Sagu adalah
salah satu sumber pangan bagi sebagian masyarakat Indonesia di Propinsi Papua,
Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Riau Kepulauan, dan Nangro
Aceh Darussalam. Walaupun akhir-akhir ini sagu sebagai makanan pokok bagi
generasi muda, sudah mulai dialihkan sebagian sumber karbohidratnya ke beras,
yang dianggap lebih mudah didapat dan praktis dalam pengolahan sebagai makanan
pokok.
Namun demikian, sebagai sumber karbohidrat potensinya sangat besar. Peluang
pengembangan sagu sebagai substitusi bahan makanan lainnya, seperti mie, roti,
biskuit, kue, makanan penyedap, dan berbagai jenis minuman sirup berkadar
fruktosa tinggi, serta bahan baku bukan makanan, seperti bahan perekat,
farmasi, biodegradable plastic, serta sumber bahan baku etanol sangat terbuka
dan menjanjikan.
Potensi sagu di Indonesia dari sisi luasnya sangat besar. Sekitar 60% areal
sagu dunia ada di Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa areal sagu
Indonesia menurut Prof. Flach mencapai 1,2 juta ha dengan produksi berkisar
8,4-13,6 juta ton per tahun. Tetapi data luas areal sagu ini, perlu diteliti
lagi ketepatannya melalui metode dan teknik yang lebih akurat dan mutakhir,
karena berbagai sumber informasi lainnya, khususnya provinsi Papua dan Papua
Barat yang mencakup 90% sagu di Indonesia, sangat besar perbedaannya yaitu dari
600.000-5 juta ha. Data sagu perlu diperbaiki, apalagi data yang dipakai selama
ini, selain sudah puluhan tahun, dan ternyata sebagian besar merupakan data
perkiraan.
Penelitian sagu telah dilakukan oleh berbagai institusi dari berbagai aspek
seperti bahan tanaman, budidaya, pengolahan dan sistem agribisnis. Namun
demikian, sebagian besar hasil penelitian ini belum diadopsi petani dan
stakeholder lainnya, karena berbagai keterba-tasan dan masalah ekonomi, sosial, budaya, dan
khususnya di Papua serta Papua Barat terkait dengan hak ulayat. Untuk itu
selain status teknologi sagu perlu dilihat dan dipilih yang bisa ditransfer
kepada petani/pengguna. Selain itu, perlu dipertimbangkan membangun suatu
kelembagaan sagu di setiap daerah yang beragam budayanya, yaitu suatu model
pengembangan sagu yang melibatkan para pemilik sagu sebagai pekerja dan
pengolah sagu, bersama-sama dengan pihak swasta, dan pemerintah sebagai
fasilitator dan bapak angkat dalam kerangka Inti-Plasma.
Pengembangan budidaya sagu perlu
dikembangkan ke daerah penghasil sagu lainnya. Kemudian krisis energi bahan
fosil sudah menjadi masalah di dunia termasuk Indonesia. Tanaman sagu merupakan
salah satu/peluang tanaman yang potensial untuk diolah menjadi bioetanol. Untuk
itu pengolahan bioetanol sagu perlu dipertimbangkan ke depan, jika layak secara
ekonomi, sosial, budaya, dan dapat menjaga pelestarian lingkungan, maka
penggunaan bioetanol dari sagu adalah salah satu alternatif untuk mengurangi
produksi Co2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar