CSR selalu dianggap sebagai bagian dari cara perusahaan
untuk mendapatkan keuntungan. Karena ia tidak lepas dari kegiatan bisnis
perusahaan. Sayangnya, masih banyak CSR dipraktikkan mengikuti prinsip ekonomi
dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Prinsip tersebut dianggap sebagai kebenaran yang tak perlu ada pembuktian,
meskipun dalam realitanya prinsip ini sulit diwujudkan. Apalagi bila kita
menginginkan standard dan kualitas produk setara dengan biaya yang dikeluarkan.
Di Indonesia, model praktik CSR seperti itu masih sering dijumpai. Mengapa itu
semua dilakukan? Karena mudah, murah, dan reputasi perusahaan dianggap cepat
terdongkrak dengan liputan media yang kadang lebih besar sumberdaya yang
digunakan (baca:uang) daripada bantuan yang diberikan perusahaan tersebut.
Dalam perkembangannya, ada juga perusahaan yang mulai
meninggalkan cara konvensional itu. Belajar dari cerita bahwa tuntutan pemangku
kepentingan tidak habis-habisnya meskipun perusahaan sudah melakukan praktik
CSR bahkan sudah mengeluarkan dana dalam jumlah besar. Maka pendekatan terhadap
pemangku kepentingan dianggap sebagai moda selanjutnya. Edward Freeman,
menemukan Teori Pemangku Kepentingan dan mengajukan manajemen pemangku
kepentingan sebagai pendekatan bagaimana seharusnya perusahaan dikelola.
Tujuannya adalah untuk memenuhi bahkan melampaui ekspektasi pemangku
kepentingan. Keuntungan hanyalah hasil sampingan dari kinerja perusahaan
melayani pemangku kepentingannya. Makin besar proporsi pemangku kepentingan
yang puas, makin besar peluang perusahaan untuk mendapatkan keuntungan besar
dalam jangka panjang. Logika ini menghasilkan pendekatan CSR baru yang
menggeser cara perusahaan menjalankan bisnisnya.
Di sini peluang perusahaan menjaga keberlanjutannya cukup
besar. Karena ia tahu, paham, mengerti dan mempraktikkan apa yang dibutuhkan
pemanggku kepentingan terhadap perusahaan. Begitu juga bagaimana perusahaan
merespons pemangku kepentingannya.
Dalam praktik memahami pemangku kepentingan, terdapat
kelompok rentan dan kelompok marjinal. Bisnis sosial adalah cara bagaimana
perusahaan mampu memahami pemangku kepentingannya dan juga menyelesaian masalah
yang dihadapi kelompok rentan itu. Di dalam bisnis sosial bahwa tujuan
perusahaan mencari keuntungan adalah benar, namun itu tidak menjadi
satu-satunya tujuan. Keuntungan hanya sumberdaya yang sebagian atau seluruhnya
diinvestasikan untuk memecahkan masalah sosial dan lingkungan. Yang penting
diingat tidak lantas keuntungan harus dibuat kecil, melainkan semakin besar
keuntungan yang dihasilkan oleh sebuah bisnis sosial, semakin besar pula
manfaat yang akan diterima masyarakat penerima manfaatnya. Ia tidak memandang
industri dan menantang perusahaan untuk menjadi semakin bermanfaat untuk
masyarakat. Bisnis sosial juga dianggap sebagai anak tangga tertinggi CSR.
Bisnis sosial ini mulai dikenal luas ketika Muhammad
Yunus memenangi Nobel bidang perdamaian 2006, dengan gerakan microkredit
grameen untuk orang miskin. Menurutnya, tujuan perusahaan dalam menjalankan
bisnis sosial adalah untuk menyelesaikan beragam masalah yang dihadapi oleh
masyarakat, terutama kelompok masyarakat miskin, rentan, dan marjinal yang
belum mendapatkan keuntungan dari pasar yang kebanyakan bersifat eksklusif.
Keuntungan adalah salah satu saja sumberdaya yang dipergunakan untuk membantu
penyelesaian masalah yang dihadapi oleh kelompok itu. Yunus (2010) juga
menyatakan bisnis sosial itu bukan bisnis rugi dan tidak ada pembagian dividen
di antara para pemilik saham, karena keuntungan diinvestasikan kembali untuk
tujuan sosial dan lingkungan.
Menurut Galera dan Borzaga (2009) terdapat tiga elemen menonjol
dalam bisnis sosial yaitu 1) Kepentingan dan tujuan sosial; 2) Menghilangkan
hambatan distribusi dan 3) Hak kepemilikan dan kontrol perusahaan diberikan
untuk para pemangku kepentingan lain selain investor juga adanya model tata
kelola yang terbuka dan partisipatif.
Bisnis sosial itu bekerja dalam kegiatan operasi
perusahaan setiap harinya. Ia memadukan kesejahteraan dengan cara
menginvestasikan kembali untuk memastikan keberlanjutan berdasarkan nilai
sosial perusahaan (Chell, 2007). Dalam operasionalnya, kegiatan jasa, dan
produksi tetap berlangsung layaknya perusahaan konvensional lainnya. Tetapi ia
berbeda dalam proses pengambilan keputusan yang sifatnya partisipatif –tidak
hanya pemilik dan manajemen perusahaan-, mendorong manfaat sebesar-besarnya
bagi masyarakat dan juga inisiatif yang muncul. Dalam praktiknya perusahsaan
sosial juga tidak membagikan keuntungan untuk individu, ia membangun
kesejahteraan atas dasar kepercayaan komunitas, demokratis, patuh pada tata
kelola organisasi, teruji akuntabilitas, dan transparensinya.
(Sumber:http://csrindonesia.com/index.php/article/10-bisnis-sosial-sebagai-tangga-tertinggi-bentuk-tanggung-jawab-sosial)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar