Corporate
Social Responsibility (CSR), merupakan wacana yang sedang mengemuka di dunia
bisnis atau perusahaan. Wacana ini digunakan oleh perusahaan dalam rangka
mengambil peran menghadapi perekonomian menuju pasar bebas. Perkembangan pasar
bebas yang telah membentuk ikatan-ikatan ekonomi dunia dengan terbentuknya
AFTA, APEC dan sebagainya, telah mendorong perusahaan dari berbagai penjuru
dunia untuk secara bersama melaksanakan aktivitasnya dalam rangka
mensejahterakan masyarakat di sekitarnya.
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholders. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan (Idris, 2005).
Berbagai peristiwa negatif yang menimpa sejumlah
perusahaan, terutama setelah reformasi, seharusnya menjadi pelajaran berharga
bagi para pemilik dan manajemen perusahaan untuk memberikan perhatian dan
tanggung jawab yang lebih baik kepada masyarakat, khususnya di sekitar lokasi
perusahaan. Sebab kelangsungan suatu usaha tidak hanya ditentukan oleh tingkat
keuntungan, tapi juga tanggung jawab sosial perusahaan. Apa yang terjadi ketika
banyak perusahaan didemo, dihujat, bahkan dirusak oleh masyarakat sekitar
lokasi pabrik?
Bila ditelusuri, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah
kurangnya perhatian dan tanggung jawab manajemen dan pemilik perusahaan
terhadap masyarakat maupun lingkungan di sekitar lokasi perusahaan. Investor
hanya mengeduk dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah
tersebut, tanpa memperhatikan faktor lingkungan. Selain itu, nyaris sedikit
atau bahkan tidak ada keuntungan perusahaan yang dikembalikan kepada
masyarakat. Justru yang banyak terjadi, masyarakat malah termarginalkan di
daerah sendiri.
Kasus terbaru terjadi di Papua yang melibatkan PT
Freeport, hingga menimbuklan efek domino dan menyebabkan chaos di daerah yang
terkenal dengan potensi sumber daya alamnya tersebut. Di sekitar areal
bertambangan yang mengalirkan jutaan Dollar perhari, kehidupan masyarakat masih
hidup miskin dan nyaris tak tersentuh perhatian perusahaan. Bahkan berbagai
tindakan anarkis ditimpakan kepada mereka saat mengais sisa produksi di areal
pembuangan limbah.
Kekacauan tersebut seharusnya tidak terjadi bila
perusahaan memberikan tanggungjawab sosialnya kepada masyarakat. Sebab seperti
dikatakan mantan PM Thailand Anand Panyarachun pada Asian Forum on Coorporate
Social Responsibility, 18 September 2003 di Bangkok, “melaksanakan
praktik-praktik yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosial akan
meningkatkan nilai pemegang saham, dan berdampak pada peningkatan prestasi
keuangan serta menjamin sukses yang berkelanjutan bagi perusahaan.”
Pada kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh
semua perusahaan. Beberapa perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok
sosial. Ada juga yang berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun
di ruang publik nama perusahaan gagal menarik simpati orang. Tujuannya mau
berderma sembari meneguk untung citra, tetapi malah ‘buntung’. Hal ini terjadi
karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik.
Tujuan penulisan ini adalah untuk membuat konsep CSR yang
efektif dan efisien untuk diaplikasikan oleh perusahaan. Dengan mengumpulkan
literatur dari berbagai sumber yang sangat relevan di bidangnya, diharapkan
tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya praktisi dan peminat studi
Public Relations (PR).
Studi Pustaka
Public Relations
Public Relations (PR) menurut Jefkins (2003) adalah suatu
bentuk komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara
suatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan
spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian. PR menggunakan metode
manajemen berdasarkan tujuan (management by objectives). Dalam mengejar suatu
tujuan, semua hasil atau tingkat kemajuan yang telah dicapai harus bisa diukur
secara jelas, mengingat PR merupakan kegiatan yang nyata. Kenyataan ini dengan
jelas menyangkal anggapan keliru yang mengatakan bahwa PR merupakan kegiatan
yang astrak. Sedangkan British Institite Public Relations mendefinisikan PR
adalah keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan
dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik (good-will) dan saling
pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya.
Pertemuan asosiasi-asosiasi PR seluruh dunia di Mexico
City pada bulan agustus 1978, menghasilkan pernyataan mengenai PR sebagai
berikut: “Praktik PR adalah sebuah seni sekaligus ilmu sosial yang menganalisis
berbagai kecenderungan, memperkirakan setiap kemungkinan konsekuensinya,
memberi masukan dan saran-saran kepada para pemimpin organisasi, serta
menerapkan program-program tindakan yang terencana untuk melayani kebutuhan
organisasi dan kepentingan khalayaknya. Definisi tersebut mencakup aspek-aspek
PR dengan aspek-aspek ilmu sosial dari suatu organisasi, yakni tanggungjawab
organisasi atas kepentingan publik atau kepentingan masyarakat luas. Setiap
organisasi dinilai berdasarkan sepak terjangnya. Jelas bahwa PR berkaitan
dengan niat baik (goodwill) dan nama baik atau reputasi (Jefkins, 2003).
Soemirat dan Ardianto (2004) mengklasifikasikan publik
dalam PR menjadi beberapa kategori yaitu:
1. Publik internal
dan publik eksternal: Internal publik yaitu publik yang berada di dalam
organisasi/ perusahaan seperti supervisor, karyawan pelaksana, manajer,
pemegang saham dan direksi perusahaan. Eksternal publik secara organik tidak
berkaitan langsung dengan perusahaan seperti pers, pemerintah, pendidik/ dosen,
pelanggan, komunitas dan pemasok.
2. Publik primer,
sekunder, dan marginal. Publik primer bisa sangat membantu atau merintangi
upaya suatu perusahaan. Publik sekunder adalah publik yang kurang begitu penting
dan publik marginal adalah publik yang tidak begitu penting. Contoh, anggota
Federal Reserve Board of Governor (dewan gubernur cadangan federal) yang ikut
mengatur masalah perbankan, menjadi publik primer untuk sebuah bank yang
menunggu rotasi secara teratur, di mana anggita legislatif dan masyarakat
menjadi publik sekundernya.
3. Publik
tradisional dan publik masa depan. Karyawan dan pelanggan adalah publik
tradisional, mahasiswa/pelajar, peneliti, konsumen potensial, dosen, dan
pejabat pemerintah (madya) adalah publik masa depan.
4. Proponent,
opponent, dan uncommitted. Di antara publik terdapat kelompok yang menentang
perusahaan (opponents), yang memihak (proponents) dan ada yang tidak peduli
(uncommitted). Perusahaan perlu mengenal publik yang berbeda-beda ini agar
dapat dengan jernih melihat permasalahan.
5. Silent majority
dan vocal minority: Dilihat dari aktivitas publik dalam mengajukan complaint
(keluhan) atau mendukung perusahaan, dapat dibedakan antara yang vokal (aktif)
dan yang silent (pasif). Publik penulis di surat kabar umumnya adalah the vocal
minority, yaitu aktif menyuarakan pendapatnya, namun jumlahnya tak banyak.
Sedangkan mayoritas pembaca adalah pasif sehingga tidak kelihatan suara atau
pendapatnya.
Greener (2002) mengemukakan bahwa PR tidak satu arah arus
informasi, ia memiliki dua fungsi peran juga. Dapat, sebagai contoh, membantu
membentuk organisasi anda dengan informasi manajemen yang diharapkan,
pendapat-pendapat dan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat ini, dan menerangkan
serta memberi nasehat tentang suatu tindakan yang konsekuen. Dalam perannya
ini, PR benar-benar merupakan fungsi manajemen, bertugas dengan tanggungjawab
menjaga reputasi suatu organisasi ––membentuk, melindungi dan
memperkenalkannya.
Berkaitan dengan fungsi manajemen, Hutapea (2000)
menjelaskan bahwa PR adalah fungsi manajemen untuk membantu menegakkan dan
memelihara aturan bersama dalam komunikasi, demi terciptanya saling pengertian
dan kerjasama antara lembaga/ perusahaan dengan publiknya, membantu manajemen
dan menanggapi pendapat publiknya, mengatur dan menekankan tanggungjawab
manajemen dalam melayani kepentingan masyarakat, membantu manajemen dalam
mengikuti, memonitor, bertindak sebagai suatu sistem tanda bahaya untuk
membantu manajemen berjaga-jaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan buruk,
serta menggunakan penelitian dan teknik-teknik komunikasi yang efektif dan
persuasif untuk mencapai semua itu.
Untuk implementasi PR secara konkrit di organisasi di
masa mendatang, menurut Hubeis (2001) perlu diikuti dengan kegiatan seperti
personal development, dan leadership building (konsep pengembangan diri, teknik
presentasi yang menarik dan efektif, meningkatkan percaya diri, dan mentalitas
sukses); pendirian maupun pemberdayaan pusat data dan informasi untuk mendukung
pengembangan program unggulan, yang dimulai dari tahapan mengumpulkan,
menyaring, mengolah dan menyebarluaskan informasi; temu aksi (demo, diskusi dan
gelar produksi), dalam rangka mengembangkan tingkat komunikasi yang sesuai (intraindividual,
interpersonal, intraorganizational dan extraorganizational); pengenalan sikap
mitra kerja (teliti, konservatif, berkepala dingin, sensitif, keras dan
berpandangan sempit); dan permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat,
dengan memperhatikan jangkauan media massa yang semakin luas, semakin tinggi
tingkat kesadaran pengguna akan haknya terhadap barang atau jasa yang
ditawarkan, tingginya mobilitas masyarakat desa ke kota, perubahan iklim
politik yang sulit diduga, semakin kritis LSM dalam menyampaikan keluhan
konsumen dan adanya produsen pesaing.
Dalam lingkungan bisnis yang berubah, PR ditempatkan pada
platform yang lebih tinggi. Kebutuhan perusahaan yang berkembang tidak hanya
mengembangkan produk atau jasa, tetapi harus berbuat lebih yakni membina
hubungan positif dan konsisten dengan pihak-pihak yang terlibat dengan
organisasi. Oleh karena itu, agar berkembang dan berfungsi optimal. PR harus
didukung oleh berbagai pihak (Octavia, 2003).
Citra Perusahaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian citra
adalah: (1) kata benda: gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki
orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk; (3) kesan
mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau
kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi; (4)
data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi.
Katz dalam Soemirat dan Ardianto (2004) mengatakan bahwa
citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang ,
suatu komite, atau suatu aktivitas. Setiap perusahaan mempunyai citra. Setiap
perusahaan mempunyai citra sebanyak jumlah orang yang memandangnya. Berbagai
citra perusahaan datang dari pelanggan perusahaan, pelanggan potensial, bankir,
staf perusahaan, pesaing, distributor, pemasok, asosiasi dagang, dan gerakan
pelanggan di sektor perdagangan yang mempunyai pandangan terhadap perusahaan.
Jefkins (2003) menyebutkan beberapa jenis citra (image).
Berikut ini lima jenis citra yang dikemukakan, yakni:
1. Citra bayangan
(mirror image). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota
organisasi––biasanya adalah pemimpinnya––mengenai anggapan pihak luar tentang
organisasinya.
2. Citra yang
berlaku (current image). Adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh
pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi.
3. Citra yang
diharapkan (wish image). Adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak
manajemen.
4. Citra perusahaan (corporate image). Adalah
citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas
produk dan pelayanannya.
5. Citra
majemuk (multiple image). Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang, atau
perwakilan dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra
yang belum tentu sama dengan organisasi atau perusahaan tersebut secara
keseluruhan.
Soemirat dan Ardianto (2004) menjelaskan efek
kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra
seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang
diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku
tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita
tentang lingkungan. Public Relations digambarkan sebagai input-output, proses
intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah
stimulus yang diberikan dan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu.
Berikut ini adalah bagan dari orientasi PR, yakni image building (membangun
citra) sebagai model komunikasi dalam PR yang dibuat oleh Soemirat dan
Ardianto:
Efektivitas PR di dalam pembantukan citra (nyata,
cermin dan aneka ragam) organisasi, erat kaitannya dengan kemampuan (tingkat
dasar dan lanjut) pemimpin dalam menyelesaikan tugas organisasinya, baik secara
individual maupun tim yang dipengaruhi oleh praktek berorganisasi (job design,
reward system, komunikasi dan pengambilan keputusan) dan manajemen waktu/
perubahan dalam mengelola sumberdaya (materi, modal dan SDM) untuk mencapai
tujuan yang efisien dan efektif, yaitu mencakup penyampaian perintah,
informasi, berita dan laporan, serta menjalin hubungan dengan orang. Hal ini
tentunya erat dengan penguasaan identitas diri yang mencakup aspek fisik, personil,
kultur, hubungan organisasi dengan pihak pengguna, respons dan mentalitas
pengguna (Hubeis, 2001).
Praktisi humas senantiasa dihadapkan pada tantangan dan harus menangani berbagai macam fakta yang sebenarnya, terlepas dari apakah fakta itu hitam, putih, atau abu-abu. Perkembangan komunikasi tidak memungkinkan lagi bagi suatu organisasi untuk menutup-nutupi suatu fakta. Citra humas yang ideal adalah kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seharusnya “dipoles agar lebih indah dari warna aslinya”, karena hal itu justru dapat mengacaukannya (Anggoro, 2002).
Corporate Social Responsibility
(CSR)
Definisi CSR menurut World Business Council on
Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk
berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya,
komunitas lokal dan masyarakat luas. Definisi lain, CSR adalah tanggung jawab
perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders
sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan lingkungan, di samping ekonomi
(Warta Pertamina, 2004).
Sedangkan Petkoski dan Twose (2003) mendefinisikan
CSR sebagai komitmen bisnis untuk berperan untuk mendukung pembangunan ekonomi,
bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat
luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan
bagi bisnis dan pembangunan.
Di dalam Green Paper Komisi Masyarakat Eropa 2001 dinyatakan bahwa kebanyakan definisi tanggungjwab sosial korporat menunjukkan sebuah konsep tentang pengintegrasian kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan hidup ke dalam operasi bisnis perusahaan dan interaksi sukarela antara perusahaan dan para stakeholder-nya. Ini setidaknya ada dua hal yang terkait dengan tanggungjawab sosial korporat itu yakni pertimbangan sosial dan lingkungan hidup serta interaksi sukarela (Irianta, 2004).
Dalam prinsip responsibility, penekanan yang
signifikan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini
perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan,
menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders
perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya.
Sedangkan stakeholders perusahaan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah
karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar, dan pemerintah
sebagai regulator. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan
pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai
perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya
(financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple
bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial
dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai
perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan
terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup.
Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat
dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak
memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya (Idris,
2005).
Perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi bagus,
umumnya menikmati enam hal. Pertama, hubungan yang baik dengan para pemuka
masyarakat. Kedua, hubungan positif dengan pemerintah setempat. Ketiga, resiko
krisis yang lebih kecil. Keempat, rasa kebanggaan dalam organisasi dan di
antara khalayak sasaran. Kelima, saling pengertian antara khalayak sasaran, baik
internal maupun eksternal. Dan terakhir, meningkatkan kesetiaan para staf
perusahaan (Anggoro, 2002).
Dalam “Model Empat Sisi CSR” perusahaan memiliki tanggung
jawab ekonomis, yaitu berbisnis dan mendapatkan profit. Selain itu, ada tanggung
jawab legal, semisal keharusan membayar pajak, memenuhi persyaratan Amdal, dan
lain-lain. Di luar itu ada tanggung jawab ethical atau etis. Misalnya
perusahaan berlaku fair, tidak membeda-bedakan ras, gender, tidak korupsi, dan
hal-hal semacam itu. Sementara yang keempat, tanggung jawab discretionary.
Tanggung jawab yang seharusnya tidak harus dilakukan, tapi perusahaan melakukan
juga atas kemauan sendiri (Warta Pertamina, 2004).
Fajar (2005) mengatakan perilaku para pengusaha pun
beragam, dari kelompok yang sama sekali tidak malaksanakan sampai kelompok yang
menjadikan CSR sebagai nilai inti (core value) dalam menjalankan usaha. Dalam
pengamatannya, terkait dengan praktik CSR, pengusaha dikelompokkan menjadi
empat: kelompok hitam, merah, biru, dan hijau.
Kelompok hitam adalah mereka yang tidak melakukan praktik
CSR sama sekali. Mereka adalah pengusaha yang menjalankan bisnis semata-mata
untuk kepentingan sendiri. Kelompok isi sama sekali tidak peduli pada aspek
lingkungan dan sosial sekelilingnya dalam menjalankan usaha, bahkan tidak
memperhatikan kesejahteraan karyawannya.
Kelompok merah adalah mereka yang mulai melaksanakan
praktik CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan
mengurangi keuntungannya. Aspek lingkungan dan sosial mulai dipertimbangkan,
tetapi dengan keterpaksaan yang biasanya dilakukan setelah mendapat tekanan
dari pihak lain, seperti masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat.
Kesejahteraan karyawan baru diperhatikan setelah karyawan ribut atau mengancam
akan mogok kerja. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok satu (kelompok
hitam) yang mendapat tekanan dari stakeholders-nya, yang kemudian dengan
terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial, termasuk kesejahteraan
karyawan. CSR jenis ini kurang berimbas pada pembentukan citra positif
perusahaan karena publik melihat kelompok ini memerlukan tekanan (dan gertakan)
sebelum melakukan praktik CSR. Praktik jenis ini tak akan mampu berkontribusi
bagi pembangunan berkelanjutan.
Kelompok ketiga adalah mereka yang menganggap praktik CSR
akan memberi dampak positif (return) terhadap usahanya dan menilai CSR sebagai
investasi, bukan biaya. Karenanya, kelompok ini secara sukarela dan
sungguh-sungguh melaksanakan praktik CSR dan yakin bahwa investasi sosial ini
akan berbuah pada lancarnya operasional usaha. Mereka mendapat citra positif
karena masyarakat menilainya sungguh-sungguh membantu. Selayaknya investasi,
kelompok ini menganggap praktik CSR adalah investasi sosial jangka panjang.
Mereka juga berpandangan, dengan melaksanakan praktik CSR yang berkelanjutan,
mereka akan mendapat ijin operasional dari masyarakat. Kita dapat berharap
kelompok ini akan mampu memberi kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
Kelompok keempat, kelompok hijau, merupakan kelompok yang
sepenuh hati melaksanakan praktik CSR. Mereka telah menempatkannya sebagai
nilai inti dan menganggap sebagai suatu keharusan, bahkan kebutuhan, dan
menjadikannya sebagai modal sosial (ekuitas). Karenanya, mereka meyakini, tanpa
melaksanakan CSR, mereka tidak memiliki modal yang harus dimiliki dalam
menjalankan usaha mereka. Mereka sangat memperhatikan aspek lingkungan, aspek
sosial dan kesejahteraan karyawannya serta melaksanakan prinsip transparansi
dan akuntabilitas. Kelompok ini juga memasukkan CSR sebagai bagian yang
terintegrasi ke dalam model bisnis atas dasar kepercayaan bahwa suatu usaha
harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Mereka percaya, ada nilai
tukar (trade-off) atas triple bottom line (aspek ekonomi, lingkungan, dan
sosial). Buahnya, kelompok ini tidak saja mendapat citra positif, tetapi juga
kepercayaan, dari masyarakat yang selalu siap membela keberlanjutan usaha
kelompok ini. Tak mengherankan, kelompok hijau diyakini akan mampu
berkontribusi besar terhadap pembangunan berkelanjutan.
Membangun Citra Perusahaan Melalui Program CSR
CSR dan Citra Korporat
Dalam News Of PERHUMAS (2004) disebutkan, bagi suatu
perusahaan, reputasi dan citra korporat merupakan aset yang paling utama dan
tak ternilai harganya. Oleh karena itu segala upaya, daya dan biaya digunakan
untuk memupuk, merawat serta menumbuhkembangkannya. Beberapa aspek yang
merupakan unsur pembentuk citra & reputasi perusahaan antara lain; (1)
kemampuan finansial, (2) mutu produk dan pelayanan, (3) fokus pada pelanggan,
(4) keunggulan dan kepekaan SDM, (5) reliability, (6) inovasi, (7) tanggung
jawab lingkungan, (8) tanggung jawab sosial, dan (9) penegakan Good Corporate
Governance (GCG).
Arus globalisasi telah memicu dinamika lingkungan usaha
ke arah semakin liberal, sehingga mendorong setiap entitas bisnis melakukan
perubahan pola usaha melalui penerapan nilai-nilai yang ada dalam prinsip GCG,
yakni: fairness, transparan, akuntabilitas dan responsibilitas, termasuk
tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial. Berdasarkan pertimbangan
nilai dan prinsip GCG, maka dalam rangka meningkatkan citra dan reputasi dan
sebagai upaya untuk menunjang kesinambungan investasi, setiap enterprise
memerlukan tiga hal:
1. Adil (fair) kepada seluruh stakeholders (tidak hanya
kepada shareholders).
2. Proaktif (juga), berperan sebagai agent of change dalam pemberdayaan masyarakat di daerah operasi.
3. Efisien, berhati-hati dalam pengeluaran biaya yang sia-sia terutama untuk penyelesaian masalah yang timbul dengan stakeholders fokus di sekitar daerah operasi.
2. Proaktif (juga), berperan sebagai agent of change dalam pemberdayaan masyarakat di daerah operasi.
3. Efisien, berhati-hati dalam pengeluaran biaya yang sia-sia terutama untuk penyelesaian masalah yang timbul dengan stakeholders fokus di sekitar daerah operasi.
Corporate Social Responsibility (CSR) telah diuraikan
terdahulu bahwa sebagai suatu entitas bisnis dalam era pasar bebas yang sangat
liberal dan hyper competitive, perusahaan-perusahaan secara komprehensif dan
terpadu melakukan best practices dalam menjalankan usahanya dengan
memperhatikan nilai-nilai bisnis GCG, termasuk tanggung jawab terhadap
lingkungan, baik fisik (berkaitan dengan sampah, limbah, polusi dan kelestarian
alam) maupun sosial kemasyarakatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan
diejawantahkan dalam kebijakan Kesehatan Keselamatan Kerja & Lindungan
Lingkungan (K3LL) dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate
Social Responsibility/CSR).
Berdasarkan sifatnya, pelaksanaan program CSR dapat
dibagi dua, yaitu :
1. Program Pengembangan Masyarakat (Community Development/CD); dan
2. Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan publik (Relations Development/RD).
1. Program Pengembangan Masyarakat (Community Development/CD); dan
2. Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan publik (Relations Development/RD).
Sasaran dari Program CSR (CD & RD) adalah: (1)
Pemberdayaan SDM lokal (pelajar, pemuda dan mahasiswa termasuk di dalamnya);
(2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat sekitar daerah operasi; (3) Pembangunan
fasilitas sosial/umum, (4) Pengembangan kesehatan masyarakat, (5) Sosbud, dan
lain-lain.
Seminar “Corporate-Stakeholder Partnership: Toward
Productive Relations” yang diadakan Lead Indonesia bekerjasama dengan Labsosio
FISIP UI di Jakarta, 14 Juni 2005 (dalam http://www.lead.or.id, 2005),
menyimpulkan beberapa hal berkaitan dengan pembentukan citra perusahaan yaitu:
perlunya kemitraan, siapa saja stakeholders, tiga skenario kemitraan, prasyarat
kemitraan yang sukses, dan peran pemerintah dan masyarakat. Pembahasan tersebut
menunjukkan bahwa lingkungan bisnis dan sosial yang berubah menuntut perubahan
paradigma dan tindakan. Dalam hal ini melihat semakin mendesaknya pengembangan
kemitraan yang otentik dan produktif antara perusahaan, pemerintah dan
masyarakat untuk mencapai pembangunan yang adil serta berkelanjutan secara
sosial dan lingkungan, berikut penjelasannya:
Mengapa Perlu Kemitraan
Kemitraan (partnership) antara korporasi dengan
stakeholders menjadi suatu keharusan dalam lingkungan bisnis yang berubah. Pola
konvensional ”business as usual” telah menghasilkan keadaan negatif seperti
terdesaknya kepentingan publik (“enlightened common interests”), kelangkaan
barang jasa publik, dan pencemaran lingkungan. Demikian pula berbagai dinamika
sosial yang muncul seperti reformasi, demokratisasi dan desentralisasi
menghasilkan stakeholders dan masyarakat yang semakin kiritis. Mereka berupaya
meningkatkan taraf hidupnya serta memposisikan diri sebagai subyek dan mitra
yang setara. Dalam hal ini, korporasi perlu menginternalisasi masalah eksternal
perusahaan secara terencana sehingga dapat mencegah kekagetan dan krisis yang
dapat mengancam keberlangsungan kegiatan dan keberadaan korporasi.
Kemitraan dapat menghasilkan solusi antara argumen yang
menekankan market atau profit (“the business of business is business” yang
memprioritaskan shareholders) dengan argumen moral (atau Corporate Social
Responsibility atau CSR yang memperhatikan stakeholders). Dalam hal ini
stakeholders termasuk lingkungan yang “diam” (“silent” stakeholders atau flora
dan fauna ). Dengan kata lain, kemitraan merupakan suatu investasi—bukan
cost—dan dapat menghasilkan win-win solution atau sinergi yang menghasilkan
keadilan bagi masyarakat dan keamanan berusaha serta keserasian dengan
lingkungan.
Siapa Saja Stakeholders
Kemitraan dengan stakeholders ini memerlukan kejelasan
dengan definisi stakeholders itu sendiri: siapa saja mereka itu? Terdapat
pendapat yang menyatakan pentingnya internal stakeholders dalam setiap
perusahaan yakni karyawan yang juga merupakan primary stakeholders terutama
dalam usaha manufacturing. Jenis usaha sektor lainnya lebih menekankan komunitas
sekitar korporasi seperti dalam usaha ekstraktif (mineral dan tambang).
Demikian pula konsumen dalam sektor jasa maupun suppliers dan usaha kecil (UKM)
telah pula dipandang sebagai stakeholders. Dalam hal ini peran pemerintah
lokal, kabupaten, propinsi dan nasional dianggap pula sebagai stakeholders yang
penting.
Pendefinisian stakeholders penting karena dapat
menghindarkan penyamaan atau penyederhanaan “Tanggung Jawab Sosial” (CSR)
dengan “pengembangan komunitas” atau community development (CD) karena “CSR is
beyond or more than CD.” Jelaslah bahwa CSR mencakup berbagai kegiatan yang
mendukung Good Corporate Governance (seperti ketaatan membayar pajak) dan upaya
pecapaian Good Corporate Citizenship. Dalam banyak kasus seringkali CD
mendominasi CSR dan terjadi dalam industri ekstraktif dimana peran komunitas
lingkungan yang sumberdaya alamnya merasa “terambil” memerlukan pendekatan
khusus untuk mencegah konflik.
Hal yang sangat penting dalam kemitraan adalah data dan
indikator maupun riset mengenai siapa saja dan aspirasi mereka (stakeholders’
map and dialogue). Sebagai contoh data mengenai komunitas, sumber daya air atau
potensi UKM (Usaka Mikro Kecil dan Menengah) akan membantu mengoptimalkan
kinerja kemitraan.
Tiga Skenario Kemitraan
Kemitraan antara perusahaan dengan stakeholders dapat
mengarah ke tiga skenario: “un-productive,” “semi-productive,” atau
“productive.” Skenario “un-productive” akan terjadi jika perusahaan masih
berpikir degan pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders
atau paradigma “the business of business is business.” Dalam skenario ini
situasi “low trust” terjadi dan tiada stakeholders engagement dimana mereka
masih dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan (“eksternalitas”)
tidak diinternalisasikan. Dalam skenario ini kemitraan dapat saja terjadi namun
lebih bersifat negatif dengan stakeholders negatif pula seperti oknum aparat
atau preman. Berbagai keadaan negatif dapat terjadi misalnya pemogokan atau
“slow-down” oleh buruh, boikot oleh konsumer, blokade oleh komunitas, dan
pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam dengan sewenang-wenang
serta pelanggaran HAM komunitas lokal. Keadaan terburuk yang dapat terjadi
adalah terhentinya kegiatan maupun keberadaan perusahaan.
Pola kedua adalah kemitraan yang “semi-produktif” yang
bercirikan kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan “sense of
belonging” di pihak stakeholders. Kerjasama lebih mengandung aspek charity atau
Public Relation (PR) dimana stakeholders masih lebih dianggap sebagai obyek.
Dengan kata lain, kemitraan masih belum otentik (genuine) dan masih
mengedepankan kepentingan diri (self-interest) perusahaan, bukan kepentingan
bersama (common interests) antara perusahaan dengan stakeholders. Dengan kata lain, shareholders engagement masih disekitar
tahap “low trust.”
Kemitraan
yang “productive” dan otentik menekankan stakeholders sebagai subyek dan dalam
paradigma “common interest.” Pola ini dapat saja didukung oleh “resource-based
partnership” dimana stakeholders diberi kesempatan menjadi shareholders.
Sebagai contoh, karyawan memperoleh saham melalui Employee Stock Ownership
Program (ESOP), dan hal ini akan membantu kelancaran produksi. Demikian pula
saham untuk komunitas atau pemerintah daerah dapat meningkatkan community
security. Kasus Exxon di Blok Cepu menjadi menarik dimana Pemda Bojonegoro
direncanakan akan memperoleh 10% saham. Keadaan ini menimbulkan “sense of
belonging” dan high-trust serta hubungan sinergis antara subyek-subyek dalam
paradigma “common interests.”
Ketiga
skenario diatas dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan kemitraan setiap
perusahaan dan jelaslah terlihat bahwa stakeholders dapat saja lebih berperan
mempengaruhi kehidupan perusahaan dibandingkan dengan shareholders. Dengan kata
lain, dinamika saham (share) di bursa saham dapat sangat dipengaruhi oleh
dinamika stakeholders di lapangan.
Prasyarat
Kemitraan yang Sukses
Program
kemitraan yang sukses atau “productive” dimulai dengan adanya kehendak yang
kuat dan tulus dari pimpinan di perusahan dan kelompok stakeholders. Di pihak
perusahaan, diperlukan adanya komitmen dari pimpinan perusahaan (CEO) yang
berupaya tanpa henti untuk mengubah paradigma konvensionl (self-interest) ke
paradigma baru (enlightened common interests). Kemitraan yang sukses dapat pula
didorong oleh komisi atau panel independen (Kasus BP di Tangguh, Papua) yang
berfungsi sebagai ombudsman dan melaporkannya pada pimpinan pusat perusahaan.
Selain itu perlu meletakkan posisi unit yang mengatur kemitraan (CSR) dalam
struktur yang cukup penting dalam perusahaan. Demikian pula staf unit CSR harus
mempunyai kompetensi, pengalaman dan kecakapan sosial (social skills) dan
bukanlah “orang buangan” di perusahaan. Mereka harus sensitif pada kebutuhan
dan kondisi lokal termasuk menghormati simbol, nilai, situs sakral maupun
keberadaan pemuka masyarakat. Mencapai kemitraan yang sukses berarti selalu
mempelajari dan mengambil manfaat dari berbagai kasus yang gagal atau sukses
(best practices) di masa lalu. Selain itu perlu pula sosialisasi pada
perusahaan yang masih belum sadar atas pentingnya kemitraan dan CSR.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Keberadaan dan peran perusahaan tidaklah terlepas dari
peran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini peran pemerintah sebagai
penjamin keamanan dan penegak hukum serta menciptakan iklim bisnis yang
kondusif akanlah sangat menentukan dalam keberlanjutan hidup perusahaan. Selain
itu pemerintah dituntut untuk melakukan intervensi pasar melalui pajak, subsidi
untuk mendorong penggunaan renewable resources, pengembangan eco-efficiency
serta kebijakan distribusi resources yang mengindahkan equity. Pemerintah juga
diharapkan untuk berinisiatif membentuk forum stakeholders sebagai wadah
kemitraan yang disertai kegiatan dan indikator kinerja yang nyata. Seperti juga
perusahaan yang dituntut untuk melakukan CSR maka pemerintah harus pula
memenuhi political accountability terhadap warga negara pemberi mandat. Saat
ini terdapat pro kontra jika pemerintah daerah kurang berfungsi dan mendorong
perusahaan (terutama dalam industri ekstraktif) menjadi quasi government. Di
satu pihak, hal ini akan menurunkan kewibawaan dan peran pemerintah namun di
lain pihak hal ini merupakan upaya pembelajaran dalam pencapaian good
governance. Salah satu ujian penting dari kinerja pemerintah adalah
mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah sehingga
mendukung segitiga kemitraan dengan perusahaan dan masyarakat.
Demikian juga masyarakat mempunyai peran yang penting
sebagai penghubung antara pemerintah dengan perusahaan. Masyarakat diharapkan
menjadi aktif dan mengkoreksi dampak pembangunan, menyampaikan aspirasi publik
serta dinamisator keberdayaan publik. Dalam hal ini masyarakat harus dapat pula
mengatasi anggotanya yang berperilaku negatif (bad elements of civil society)
dengan pembuatan aturan perilaku (code of conducts). Pemberian “mandat sosial” bagi
perusahaan untuk beroperasi hendaknya didukung pula oleh “proteksi sosial.” Hal
ini akan semakin mendesak jika terjadi pemberian saham yang dapat saja
menimbulkan konflik di dalam masyarakat sendiri. Dengan kata lain, good
governance perlu dikembangkan pula di masyarakat selain di pemerintah dan
perusahaan.
Kebijakan Publik untuk CSR
Petkoski dan Twose (2003) mengatakan walaupun agenda CSR
saat ini sedang didewasakan, istilah “CSR” belum mengambil banyak peran di
sektor publik, baik di negara industri atau negara berkembang. Sebagian
pemerintah yang berinisiatif melakukannya dijuluki sebagai “pro-CSR
initiatives”, meskipun begitu banyak orang sudah mendukung secara efektif
promosi tentang tanggung jawab sosial yang lebih besar. Sebagai contoh,
perangsang utama aktivitas sektor publik yang mempromosikan barang ekspor dan
barang-barang pendukung atau jasa cukuplah untuk mendapat tambahan devisa, tapi
mereka masih mempunyai dampak positif dengan memberi harapan bertanggung jawab
produksi.
Para agen sektor publik yang tidak menggunakan ungkapan
“corporate social responsibility” tidak melakukan kegiatan apa pun.
Tantangannya adalah mengidentifikasi prioritas dan inisiatif dalam kaitan
dengan pembangunan lokal dan nasional berdasar pada kapasitas dan inisiatif.
Ada satu kesempatan penting bagi sektor publik di negara berkembang untuk
memanfaatkan gairah “CSR” sekarang ini, sepanjang berada dalam tujuan dan
prioritas kebijakan publik dan mendorong pengakuan keduanya.
Perhatian yang bertumbuh seiring dengan potensi prioritas
sektor publik dan CSR pada aktivitas bisnis, paling sedikit mengenai sosial dan
praktik manajemen lingkungan ke hulu industri ekstraktif. Hal ini menerima
tanpa bukti: bagaimana mungkin kebijakan publik dirumuskan untuk memperkuat
kesejajaran, sedangkan kepastian itu menghasilkan intervensi keduanya
‘optimal’––baik untuk bisnis dan development––dan ‘feasible’––dalam batasan
hubungan kelembagaan para agen sektor publik dan pengarah nilai bisnis. Tabel
yang dirumuskan World Bank di bawah ini memberikan gambaran potensi kesejajaran
antara CSR dalam praktek bisnis serta kebijakan dan tanggungjawab sektor
publik.
Penerapan CSR yang Lebih Strategis
Aryani (2006) mencatat bahwa konsep dan praktik CSR sudah
menunjukkan gejala baru sebagai keharusan yang realistis diterapkan. Para
pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Masyarakat pun menilai
sebagai suatu yang perlu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial
kemanusiaan dan lingkungan. Di luar itu, dominasi dan hegemoni perusahaan besar
sangat penting peranannya di masyarakat. Kekuasaan perusahaan yang semakin
besar, sebagaimana dinilai Dr David Korten, penulis buku When Corporations Rule
the World melukiskan bahwa dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah
menjelma menjadi institusi yang paling berkuasa di jagad ini.
Bahkan pengamat globalisasi Dr Noorena Herzt (dalam
Aryani, 2006) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan besar di berbagai negara
telah mengambil alih secara diam-diam kekuasaan politik dari kalangan politisi.
Pengambilalihan secara diam-diam (the silent take over) ini terjadi karena kian
ketatnya produk hukum yang menuntut tanggungjawab sosial kaum pemodal. Akibatnya,
menurut Noorena, pemodal harus masuk dalam dunia politik agar tidak terus
terpojok dengan tuntutan politik pemerintah dan masyarakat. Bahkan menurut
Noorena, dalam satu dasawarsa terakhir ini, peranan CSR perusahaan besar sangat
berperan di masyarakat ketimbang peranan institusi publik (negara). Memang pada
kenyataannya kita tidak bisa mengelak perubahan mendasar dunia sebagaimana
dikatakan Noorena tersebut. Dunia telah menjelma realitas di mana kapitalisme
menjadi panggung yang absah bagi kehidupan kita. Berpijak pada reel kapitalisme
global inilah seluruh tanggung jawab kehidupan umat manusia harus selalu
mempertimbangkan kepentingan para pebisnis. Pertimbangan bukan berarti harus
tunduk, melainkan harus saling menjaga kepentingan.
Kapitalisme dikatakan Aryani (2006) tidak identik dengan
pengerukan modal tanpa pertimbangan sosial. Bahkan untuk era baru sekarang ini,
kapitalisme hanya bisa berkembang baik jika bersinergi dengan dunia sosial.
Sejalan dengan itu, masyarakat modern sudah menjauh dari sikap anti
kapitalisme. Ideologi, baik sosialisme maupun kapitalisme sudah menjauh dari
imajinasi orang. Hanya saja karena kapitalisme telah menjadi realitas, maka
jalur kehidupan masyarakat mau tidak mau harus melewati reel kapitalisme. Kini
orang menyadari bahwa yang terpenting bukanlah ideologi, melainkan sikap
kompromi untuk menemukan jalan terbaik. Karena itu, pemerintah tidak boleh
tunduk oleh kaum pemodal, sebagaimana kaum pemodal tidak boleh tunduk oleh
politisi. Rakyat, pemerintah dan pemodal harusnya berada dalam pihak yang
setara merumuskan strategi kebijakan publik untuk kepentingan bersama. Di
negara kapitalis, penciptaan ruang publik yang demikian itu sudah berjalan.
Bahkan peranan CSR perusahaan sangat menguntungkan pemodal. Pemerintah juga untung
karena selain mudah melobi pembayaran pajak juga terbantu tanggungjawab
sosialnya kepada rakyat miskin.
Pakar pemasaran Craig Semit (dalam Aryani, 2006) yang
merintis pendekatan baru CSR yang dia sebut The Corporat Philanthropy
berpendapat bahwa kegiatan CSR harus disikapi secara strategis dengan melakukan
alighment (penyelarasan) inisiatif CSR yang relevan dengan produk inti (core
product) dan pasar inti (core market), membangun indentitas merek (brand
indentity), bahkan lebih tegas lagi untuk menggaet pangsa pasar, melakukan
penetrasi pasar, atau menghancurkan pesaing. Kegiatan CSR yang diarahkan
memperbaiki konteks korporat inilah yang memungkinkan alighment antara manfaat
sosial dan bisnis dari kegiatan CSR yang muaranya untuk meraih keuntungan materi
dan keuntungan sosial dalam jangka panjang. CSR tidak haram dipraktikkan,
bahkan dengan target mencari untung. Yang terpenting adalah kemampuan
menerapkan strategi. Jangan sampai karena CSR biaya operasional justru
menggerogoti keuangan. Jangan pula karena praktik CSR masyarakat justru
antipati.
Peran PR dalam Implementasi CSR
Idris (2005) mengemukakan sesungguhnya substansi
keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu
sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholders
yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program
pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang
terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan
CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan
(Sustainability development).
Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan,
khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan
institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan
untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai
kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya
tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah;
perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program dalam CSR, diharapkan
ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan
partisipasi aktif masing-masing stakeholders agar dapat bersinergi, untuk
mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para
stakeholders diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan
pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama.Tapi
dalam hal memandang dan menyikapi CSR ke depan, sesungguhnya perlu ada kajian
dan sosialisasi yang serius di internal perusahaan dari semua departemen di
dalamnya. Paling tidak untuk menyamakan persepsi di antara pelaku dan pengambil
kebijakan di dalam satu perusahaan, karena perubahan paradigma pengelolaan
perusahaan yang terjadi saat ini, baik ditingkat lokal maupun global, tidak
serta merta dipahami oleh pengelola dan pengambil kebijakan di satu perusahaan
sehingga pemahaman akan wacana dan implementasi CSR beragam pula, dan otomatis
akan mengalami hambatan-hambatan secara internal perusahaan.
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini
menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat
global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan
memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM).
Bank-bank di Eropa menerapkan kebijakan dalam pemberian pinjaman hanya kepada
perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. Sebagai contoh, bank-bank
Eropa hanya memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia
apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yakni ketika membuka lahan
perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan.
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar
perusahaan, maka sudah saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh
dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta
berusaha membuat laporan setiap tahunnya kepada stakeholders-nya. Laporan
bersifat non financial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam
melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungannya.
Kemudian diharapkan sosialisasi wacana dan tren CSR ini,
tidak hanya bergulir di lingkup manajemen perusahaan tetapi juga kepada semua
shareholders dan stakeholders secara luas, agar implementasinya berlangsung
secara elegan, dengan harapan perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sebagai
komponen shareholders dan stakeholders bisa mengambil peran yang signifikan,
untuk mengeliminir resistensi kelompok-kelompok yang senantiasa mengatasnamakan
masyarakat untuk melakukan “pemerasan” kepada perusahaan dengan mengusung
tema-tema CSR dalam setiap aksinya, tapi tidak mengerti substansi CSR itu
sendiri, dan miskin data.
Dalam implementasi CSR ini public relations (PR)
mempunyai peran penting, baik secara internal maupun eksternal. Dalam konteks
pembentukan citra perusahaan, di semua bidang pembahasan di atas boleh
dikatakan PR terlibat di dalamnya, sejak fact finding, planning, communicating,
hingga evaluation. Jadi ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga
membicarakan PR sebuah perusahaan, di mana CSR merupakan bagian dari community
relations. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah
dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah CSR.
Irianta (2004) memandang community relations berdasarkan
dua pendekatan. Pertama, dalam konsep PR lama yang memosisikan organisasi
sebagai pemberi donasi, maka program community relations hanyalah bagian dari
aksi dan komunikasi dalam proses PR. Bila berdasarkan pengumpulan fakta dan
perumusan masalah ditemukan bahwa permasalahan yang mendesak adalah menangani
komunitas, maka dalam perencanaan akan disusun program community relations. Ini
kemudian dijalankan melalui aksi dan komunikasi. Kedua, yang memosisikan
komunitas sebagai mitra, dan konsep komunitasnya bukan sekedar kumpulan orang
yang berdiam di sekitar wilayah operasi organisasi, community relations
dianggap sebagai program tersendiri yang merupakan wujud tanggungjawab sosial
organisasi.
Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang
bersifat siklis, maka program dan kegiatan CSR dilakukan melalui
tahapan-tahapan berikut:
1. Pengumpulan Fakta
Banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat sekitar
daerah operasional perusahaan. Mulai dari permasalahan lingkungan seperti
polusi, sanitasi lingkungan, pencemaran sumber daya air, penggundulan hutan
sampai dengan permasalahan ekonomi seperti tingkat pengangguran yang tinggi,
sumber daya manusia yang tidak berketerampilan, rendahnya kemauan berwirausaha
dan tingkat produktivitas individu yang rendah.
PR bisa mengumpulkan data tentang permasalahan tersebut
dari berbagai sumber, misalnya dari berita media massa, data statistik, obrolan
warga, atau keluhan langsung dari masyarakat. Selain itu masih banyak sumber
yang bisa digunakan untuk mengumpulkan fakta mengenai persoalan sosial yang
dihadapi komunitas. PR juga bisa menelusuri laporan-laporan hasil penelitian
yang dilakukan perguruan tinggi atau LSM mengenai kondisi sosial ekonomi
masyarakat.
2. Perumusan Masalah
Masalah secara sederhana bisa dirumuskan sebagai
kesenjangan antara yang diharapkan dengan yang dialami, yang untuk
menyelesaikannya diperlukan kemampuan menggunakan pikiran dan keterampilan
secara tepat. Misalnya, dari pengumpulan fakta diketahui salah satu masalah
yang mendesak dan bisa diselesaikan dengan memanfaatkan sumber daya yang
dimiliki organisasi adalah rendahnya keterampilan para pemuda sehingga tak bisa
bersaing di pasar kerja atau tak bisa diandalkan untuk membuka lapangan kerja
bagi dirinya. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan permasalahan: Rendahnya
keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah menengah.
Namun tidak semua pemuda tamatan sekolah menengah yang
rendah tingkat keterampilan kerjanya yang diidentifikasi sebagai masalah. Namun terbatas
pada komunitas sekitar lokasi perusahaan atau di beberapa kota. Jadi, dalam
merumuskan masalah tersebut PR mulai memfokuskan pada komunitas organisasi.
Bila komunitasnya dirumuskan secara sederhana, berarti komunitas berdasarkan
lokasi yakni komunitas sekitar wilayah operasi korporat. Namun bila
komunitasnya dipandang sebagai struktur interaksi maka komunitas tersebut lepas
dari pertimbangan kewilayahan, tetapi lebih pada pertimbangan kesamaan
kepentingan.
3. Perencanaan dan Pemrograman
Perencanaan merupakan sebuah prakiraan yang didasarkan
pada fakta dan informasi tentang sesuatu yang akan terwujud atau terjadi nanti.
Untuk mewujudkan apa yang diperkirakan itu dibuatlah suatu program. Setiap
program biasanya diisi dengan berbagai kegiatan. Kegiatan sebagai bagian dari
program merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan program guna
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Kembali kepada perumusan masalah tentang rendahnya
keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah menengah, maka PR menyusun rencana
untuk mencapai tujuan agar para pemuda lulusan sekolah menengah itu memiliki
keterampilan kerja yang bisa digunakan untuk mencari kerja atau membuka
lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, program
yang disusun misalnya menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan bagi
mereka.
4. Aksi dan Komunikasi
Aspek dari aksi dan komunikasi inilah yang membedakan
kegiatan community relations dalam konteks PR dan bukan PR. Di mana watak PR
ditampilkan lewat kegiatan komunikasi. PR pada dasarnya merupakan proses
komunikasi dua arah yang bertujuan untuk membangun dan menjaga reputasi dan
citra organisasi di mata publiknya. Karena itu, dalam program CSR selalu ada
aspek bagaimana menyusun pesan yang ingin disampaikan kepada komunitas, serta
melalui media apa dan cara bagaimana.
Sedangkan aksi dalam implementasi program yang sudah
direncanakan, pada dasarnya sama saja dengan implementasi program apa pun.
Kembali pada contoh kasus awal, ketika program pendidikan dan pelatihan
keterampilan itu dijalankan, harus ada ruangan, baik untuk penyampaian teori
maupun bengkel kerja sebagai tempat praktik. Di situlah aksi pendidikan dan
pelatihan dijalankan. Di dalamnya tentu saja ada komunikasi yang menjelaskan
kenapa program itu dijalankan, juga masalah tanggungjawab sosial organisasi
pada komunitasnya sehingga memilih untuk menjalankan program kegiatan tersebut.
Dengan begitu diharapkan akan berkembang pandangan yang positif dari komunitas
terhadap organisasi sehingga reputasi dan citra organisasi menjadi baik.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan keharusan pada setiap akhir program
atau kegiatan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi program. Berdasarkan
hasil evaluasi ini bisa diketahui apakah program bisa dilanjutkan, dihentikan
atau dilanjutkan dengan melakukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan. Namun
dalam konteks community relations perlu diingat bahwa evaluasi bukan hanya
dilakukan terhadap penyelenggaraan program atau kegiatan belaka. Melainkan juga
dievaluasi bagaimana sikap komunitas terhadap organisasi. Evaluasi atas sikap
publik ini diperlukan karena, pada dasarnya community relations ini meski merupakan
wujud tanggungjawab sosial organisasi, tetap merupakan kegiatan PR.
Penutup
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan wacana
yang sedang mengemuka di dunia bisnis atau perusahaan. Wacana ini digunakan oleh perusahaan
dalam rangka mengambil peran menghadapi perekonomian menuju pasar bebas. Namun
kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan. Ada juga
yang berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik
nama perusahaan gagal menarik simpati orang. Hal ini terjadi karena CSR
dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik. Sebenarnya
substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan
perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama
antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun
program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.
Ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga
membicarakan PR sebuah organisasi, di mana CSR merupakan bagian dari community
relations. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah
dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah CSR. Dengan menggunakan
tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis, maka program dan kegiatan
CSR juga dilakukan melalui pengumpulan fakta, perumusan masalah, perencanaan
dan pemrograman, aksi dan komunikasi, serta evaluasi untuk mengetahui sikap
publik terhadap organisasi.
Untuk ke depan disarankan agar pengembangan program CSR
mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development).
Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat
miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola
pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi
ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial
budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan
mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Anggoro, Linggar. 2002. Teori dan Profesi Kehumasan.
Serta Aplikasinya di Indonesia. Cetakan Ketiga. Bumi Aksara, Jakarta.
Ardianto, Elvinaro dan Sumirat, Soleh. 2004. Dasar-dasar
Public Relations. Cetakan Ketiga. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Aryani, Situ Nur. 2006. Penerapan CSR yang Lebih
Strategis. Dokumen http://www.bisnis.com/, Sabtu, 01
April 2006.
Greener, Toni. 2002. Public Relations dan Pembentukan
Citranya. Cetakan Ketiga. Bumi Aksara, Jakarta.
Hubeis, Musa. 2001. Publik Relesen sebagai Perangkat
Manajemen dalam Organisasi. Makalah Seminar Nasional Peran Public Relations
dalam Pembangunan Pertanian Efektif dan Berkesinambungan, yang diselenggarakan
oleh PS KMP dan PS MPI, PPS IPB di Hotel Salak, 19 April 2001.
Hutapea, EB. 2000. Public Relations sebagai Fungsi
Manajemen. Majalah WIDYA Agustus 2000, No. 179 Tahun XVII.
Idris, Abdul Rasyid. 2005. Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan dan Implementasi. Dokumen http://www.fajar.co.id/, 22 November 2005.
Idris, Abdul Rasyid. 2005. Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan dan Implementasi. Dokumen http://www.fajar.co.id/, 22 November 2005.
Irianta, Yosal. 2004. Community Relations. Konsep dan
Aplikasinya. Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
Jefkins, Frank. 2003. Public Relations. Edisi Kelima.
Direvisi Oleh Daniel Yadin. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Lead Indonesia. 2005. Kemitraan Korporasi-Stakeholders.
Report Seminar Corporate-Stakeholder Partnership: Toward Productive Relations
Lead Indonesia Bekerjasama dengan Labsosio-Fisip-UI, Jakarta, 14 Juni 2005. Dokumen http://www.lead.or.id/, 27 Oktober 2005.
News
of PERHUMAS. 2004. CSR dan Citra Corporate. Dokumen http://www.perhumas.or.id/, 15 – 16 Juni
2004.
Octavia, Sutjiati. 2003. Corporate Public Relation dalam
Dunia Usaha. Majalah Bank & Manajemen, Mei – Juni 2003.
Petkoski, Djordjija and Twose, Nigel (Ed). 2003. Public Policy for Corporate Social Responsibility. Jointly
sponsored by The World Bank Institute, the Private Sector Development Vice
Presidency of the World Bank, and the International Finance Corporation.
Document of http://info.worldbank.org/
July 7–25, 2003.
Tulisan
ini rangkuman makalah penulis saat saat mengambil mata kuliah Public Relations
(PR) di Program Magister Komunikasi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar