuan otonomi daerah yang diberikan pengakuan memiliki pemerintahan
sendiri yakni pemerintahan daerah namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ketentuan pasal ini merupakan entry point (pintu
masuk atau sebagai dasar) pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mempererat
kembali keutuhan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sehingga tidak ada lagi perbedaan pendapat terhadap bentuk negara Indonesia
sebagai Negara Kesatuan.
F.
Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Negara
1. Sejarah Bhinneka
Tunggal Ika
Bunyi lengkap dari
ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan dalam Kitab Sutasoma yang
ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV di masa Kerajaan Majapahit. Dalam
kitab tersebut Mpu Tantular menulis “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa
tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” (Bahwa agama Buddha
dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina
(Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, artinya tak
ada dharma yang mendua). Nama Mpu Tantular sendiri terdiri dari tan (tidak)
dan tular (terpangaruh), dengan demikian, Mpu Tantular adalah seorang
Mpu (cendekiawan, pemikir) yang berpendirian teguh, tidak mudah terpengaruh
oleh siapa pun) (Suhandi Sigit, 2011).
Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika mulai menjadi pembicaraan terbatas antara Muhammad Yamin, Bung
Karno, I Gusti Bagus Sugriwa dalam sidang-sidang BPUPKI sekitar dua setengah
bulan sebelum Proklamasi (Kusuma R.M. A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri
mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno setelah
Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika merancang Lambang
Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal
Ika dimasukkan ke dalamnya.
Terkait dengan
semboyan yang ditulis Mpu Tantular, dapat diketahui bahwa wawasan pemikiran
pujangga besar yang hidup di zaman kejayaan Majapahit ini, terbukti telah
melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan tersebut hingga sekarang masih
relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan bahkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global. Dan Kekawin Sutasoma yang
semula dipersembahkan kepada Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk) adalah hasil
perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya membutuhkan
waktu satu dasawarsa (sepuluh tahun) sedangkan Kekawin maksudnya adalah
pembacaan ayat-ayat suci dalam agama Hindu-Budha. Kitab yang ditulis [Mpu
Tantular] sekitar 1350-an, tujuh abad yang silam, ternyata di antara isi
pesannya bergulir dalam proses membingkai negara baru Indonesia (Ma’arif A.
Syafii, 2011).
2. Bhinneka Tunggal Ika
Dalam Konteks Indonesia
Dalam mengelola
kemajemukan masyarakat, Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang cukup panjang
bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Negara Barat relatif masih baru
mewacanakan hal ini, sebelum dikenal apa yang disebut dengan multikulturalisme
di Barat, jauh berabad-abad yang lalu bangsa Indonesia sudah memiliki
falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Sejarah juga membuktikan bahwa semakin banyak
suatu bangsa menerima warisan kemajemukan, maka semakin toleran bangsa tersebut
terhadap kehadiran “yang lain”.
Negara Indonesia yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rote tampak
berjajar pulau-pulau dengan komposisi dan kontruksi yang beragam. Di
pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan ragam suku bangsa, bahasa, budaya,
agama, adat istiadat, dan keberagaman lainnya ditinjau dari berbagai aspek.
Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar
dan kecil.
Di balik keindahan
pulau-pulau yang dihiasi oleh flora dan fauna yang beraneka ragam, Indonesia
juga memiliki kebhinnekaan dalam suku yang berjumlah lebih dari 1.128 (seribu
seratus dua puluh delapan) suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah. Namun
keberagaman suku bangsa dan bahasa tersebut, dapat disatukan dalam satu bangsa,
bangsa Indonesia dan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Merupakan suatu
kebanggaan bagi bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan, karena bila melihat
negara-negara lain ada yang tidak berhasil merumuskan bahasa nasional yang
berasal dari bahasa aslinya sendiri, selain mengambil dari bahasa negara
penjajahnya.
Bangsa
Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan
perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai
perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk
membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa
seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku semua terlibat dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil
peran masing-masing.
Kesadaran
terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan
secara mendalam oleh para pendiri bangsa Indonesia. Keberagaman dan kekhasan
sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk
membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an
merupakan realitas sosial, sedangkan ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita
kebangsaan. Wahana yang digagas sebagai “jembatan emas” untuk menuju
pembentukan sebuah ikatan yang merangkul keberagaman dalam sebuah bangsa adalah
sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia.
Pancasila mampu
menjadi landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang majemuk baik dari
segi agama, etnis, ras, bahasa, golongan dan kepentingan. Pancasila mempunyai
peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat majemuk.
Oleh karena itu, upaya untuk terus mempertebal keyakinan terhadap pentingnya
Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia harus menjadi keyakinan dari setiap
manusia Indonesia. Sebagai nilai dasar yang diyakini oleh bangsanya, Pancasila
merupakan ideologi negara dan menjadi sumber kaidah hukum yang mengatur Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah, pengakuan atas keberagaman dicantumkan
pada Pasal 18 yang menyatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam
sidang pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.
Dengan
kembali menggelorakan semangat ke-bhinneka-an, perbedaan dipandang sebagai
suatu kekuatan yang bisa mempersatukan bangsa dan negara dalam upaya mewujudkan
cita-cita negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menunjukan bahwa bangsa
Indonesia sangat heterogen, dan karenanya toleransi menjadi kebutuhan mutlak.
Di era modern ini, di ruang-ruang publik yang manakah homogenitas absolut dapat
kita temukan? Tidak ada. Sebab, heterogenitas sudah merupakan
keniscayaan hidup modern. Karena itulah, tak bisa tidak, kita harus belajar
menerima dan menghargai pelbagai perbedaan.
Bhinneka Tunggal Ika
merupakan semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari
keanekaragaman. Walaupun terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam budaya
daerah, tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama,
yaitu bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan
merah putih sebagai lambang identitas bangsa dan bersatu padu di bawah falsafah
serta dasar negara Pancasila. Bangsa Indonesia harus bersatu padu agar manjadi
satu kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk dapat bersatu harus memiliki pedoman
yang dapat menyeragamkan pandangan dan tingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari.
G. Kesimpulan
Kehidupan bangsa
Indonesia akan semakin kukuh, apabila segenap komponen bangsa, di samping
memahami dan melaksanakan Pancasila, juga secara konsekuen menjaga sendi-sendi
utama lainnya, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara.
Pancasila sebagai
ideologi dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila
dijadikan landasan pokok dan landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara
Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada hakikatnya berisikan lima nilai
dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar Pancasila tersebut adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat aturan dasar yang demokratis dan
modern sesuai dengan ke-butuhan dan tuntutan dinamika bangsa Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya akan bermakna
dan bermanfaat apabila dilaksanakan secara sungguh-sungguh, konsisten, dan
konsekuen oleh seluruh komponen bangsa, terutama para penyelenggara negara.
Pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara
konsisten dan konsekuen akan memberikan harapan besar bagi terwujudnya
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, modern, dan
religius sebagai perwujudan pelaksanaan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Negara Kesatuan
Republik Indonesia lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang
bangsa yang bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Negara Indonesia yang
majemuk diikat oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diartikan walapun
bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang berbeda baik dari suku, agama,
dan bangsa tetapi satu adalah bangsa Indonesia. Pengukuhan ini telah
dideklarasikan sejak 1928 yang terkenal dengan nama "Sumpah Pemuda".
Keempat pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara, semestinya harus kita jaga, pahami, hayati
dan laksanakan dalam pranata kehidupan sehari-hari, di mana Pancasila yang
menjadi sumber nilai menjadi ideologi, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai aturan yang semestinya ditaati, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati, serta Bhinneka Tunggal Ika
adalah perekat semua rakyat. Maka dalam bingkai empat pilar tersebut yakinlah
tujuan yang dicita-citakan bangsa ini akan terwujud.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
As’ad Said, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa, (Jakarta: LP3ES,
2009)
Asshiddiqie,
Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
(Yogyakarta: UII Press, 2005).
__________,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005).
Budiman,
Sagala B., Praktek Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1982).
Hartono,
Pancasila Ditinjau Dari Segi Historis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992).
Hatta,
M. Memoir Mohammad Hatta. Jakarta: Tintamas, 1979.
Kansil,
C.S.T., Pancasila dan UUD 1945, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003).
Ketetapan
MPR RI Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa). (dicabut dengan Ketetapan MPR Nomor
XVIII/MPR/1998).
Ketetapan
MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian, Dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan Serta
Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Ketetapan
MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Ketetapan
MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Kusuma R.M. A.B., Lahirnya
Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tatanegara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004)
Latif, Yudi, ”Pancasila
Dasar Dan Haluan Negara, Makalah dalam Lokakarya Empat Pilar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: MPR RI, 17-19 Juni 2011.
Lembaga
Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila,
(Jakarta: Inti Idayu Press, 1984).
Maarif, Ahmad Syafii,
”Bhinneka Tunggal Ika Pesan Mpu Tantular Untuk Keindonesiaan Kita”, Makalah
dalam Lokakarya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: MPR RI,
17-19 Juni 2011.
Mahkamah Konstitusi, Jurnal
Konstitusi, Edisi 4 Agustus 2010, Jakarta.
Makalah Refleksi 58
Tahun Mosi Integral Natsir Mohammad - Merawat Negara Kesatuan Republik
Indonesia Menghadang Disintegrasi diselenggarakan di Universitas Jendal
Soedirman, Poerwokerto, 19 Juli 2008.
Noorsena Bambang, “Bhinneka
Tunggal Ika; Sejarah, Filosofi, dan Relevansinya sebagai Salah Satu Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Makalah dalam Lokakarya MPR RI, Jakarta:
17-19 Juni 2011.
Notonagoro, Pancasila
Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984).
Notosusanto, Nugroho,
Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1985).
Patria, Pangeran
Alhaj Usmani Surya, Pendidikan Pancasila, (Jakarta: Universitas Terbuka,
1996).
Prabaswara I Made, “Tujuh
Abad Sumpah Palapa & Bhinneka Tunggal Ika, Doa dan Renungan Suci Bali untuk
Indonesia” dalam Bali Post Online, 2 Maret 2003.
Setiadi, Elly M., Panduan
Kuliah Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2007).
Setijo, Pandji, Pendidikan
Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2009).
Suhandi, Sigit, “Bhinneka
Tunggal Ika Maha Karya Persembahan Mpu Tantular” (diakses pada 7 Mei 2011)
Soekarno, Pancasila
dan Perdamaian Dunia. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989.
Soekarno, Pantja-Sila
sebagai dasar negara, Jilid 1-4. Jakarta: Kementrian Penerangan RI, 1958.
Soepandji, Budi
Susilo, ”Negara Indonesia Ialah Negara Kesatuan Yang Berbentuk Republik”,
Makalah dalam Lokakarya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta:
MPR RI, 17-19 Juni 2011.
Syafiie, Inu Kencana,
Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
Tim Penyusun, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan MPR, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011).
Tim Penyusun, Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia Tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998).
Yamin, Mohammad, Pembahasan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, (Jakarta: Yayasan Prapantja, t.t.)
Yasni, Z., Bung
Hatta Menjawab, (Jakarta: Gunung Agung, 1979)
Noorsena Bambang, “Bhinneka
Tunggal Ika; Sejarah, Filosofi, dan Relevansinya sebagai Salah Satu Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Makalah dalam Lokakarya MPR RI, Jakarta:
17-19 Juni 2011.