GUBERNUR LUKAS ENEMBE
OM TUA YANG BERANI LINDUNGI ‘MAMA DAN ANAK-ANAK”
Oleh Yosef Rumaseb
Saya bertemu face to face Gubernur Lukas Enembe kira-kira 4 tahun lalu. Waktu itu Pemda Biak Numfor digemparkan oleh info tentang kemarahan Gubernur Enembe. Beliau mendapat laporan dari (mantan) Bupati Biak bahwa perusahaan penerbangan swasta yang sebelumnya menjadikan Bandara Frans Kaisiepo Biak sebagai basis transit tenaga kerja ke lokasi proyek di Provinsi Papua Barat telah pindahke luar Tanah Papua. Kebijakan ini mengurangi drastic volume penerbangan maupun lalu lintas penumpang di bandara yg dulu tersohor sebagai satu-satunya bandara internasional di Tanah Papua itu.
Mendengar itu, Gubernur Lukas Enembe amat sangat murka. Beliau berkata, “Kalau perusahaan itu hanya mau cari untung saja di Tanah Papua tapi tidak mau memberikan untung bagi orang Papua, setidak-tidaknya mereka transit di sini supaya karyawan mereka bisa kencing dan berak untuk jadi pupuk untuk tanaman yg kasih makan rakyat di sini. Saya akan minta Presiden stop ijin penerbangan mereka ke Tanah Papua. Mereka tidak berguna bagi Tanah Papua”. Ungkapan amarah Sang Gubernur pun viral dari mulut ke mulut dan sampai ke saya dan saya membuat laporan ke atasan. Kebetulan saya adalah karyawan dari perusahaan yang mengontrak perusahaan penerbangan itu.
Lalu, saya memfasilitasi proses untuk mengklarifikasi issue ini. Tiga hari kemudian, kami bertemu di ruang kerja beliau di Kantor Gubernur Papua Dok II Jayapura. Atasan saya menjelaskan bahwa pemindahan basis transit tersebut dilakukan berdasarkan analisa resiko keselamatan penerbangan. Pada waktu itu, memang banyak kecelakaan penerbangan yang mendorong perusahaan melakukan evaluasi. Pemindahan pangkalan ke luar Papua itu mengurangi 30 - 45 menit jam terbang, atau jika bulak balik sama dengan 1 – 1,5 jam terbang. Pilihan ini dibuat demi kondisi crew dan pesawat. (Catatan : pada satu tahun terakhir, pangkalan perusahaan penerbangan ini sudah dikembalikan dari luar Tanah Papua ke Sorong). Selain itu, atasan saya juga menjelaskan berbagai manfaat proyek secara ekonomibagi Provinsi Papua Barat.
Penjelasan ini diterima dengan baik. Gubernur Enembe kemudian dengan sikap sangat tenang, dengan suara lembut, dengan tersenyum, berkata, “Baik Bapa, terima kasih sudah datang dan kasih penjelasan. Surat kepada Presiden ada di meja itu. Nanti saya batal kirim!”
Kemudian hari saya merenung. Kenapa ketika (mantan) Bupati Biak itu tahu rencana pemindahan ini dia tenang-tenang saja? Kenapa malah Gubernur Enembe yang murka sedemikian hebat sampai Biak gempar? Apa perbedaan “sense” antara si mantan Bupati dengan Lukas Enembe? Sampai lewat 4 tahun kemudian saya masih terus memikirkan kejadian itu. Dan akhirnya, menurut saya, jawaban atas kejadian ini bisa kita dapat dalam kajian antropologi tentang Papua.
Baik dalam pengetahuan kita sebagai anak adat atau sebagai orang awam maupun dalam kajian ilmiah pada ahli antropologi (kajian terakhir bisa dibaca di buku “Papua versus Papua”, karya Dr. I Ngurah Suryawan, Labirin, Mei 2017) disebutkan bahwa secara filosofi adat suku-suku di Papua memandang tanah sebagai “mama”. Namun demikian, tak satu pun semua pengetahuan popular dan kajian ahli antropologi itu memberi penjelasan tentang siapa Bapa kita dan siapa Om kita dalam kosmologi adat. Ini menarik.
Karena, kita di Papua menganut system keluarga patrilineal di mana garis keturunan Bapa sangat penting. Marga Bapa-lah yang memiliki dan mewarisi tanah. Selain Bapa, dalam suatu keluarga utuh, kehadiran dan fungsi om sangat penting. Om adalah Bapa punya ipar. Om adalah penyimbang dalam menjaga keutuhan rumah tangga Bapa dan Mama. Om adalah pelindung Mama dan anak-anak di kala Bapa bikin masalah. Kalau mama atau anak-anak dapat hajar dari Bapa, atau kalau kebijakan Bapa mengakibatkan timbulnya suatu situasi yang mengancam keselamatan Mama dan anak-anak maka langkah pertama yang mama dan anak-anak lakukan adalah lari mencari perlindungan kepada Om. Dalam adat Byak, fungsi om lebih dahsyat lagi. Dalam suatu perkelahian, jika keadaan sudah mengancam nyawa anak-anak dari garis Bapa maka Om akan minta mereka mundur cari perlindungan dan Om dan anak-anaknya yang pasang badan untuk melindungi “napirem” mereka itu --- kalau perlu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Karena, anak-anak itulah yang akan meneruskan nama Bapa dan marga Bapa di atas tanah milik mereka.
Pertanyaannya, lantas dalam kosmologi budaya suku-suku di Tanah Papua di mana tanah disebut “Mama”, siapakah Bapa? Dan siapakah Om?
Saya berhipotesa (atau berthesis?) bahwa Bapa dalam hubungan dengan filosofi tanah sebagai “Mama” dalam kosmologi di Papua dapat ditelusuri dari dua pendekatan. Pendekatan adat dan pendekatan pemerintah. Secara adat, kita bisa menelusuri batas-batas tanah yang dimiliki secara komunal maupun personal oleh masing-masing suku, marga atau person. Si Bapa Adat ini adalah sosok intelek yang mampu memberi dalam Bahasa daerah mengenai tanah, benda mati, maupun makluk hidup di wilayahnya. Juga memiliki ide atau kearifan local. Lalu lahirlah konsep penguasa tanah adat dalam berbagai bentuk di masing-masing adat dengan aturan adat masing-masing. Adat yang menyebut penguasa tanah itu ondoafi, petuanan, dsb.
Pendekatan kedua, si Bapak adalah pemerintah. Lalu lahirlah wilayah pemerintahan A – Z dari kampong sampai Negara. Semua di sebut dengan nama pemerintahan setempat. Si Bapak dari jalur pemerintah ini juga, apalagi, jauh lebih pintar. Dia tahu semua kekayaan alam yang dikandung mama. Dengan teknologi terbaru, dia malah tahu dari angkasa sampai berkilo-kilo meter ke dalam tanah, bahkan juga di dalam air (laut).
Bapa Adat ini pastilah berakhlak, sebagaimana terdapat dalam adat masing-masing. Namun jika si Bapa Adat ini muncul melalui kawin paksa maka dalam realitas social kita terjadilah pencaplokan atau klaim tanah adat oleh komunitas A terhadap B atau sebaliknya. Hasilnya adalah konflik social, bisa sampai konflik berdarah antar marga atau suku.
Jika si Bapa adalah pemerintah, maka ada dua kategori pemerintah. Ada pemerintah yang kawin dengan mama sesuai aturan. Perkawinan secara aturan ini tentu menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi anak-anak. Itulah yang dialami bangsa merdeka.
Tapi, dan ini yang bikin repot, adalah jika yang terjadi adalah Bapa kawin paksa. Apalagi sudah kawin paksa baru berkolaburasi dengan pemerkosa (investor). Kolabuarasi itu merusak mama dalam bentuk kerusakan alam, pencaplokan tanah adat, perampokan kekayaan alam bahkan ada yang memmbunuh anak-anak dan terjadilah pelanggaran HAM besar-besaran. Akibatnya, terjadi konflik vertical. Rakyat lawan pemerintah. Itu yang dialami bangsa-bangsa terjajah di koloni-koloni.
Kalau begitu, Om itu siapa? Jika kita sepakati bahwa fungsi om adalah penyeimbang yang melindungi mama dan anak-anak (keponakan) ketika diperlakukan buruk oleh Bapa dan kroni-kroninya, maka kita bisa lebih mudah menemukan actor-aktor di sekitar masyarakat adat yang selama ini memainkan peran “om yang melindungi mama dan keponakan”. Mereka bisa lembaga, bisa person, seperti yang kita temukan dalam aksi advokasi lembaga agama (seperti gereja), advokasi LSM, advokasi peneliti dan pada kasus tertentu seperti pada issue HAM fungsi Om dimainkan pula dengan intervensi Negara lain dalam issue-issue HAM.
Salah satu yang bisa memainkan peran om adalah Kepala Daerah entah Kepala Kampung, Kepala Distrik, Bupati, Gubernur. Posisi mereka akan lebih menguntungkan dalam posisi Om jika mereka adalah Putra Daerah. Mereka bisa bertindak sebagai om baik dari perspektif adat, maupun dari perspektif pemerintah.
Menggunakan perspektif ini, saya ingin menyebut Gubernur Lukas Enembe sebagai Om Tua (Om Tu). Bukan karena Lukas Enembe sudah tua, tapi karena dia adalah Gubernur di Provinsi Tertua di Tanah Papua. Entah kelak Tanah Papua mau dibagi-bagi menjadi berapa provinsi pun Provinsi Papua tetaplah Provinsi Tertua. Itulah sebabnya, saya menyebut Gubernur Enembe dari perspektif ini sebagai Om Tua.
Beliau semasa jabatannya telah menunjukkan fungsi Om yang melindungi “Mama dan anak-anak” secara berani. Ia berani untuk bersikap tidak jika ada kebijakan pemerintah pusat yang menomorduakan orang Papua. Saya mengutip beberapa kebijakan berani Gubernur Enembe dari berbagai sumber sebagai berikut :
Pertama, Om Tua Enembe menolak dengan tegas program transmigrasi ke Papua. Sejak Gubernur Pertama di Papua sampai saat ini tidak ada gubernur yang seberani Lukas Enembe. Ketegasan Om Tua Enembe berangkat dari kecintaannya terhadap “mama dan anak2nya” di Papua. "Pemerintahan Jokowi jangan bikin masalah baru di Papua. Kalau transmigrasi datang, imigran masuk dari berbagai pulau. Orang asli Papua akan tersisih dan menjadi minoritas dalam bertani dan menjadi miskin di tanahnya sendiri".
Kedua, Om Tua memberikan penghargaan sebesar Rp 100 juta kepada setiap ibu Papua yang melahirkan di atas 10 anak. Kebijakan ini berani melawan kebijakan Keluarga Berencana Nasional yang bisa berimbas pada musnahnya etnik asli di Tanah Papua.
Ketiga, berani protes pemerintah pusat yang menganggap dana Otsus 30 triliun yang diberikan sejak tahun 2002 hingga saat ini lebih besar dari hasil pencapaian. Ia berani menegaskan dana dengan sekian rupiah sangat tidak cukup untuk membangun Papua. Bahkan Ia menegaskan kepada pemerintah pusat, Pemerintah Papua siap mengembalikan dana tersebut ke pusat jika Pusat membesar-besarkan dana tersebut. Om Tua Enembe mengatakan dana Otsus Papua sejak 2002 hingga saat ini tercatat senilai Rp30 triliun sehingga rata-rata dana yang disalurkan ke 29 kabupaten sebesar Rp80-90 miliar selama 13 tahun. Itu hanya cukup untuk bikan jalan sepanjang 500 meter.
Keempat, menolak rencana pembangunan smelter yang menurut pemerintah pusat akan dibangun di Gresik. Menurutnya semelter harus dibangun di Papua. Kekayaan alam Papua harus diprioritaskan untuk membangun Papua. Menurutnya, semua kekayaan alam, termasuk tambang diperuntukkan bagi kesejahteraan Papua. Maka itu, Freeport wajib membangun smelter di Papua. "Kalau tak membangun di Papua, silahkan keluar dari Papua"
Kelima, Om Tua Enembe melindungi generasi muda Papua dari pengaruh minuman keras. Perda tersebut sangat bermanfaat karena setidaknya dapat menekan peredaran miras tersebut dari induknya. Bukan dari orang yang mengkonsumsinya.
Keenam, untuk pertama kali di Provinsi Papua, Dana Otsus sebesar 80 Persen dialihkan ke Kabupaten. Di bawah kepemimpinan Lukas Enembe dana otsus sebersar 80 persen dialihkan dengan tujuan untuk mengembangkan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemenuhan infrastruktur dasar. Kita bersyukur bahwa kebijakan beliau ini ditiru oleh Provinsi Papua Barat dengan memberikan 90 % dana Otsus ke Kabupaten.
Pesan moral dari tulisan ini adalah agar para kandidat, calon atau Kepala Daerah definitf (termasuk Ketua DPRD maupun Ketua MRP) khususnya para putra daerah, jangan sekedar bermimpi mengejar kekuasaan sebagai Bapa. Apalagi menjadi perpanjangan tangan Bapa Pemerintah yang berkolaburasi dengan pemerkosa (investor) untuk bikin rusak mama dan anak-anak. Jadilah juga sebagai “Om yang melindungi mama dan anak-anak”. Jadilah seperti Om Tua Lukas Enembe yang sudah menmbuktikan keberanian dia melindungi “mama dan anak-anak”.
Mungkin dia punya kekuarangan juga, tapi dia sudah membuktikan keberaniannnya sebagai Om untuk melindungi "mama dan anak-anak". Semoga contoh ini ditiru oleh om-om lain di Papua dan di Papua Barat baik pada level provinsi, kebupaten, kecamatan dan kampong.
Terima kasih Om Tua Lukas Enembe. Ko top, Tuhan memberkati ko.
OM TUA YANG BERANI LINDUNGI ‘MAMA DAN ANAK-ANAK”
Oleh Yosef Rumaseb
Saya bertemu face to face Gubernur Lukas Enembe kira-kira 4 tahun lalu. Waktu itu Pemda Biak Numfor digemparkan oleh info tentang kemarahan Gubernur Enembe. Beliau mendapat laporan dari (mantan) Bupati Biak bahwa perusahaan penerbangan swasta yang sebelumnya menjadikan Bandara Frans Kaisiepo Biak sebagai basis transit tenaga kerja ke lokasi proyek di Provinsi Papua Barat telah pindahke luar Tanah Papua. Kebijakan ini mengurangi drastic volume penerbangan maupun lalu lintas penumpang di bandara yg dulu tersohor sebagai satu-satunya bandara internasional di Tanah Papua itu.
Mendengar itu, Gubernur Lukas Enembe amat sangat murka. Beliau berkata, “Kalau perusahaan itu hanya mau cari untung saja di Tanah Papua tapi tidak mau memberikan untung bagi orang Papua, setidak-tidaknya mereka transit di sini supaya karyawan mereka bisa kencing dan berak untuk jadi pupuk untuk tanaman yg kasih makan rakyat di sini. Saya akan minta Presiden stop ijin penerbangan mereka ke Tanah Papua. Mereka tidak berguna bagi Tanah Papua”. Ungkapan amarah Sang Gubernur pun viral dari mulut ke mulut dan sampai ke saya dan saya membuat laporan ke atasan. Kebetulan saya adalah karyawan dari perusahaan yang mengontrak perusahaan penerbangan itu.
Lalu, saya memfasilitasi proses untuk mengklarifikasi issue ini. Tiga hari kemudian, kami bertemu di ruang kerja beliau di Kantor Gubernur Papua Dok II Jayapura. Atasan saya menjelaskan bahwa pemindahan basis transit tersebut dilakukan berdasarkan analisa resiko keselamatan penerbangan. Pada waktu itu, memang banyak kecelakaan penerbangan yang mendorong perusahaan melakukan evaluasi. Pemindahan pangkalan ke luar Papua itu mengurangi 30 - 45 menit jam terbang, atau jika bulak balik sama dengan 1 – 1,5 jam terbang. Pilihan ini dibuat demi kondisi crew dan pesawat. (Catatan : pada satu tahun terakhir, pangkalan perusahaan penerbangan ini sudah dikembalikan dari luar Tanah Papua ke Sorong). Selain itu, atasan saya juga menjelaskan berbagai manfaat proyek secara ekonomibagi Provinsi Papua Barat.
Penjelasan ini diterima dengan baik. Gubernur Enembe kemudian dengan sikap sangat tenang, dengan suara lembut, dengan tersenyum, berkata, “Baik Bapa, terima kasih sudah datang dan kasih penjelasan. Surat kepada Presiden ada di meja itu. Nanti saya batal kirim!”
Kemudian hari saya merenung. Kenapa ketika (mantan) Bupati Biak itu tahu rencana pemindahan ini dia tenang-tenang saja? Kenapa malah Gubernur Enembe yang murka sedemikian hebat sampai Biak gempar? Apa perbedaan “sense” antara si mantan Bupati dengan Lukas Enembe? Sampai lewat 4 tahun kemudian saya masih terus memikirkan kejadian itu. Dan akhirnya, menurut saya, jawaban atas kejadian ini bisa kita dapat dalam kajian antropologi tentang Papua.
Baik dalam pengetahuan kita sebagai anak adat atau sebagai orang awam maupun dalam kajian ilmiah pada ahli antropologi (kajian terakhir bisa dibaca di buku “Papua versus Papua”, karya Dr. I Ngurah Suryawan, Labirin, Mei 2017) disebutkan bahwa secara filosofi adat suku-suku di Papua memandang tanah sebagai “mama”. Namun demikian, tak satu pun semua pengetahuan popular dan kajian ahli antropologi itu memberi penjelasan tentang siapa Bapa kita dan siapa Om kita dalam kosmologi adat. Ini menarik.
Karena, kita di Papua menganut system keluarga patrilineal di mana garis keturunan Bapa sangat penting. Marga Bapa-lah yang memiliki dan mewarisi tanah. Selain Bapa, dalam suatu keluarga utuh, kehadiran dan fungsi om sangat penting. Om adalah Bapa punya ipar. Om adalah penyimbang dalam menjaga keutuhan rumah tangga Bapa dan Mama. Om adalah pelindung Mama dan anak-anak di kala Bapa bikin masalah. Kalau mama atau anak-anak dapat hajar dari Bapa, atau kalau kebijakan Bapa mengakibatkan timbulnya suatu situasi yang mengancam keselamatan Mama dan anak-anak maka langkah pertama yang mama dan anak-anak lakukan adalah lari mencari perlindungan kepada Om. Dalam adat Byak, fungsi om lebih dahsyat lagi. Dalam suatu perkelahian, jika keadaan sudah mengancam nyawa anak-anak dari garis Bapa maka Om akan minta mereka mundur cari perlindungan dan Om dan anak-anaknya yang pasang badan untuk melindungi “napirem” mereka itu --- kalau perlu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Karena, anak-anak itulah yang akan meneruskan nama Bapa dan marga Bapa di atas tanah milik mereka.
Pertanyaannya, lantas dalam kosmologi budaya suku-suku di Tanah Papua di mana tanah disebut “Mama”, siapakah Bapa? Dan siapakah Om?
Saya berhipotesa (atau berthesis?) bahwa Bapa dalam hubungan dengan filosofi tanah sebagai “Mama” dalam kosmologi di Papua dapat ditelusuri dari dua pendekatan. Pendekatan adat dan pendekatan pemerintah. Secara adat, kita bisa menelusuri batas-batas tanah yang dimiliki secara komunal maupun personal oleh masing-masing suku, marga atau person. Si Bapa Adat ini adalah sosok intelek yang mampu memberi dalam Bahasa daerah mengenai tanah, benda mati, maupun makluk hidup di wilayahnya. Juga memiliki ide atau kearifan local. Lalu lahirlah konsep penguasa tanah adat dalam berbagai bentuk di masing-masing adat dengan aturan adat masing-masing. Adat yang menyebut penguasa tanah itu ondoafi, petuanan, dsb.
Pendekatan kedua, si Bapak adalah pemerintah. Lalu lahirlah wilayah pemerintahan A – Z dari kampong sampai Negara. Semua di sebut dengan nama pemerintahan setempat. Si Bapak dari jalur pemerintah ini juga, apalagi, jauh lebih pintar. Dia tahu semua kekayaan alam yang dikandung mama. Dengan teknologi terbaru, dia malah tahu dari angkasa sampai berkilo-kilo meter ke dalam tanah, bahkan juga di dalam air (laut).
Bapa Adat ini pastilah berakhlak, sebagaimana terdapat dalam adat masing-masing. Namun jika si Bapa Adat ini muncul melalui kawin paksa maka dalam realitas social kita terjadilah pencaplokan atau klaim tanah adat oleh komunitas A terhadap B atau sebaliknya. Hasilnya adalah konflik social, bisa sampai konflik berdarah antar marga atau suku.
Jika si Bapa adalah pemerintah, maka ada dua kategori pemerintah. Ada pemerintah yang kawin dengan mama sesuai aturan. Perkawinan secara aturan ini tentu menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi anak-anak. Itulah yang dialami bangsa merdeka.
Tapi, dan ini yang bikin repot, adalah jika yang terjadi adalah Bapa kawin paksa. Apalagi sudah kawin paksa baru berkolaburasi dengan pemerkosa (investor). Kolabuarasi itu merusak mama dalam bentuk kerusakan alam, pencaplokan tanah adat, perampokan kekayaan alam bahkan ada yang memmbunuh anak-anak dan terjadilah pelanggaran HAM besar-besaran. Akibatnya, terjadi konflik vertical. Rakyat lawan pemerintah. Itu yang dialami bangsa-bangsa terjajah di koloni-koloni.
Kalau begitu, Om itu siapa? Jika kita sepakati bahwa fungsi om adalah penyeimbang yang melindungi mama dan anak-anak (keponakan) ketika diperlakukan buruk oleh Bapa dan kroni-kroninya, maka kita bisa lebih mudah menemukan actor-aktor di sekitar masyarakat adat yang selama ini memainkan peran “om yang melindungi mama dan keponakan”. Mereka bisa lembaga, bisa person, seperti yang kita temukan dalam aksi advokasi lembaga agama (seperti gereja), advokasi LSM, advokasi peneliti dan pada kasus tertentu seperti pada issue HAM fungsi Om dimainkan pula dengan intervensi Negara lain dalam issue-issue HAM.
Salah satu yang bisa memainkan peran om adalah Kepala Daerah entah Kepala Kampung, Kepala Distrik, Bupati, Gubernur. Posisi mereka akan lebih menguntungkan dalam posisi Om jika mereka adalah Putra Daerah. Mereka bisa bertindak sebagai om baik dari perspektif adat, maupun dari perspektif pemerintah.
Menggunakan perspektif ini, saya ingin menyebut Gubernur Lukas Enembe sebagai Om Tua (Om Tu). Bukan karena Lukas Enembe sudah tua, tapi karena dia adalah Gubernur di Provinsi Tertua di Tanah Papua. Entah kelak Tanah Papua mau dibagi-bagi menjadi berapa provinsi pun Provinsi Papua tetaplah Provinsi Tertua. Itulah sebabnya, saya menyebut Gubernur Enembe dari perspektif ini sebagai Om Tua.
Beliau semasa jabatannya telah menunjukkan fungsi Om yang melindungi “Mama dan anak-anak” secara berani. Ia berani untuk bersikap tidak jika ada kebijakan pemerintah pusat yang menomorduakan orang Papua. Saya mengutip beberapa kebijakan berani Gubernur Enembe dari berbagai sumber sebagai berikut :
Pertama, Om Tua Enembe menolak dengan tegas program transmigrasi ke Papua. Sejak Gubernur Pertama di Papua sampai saat ini tidak ada gubernur yang seberani Lukas Enembe. Ketegasan Om Tua Enembe berangkat dari kecintaannya terhadap “mama dan anak2nya” di Papua. "Pemerintahan Jokowi jangan bikin masalah baru di Papua. Kalau transmigrasi datang, imigran masuk dari berbagai pulau. Orang asli Papua akan tersisih dan menjadi minoritas dalam bertani dan menjadi miskin di tanahnya sendiri".
Kedua, Om Tua memberikan penghargaan sebesar Rp 100 juta kepada setiap ibu Papua yang melahirkan di atas 10 anak. Kebijakan ini berani melawan kebijakan Keluarga Berencana Nasional yang bisa berimbas pada musnahnya etnik asli di Tanah Papua.
Ketiga, berani protes pemerintah pusat yang menganggap dana Otsus 30 triliun yang diberikan sejak tahun 2002 hingga saat ini lebih besar dari hasil pencapaian. Ia berani menegaskan dana dengan sekian rupiah sangat tidak cukup untuk membangun Papua. Bahkan Ia menegaskan kepada pemerintah pusat, Pemerintah Papua siap mengembalikan dana tersebut ke pusat jika Pusat membesar-besarkan dana tersebut. Om Tua Enembe mengatakan dana Otsus Papua sejak 2002 hingga saat ini tercatat senilai Rp30 triliun sehingga rata-rata dana yang disalurkan ke 29 kabupaten sebesar Rp80-90 miliar selama 13 tahun. Itu hanya cukup untuk bikan jalan sepanjang 500 meter.
Keempat, menolak rencana pembangunan smelter yang menurut pemerintah pusat akan dibangun di Gresik. Menurutnya semelter harus dibangun di Papua. Kekayaan alam Papua harus diprioritaskan untuk membangun Papua. Menurutnya, semua kekayaan alam, termasuk tambang diperuntukkan bagi kesejahteraan Papua. Maka itu, Freeport wajib membangun smelter di Papua. "Kalau tak membangun di Papua, silahkan keluar dari Papua"
Kelima, Om Tua Enembe melindungi generasi muda Papua dari pengaruh minuman keras. Perda tersebut sangat bermanfaat karena setidaknya dapat menekan peredaran miras tersebut dari induknya. Bukan dari orang yang mengkonsumsinya.
Keenam, untuk pertama kali di Provinsi Papua, Dana Otsus sebesar 80 Persen dialihkan ke Kabupaten. Di bawah kepemimpinan Lukas Enembe dana otsus sebersar 80 persen dialihkan dengan tujuan untuk mengembangkan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemenuhan infrastruktur dasar. Kita bersyukur bahwa kebijakan beliau ini ditiru oleh Provinsi Papua Barat dengan memberikan 90 % dana Otsus ke Kabupaten.
Pesan moral dari tulisan ini adalah agar para kandidat, calon atau Kepala Daerah definitf (termasuk Ketua DPRD maupun Ketua MRP) khususnya para putra daerah, jangan sekedar bermimpi mengejar kekuasaan sebagai Bapa. Apalagi menjadi perpanjangan tangan Bapa Pemerintah yang berkolaburasi dengan pemerkosa (investor) untuk bikin rusak mama dan anak-anak. Jadilah juga sebagai “Om yang melindungi mama dan anak-anak”. Jadilah seperti Om Tua Lukas Enembe yang sudah menmbuktikan keberanian dia melindungi “mama dan anak-anak”.
Mungkin dia punya kekuarangan juga, tapi dia sudah membuktikan keberaniannnya sebagai Om untuk melindungi "mama dan anak-anak". Semoga contoh ini ditiru oleh om-om lain di Papua dan di Papua Barat baik pada level provinsi, kebupaten, kecamatan dan kampong.
Terima kasih Om Tua Lukas Enembe. Ko top, Tuhan memberkati ko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar