Berikut, adalah percikan
pemikiran Bourdieu, sebagai pengantar memahami realitas sosial. Sebagai tulisan
pengantar, tulisan ini memperkenalkan gagasan dasar pemikiran Bourdieu dalam
memahami bagaimana individu berelasi sehingga membentuk “praktik”. Bagaimana
‘praktik’ tersebut terjadi dan apa saja yang “terlibat” dalam ‘praktik’ itu,
dan bagaimana relasi habitus, arena, kapital, praktik dan kuasa dalam pandangan
Bourdieu.
Pierre Bourdieu, adalah salah
satu teoretisi terkemuka yang pemikirannya digunakan dalam cultural studies.
Pemikiran Bourdieu banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, Hegel,
Marx, Durkheim, Max Weber, Picasso, Franz Fanon, Jean Paul Sartre, Husserl,
Ferdinand de Saussure, Levi Strauss, Wittgenstein, Martin Heidegger, Michel
Foucault, dll. Bourdieu meramu pemikiran beberapa pemikir tersebut menjadi
bentuk pemikiran baru yang menekankan peran aktor atau subjektivitas yakni yang
dikenal dengan metode strukturalisme – konstruktif[1]. Bourdieu dikenal dengan
pengembangan kajian sosiologi kultural dan sosiologi reflektif atau
metasosiologi.
Inti teori sosiologi kultural
Bourdieu adalah “teori tentang praktik manusia” yang memadukan teori yang
berpusat pada agen atau aktor (agent centred) dengan penjelasan objektivisme
yang menekankan dimensi struktur dalam membentuk kehidupan sosial[2].
Dasar pembentukan teorinya tak
lepas dari pengalaman Bourdieu sendiri yang kemudian mempengaruhi bangunan teorinya dalam karya-karyanya, yakni
pengalamannya selama di Aljiers, Aljazair yang melakukan penelitian di masyarakat
Aljiers sambil menjadi asisten dosen, setelah ia lulus dari sekolah filsafat
terkemuka di Paris, Prancis, yakni Lycèe Louis le Griand dan Ècole Normale
Supèrieure pada tahun 1951. Selama di perguruan tinggi kedua ini, Bourdieu
bertemu dan berkenalan dengan Michel Foucault, Jacques Derrida dan Emmanuel Le
Roy Ladurie[3]. Pengalaman pribadi dalam keluarga juga membentuk habitus
Bourdieu dan juga mempengaruhi karyanya. Terlahir dengan nama Pierre Fèlix
Bourdieu (1930 – 2002), di sebuah desa kecil yang bernama Denguin, di wilayah
Béarn, Pyrénées, Perancis pada 1 Agustus 1930.
Ia berasal dari keluarga biasa dan besar di lingkungan kelas menengah ke
bawah, dan kemudian berhasil menembus perguruan tinggi elit dengan lingkungan
bergaya borjuis. Perubahan habitus dan arena yang menyolok ini juga mempengaruhi
karyanya yang kemudian membawanya menjadi seorang sosiolog kultural, etnolog,
antropolog dan filsuf yang diperhitungkan[4].
Teori Bourdieu berorientasi pada
hubungan dialektik antara struktur objektif dan fenomena subjektif dalam
melihat realitas sosial, yang disebut strukturalisme konstruktif, atau
konstruktivis strukturalisme (constructivist structuralism), atau Bourdieu
menyebutnya “strukturalisme genetis”, yaitu pemaduan analisis struktur objektif
dengan asal – usul mental individual,
yang menurut Bourdieu, tidak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur
sosial itu sendiri. Tampak bahwa Bourdieu mengambil sebagian perspektif
strukturalisme dan melihat “struktur objektif sebagai bebas dari kesadaran dan
kemauan agen, yang mampu membimbing dan mengendalikan praktik mereka atau
representasi mereka” [5].
Struktur subjektif Bourdieu tampak pada dinamika aktor, yang menurutnya mampu berimprovisasi secara teratur, meski dihasilkan tanpa sengaja. Ritzer, mengutip Jenkins, menunjukkan kelemahan teori Bourdieu adalah pada ketidakmampuannya mengatasi subjektivitas. Namun Bourdieu menjembatani subjektivisme dan objektivisme sebagai inti karyanya, yakni terletak pada habitus dan lingkungan, dan hubungan dialektika antara keduanya.
Struktur subjektif Bourdieu tampak pada dinamika aktor, yang menurutnya mampu berimprovisasi secara teratur, meski dihasilkan tanpa sengaja. Ritzer, mengutip Jenkins, menunjukkan kelemahan teori Bourdieu adalah pada ketidakmampuannya mengatasi subjektivitas. Namun Bourdieu menjembatani subjektivisme dan objektivisme sebagai inti karyanya, yakni terletak pada habitus dan lingkungan, dan hubungan dialektika antara keduanya.
Sederhananya, Bourdieu memahami
realitas sosial sebagai relasi dialektika antara individu (agen, struktur
subjektif) dengan struktur objektif yakni struktur itu sendiri. relasi
dialektika ini melibatkan unsur-unsur subjektif seperti mental individual,
struktur pengalaman individual, sruktur kognitif, dsb yang berdialektika dengan
struktur objektif. Dialektika ini menghasilkan “praktik”. Dan dalam relasi
dialektika ini, Bourdieu memunculkan konsep-konsep untuk menjelaskan “struktur
subjektif” dan “objektif” tersebut yakni yang disebutnya sebagai “habitus” dan
arena (ranah, field). Habitus mengacu pada “apa yang ada dan dimiliki oleh agen
(individu). Pertemuan habitus dalam arena memunculkan modal (kapital), yang
dapat merupakan kapital sosial, ekonomi, kultural dan simbolik. Habitus, arena,
kapital menghasilkan apa yang disebut Bourdieu sebagai kuasa simbolik. Berikut
penjelasan dan relasi di antara habitus, arena, kapital dan kuasa.
Habitus ada di dalam pikiran
aktor, lingkungan (field, arena) berada di luar pikiran mereka[6]. Dialektika
atau penetrasi timbal balik antara struktur objektif dan subjektif atau antara
struktur dan keagenan, merupakan upaya untuk keluar dari kebuntuan struktur dan
agensi, oleh Bourdieu disebut ‘praktik’[7]. Praktik, menurut Bourdieu terjadi
antara individu atau kelompok sosial, dalam proses internalisasi eksternalitas
dan eksternalisasi internalitas, yang mana praktik ini harus dianalisis sebagai
hasil interaksi habitus dan ranah (arena)[8].
Habitus, adalah struktur kognitif
yang memperantarai individu dan realitas sosial. Individu menggunakan habitus
dalam berurusan dengan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subjektif
yang terbentuk dari pengalaman individu
berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada
dalam ruang sosial. Struktur kognitif memberi kerangka tindakan kepada individu
dalam hidup keseharian bersama orang-orang lain. Habitus merupakan hasil
pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan
masyarakat dalam arti luas. Dalam interaksi dengan orang lain atau pihak luar
ini, terbentuklah ranah (arena), yang merupakan jaringan relasi posisi-posisi
objektif[9]. Habitus juga mencakup
pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang dunia, yang memberikan kontribusi
tersendiri pada realita dunia itu. Oleh karenanya, pengetahuan memiliki
kekuasaan konstitutif atau kemampuan menciptakan bentuk realitas dunia[10].
Richard Shusterman mencatat bahwa habitus meliputi keseluruhan relasi sosial
dan makna:
The habitus
acts through its bodily incorporation
of social relationships and meanings (i.e.
those involving reference
to others) but
without needing to articulate them in terms of explicit rules or reasons[11].(habitus muncul dalam
keseluruhan relasi-relasi sosial dan makna, misalnya dalam keterlibatan
interaksi dengan orang lain, akan tetapi terjadi tanpa artikulasi eksplisit).Hubungan
habitus dengan arena, Shusterman menyatakan bahwa keduanya memiliki jalinan
makna yang saling bertautan. Berikut pernyataannya:
Bourdieu’s theory of the dynamics
of habitus (not a rigidly fixed or mechanical
habit) and of field
(not a stationary
space but a
dynamic field constituted by struggles over changing positions) demonstrates that social structures and identities must be
understood not as static, typological, and hard-edged categories but rather as
dynamic formations of organized diachronic complexity, poised between stability
and change, whose edges arc best construed (in terms of non-linear dynamics) as
fuzzy, shifting fractal basin boundaries between complex attractors with
relatively hard cores (ibid., 18).
(Teori Bourdieu tentang dinamika
habitus dan arena, bukan ruang hampa tetapi sebuah ranah, arena, yang
terkonstitusi oleh perjuangan untuk mendapatkan posisi-posisi,
mendemonstrasikan bahwa struktur sosial dan identitas harus dipahami tidak
secara statis, tipologik, menurut ketentuan kategoristik yang kaku, tetapi
harus dipahami sebagai formasi yang dinamis dari kompleksitas diakronik yang
terorganisasi, berada seimbang diantara stabilitas dan perubahan, dengan
masing-masing sisi yang ditafsirkan sebagai sesuatu yang kabur, menggeser
tepian batas antara kemenarikan yang kompleks dengan ketegaran relatif).
Bourdieu juga menyatakan bahwa
habitus secara erat berhubungan dengan modal (kapital), karena sebagian habitus
tersebut berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal yakni modal ekonomi,
modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Dan pada kenyataannya, ia
menciptakan modal simbolik. Modal dipandang Bourdieu sebagai basis dominasi dan
legitimit. Modal simbolik merupakan modal yang dapat ditukar dan membawa posisi
yang dapat memunculkan kekuasaan, yakni kekuasaan untuk merepresentasikan dunia
sosial yang legitimit atau kekuasaan simbolik[12]. Fauzi Fashri juga mencatat,
mereka yang menguasai keempat modal tersebut dalam jumlah yang besar akan
memperoleh kekuasaan yang besar pula. Dengan demikian, modal harus ada dalam
sebuah ranah (arena) agar ranah memiliki daya-daya yang memberikan arti.
Karakteristik modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan
dan klasifikasi dan ranah (arena) selaku tempat beroperasinya modal[13].
Bourdieu juga meyakini bahwa kekuasaan bersifat tidak sederhana, dan sistemik
atau bukan merupakan perkara personal, sebagaimana ditulis Craig Calhoun.
Kuasa simbolik Bourdieu hadir
dalam arena dari relasi dialektiknya dengan habitus dan modal (kapital),
terutama kapital simbolik. Seseorang yang menguasai kapital dengan habitus yang
memadai akan menguasai arena dan memenangkan pertarungan sosial karena di dalam
arena selalu terjadi pertarungan sosial[14].
Sekian dulu perkenalan dengan
Bourdieu ini, nanti kita lanjutkan dengan diskusi bagaimana habitus membentuk
kapital dalam arena, juga kuasa. Dan bagaimana kuasa simbolik berlangsung dalam
praktik sosial. Selanjutnya kita kembangkan diskusi kita dengan mengelaborasi
praktik sosial, modal simbolik dan kekuasaan simbolik, seperti:
1. Praktik sosial seperti apa sajakah yang dapat didekati dengan teori Bourdieu ini?
2. Bagaimanakah kuasa simbolik bekerja pada suatu arena atau ranah?
3. Benarkah setiap relasi sosial selalu terjadi pertarungan sosial?
4. Bagaimana pertarungan sosial terjadi dan bagaimana peran serta posisi habitus dan kapital dalam arena pertarungan sosial tersebut? Benarkah ini semua adalah “praktik sosial”?
5. Dalam bidang politik, bagaimanakah habitus, kapital dan arena dapat menjelaskan relasi partai politik, pemilih, pemilihan umum? Dan bagaimana menjelaskan relasi pemerintah dan masyarakat?
6. Adakah kekuasaan simbolik yang beroperasi di arena yang melibatkan partai politik, pemerintah dan masyarakat?
Dan masih banyak elaborasi
permasalahan sosial, budaya dan politik yang berjalin berkelindan dalam
kehidupan sosial kita. Akan kita bahas satu per satu.. dan akan kita kembangkan
untuk menganalisis berbagai persoalan sosial dan politik .
Untuk mengelaborasi permasalahan
sosial untuk memperoleh penjelasan yang benar-benar mencerminkan kondisi
masyarakat, dengan sendirinya teori sosial memerlukan metode untuk
mengoperasionalkan ‘pencarian’ dan ‘pencarian kebenaran’ hingga menghasilkan
penjelasan ilmiah. Penggunaan teori Bourdieu sangat baik jika dioperasionalkan
dalam aktivitas ‘pencarian kebenaran’ (baca: penelitian) dengan menggunakan
metode etnografi, seperti yang Bourdieu lakukan di Aljiers, Aljazair hingga ia
merumuskan teori habitus-nya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar