Postingan Populer

Senin, 11 September 2017

DAMPINGI, LALU MANDIRI

Nama programnya Program Pendampingan Masyarakat Sorong Selatan. Yayasan Indonesia Lebih Baik (YILB) dan Yayasan Pengembangan Pendidikan dan Telematika Indonesia (YPPTI) merancang program ini ketika ditantang PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJ) mencari pendekatan baru untuk investasi sosial di area konsesi kebun kelapa sawit ANJ di Sorong Selatan, Papua Barat.
Program Pendampingan butuh waktu lama. Bentuknya berupa pengiriman para pendamping ke desa-desa di areal konsesi untuk tinggal bersama masyarakat dan mengenalkan cara hidup yang bersih dan selaras dengan lingkungan, hingga mandiri secara ekonomi. “Pendamping adalah penggerak yang mendampingi masyarakat selama lima hingga enam tahun dalam satu fase.  Para penggerak berperan sebagai fasilitator perubahan,” kata Ibrena Mery Sela Purba, koordinator para penggerak dari YLBI.
Ada tiga fase dalam program ini: Pertama, fase membangun kepercayaan diri penduduk. Di fase ini penggerak mendatangi pelbagai elemen masyarakat: tokoh agama, pemuda, anak-anak, tokoh adat, dan tokoh perempuan. Kedua, penggerak memfasilitasi aktivitas bersama elemen masyarakat tersebut. Dan ketiga, membangun interaksi antar elemen untuk membangkitkan potensi mereka.
Para penggerak hidup bersama dengan penduduk untuk menyerap pengetahuan tentang lingkungan, budaya, adab, dan perilaku. Program ini baru berjalan satu tahun. Mereka kini ditekankan untuk memancing masyarakat mengenali potensi yang mereka miliki, lalu membangkitkannya dalam bentuk program yang dibantuwujudkan oleh para penggerak. “Karena tujuannya untuk kemandirian, semua program yang diidentifikasi penggerak dibicarakan kembali bersama masyarakat,” kata Ibrena

Rabu, 12 Juli 2017

Wilayah Adat Di Papua

Secara adminstratif pemerintahan Indonesia Papua terbagi menjadi 2 Provinsi, tapi tahukah anda jika Tanah Papua memiliki 7 Wilayah Adat dengan keunikannya tersendiri.
Tanah Papua juga dibagi menurut batas-batas suku yang ada dan terdapat tujuh wilayah adat antara lain:
1.    Wilayah adat I (Mamta) terdapat sebanyak 86 suku, berada di bagian utara Jayapura sampai dengan Mamberamo.
2.    Wilayah adat II, Sairei meliputi 31 suku di Teluk Cenderawasih, Biak, Yapen Waopen sampai di Yeretuar.
3.    Wilayah adat III, Bomberai membawahi sekitar 52 suku berada di Kepala Burung berbatasan di Selatan Fakfak dan Bintuni termasuk Manokwari dan Sorong.
4.    Wilayah adat IV, Domberai, terdapat sebanyak 19 suku termasuk wilayah Fakfak, Teluk Arguni(kaimana) dan berbatasan di sebelah utara Teluk Bintuni wiilayah adat Bomberai.
5.    Wilayah adat V, Anim Ha membawahi sekitar 29 suku berada Selatan Papua.
6.    Wialayah Adat VI, Lapago sebanyak 19 suku berbatasan dengan selatan Anim Ha dan Barat wilayah Me Pago.
7.    Wilayah adat VII, Me Pago terdapat sekitar 13 suku.

Selain wilayah adat, Tanah Papua secara keseluruhan dari Sorong sampai samarai (PNG) memiliki kultur budaya yang hampir sama dengan batas-batas suku yang adat. Apa saya wilayah budaya adat tersebut? Silahkan disimak.
Pembagian berdasarkan budaya dari beberapa penelitian antropolog Barat seperti GJ Held(1079), tentang Cultuur Provincies(provinsi kebudayaan), AA Gerbrands(1979) tentang Art Style Areas(Wilayah Gaya Seni) serta informasi tertulis berdasarkan pengalaman empiris dan institusi kultural.
Dalam buku Aspek dan Prospek Seni Budaya Papua(1983) terbitan Biro Kesejahteraan Provinsi Irian Jaya, editor Don AL Flassy cenderung mengelompokkan budaya Papua atas sembilan budaya antara lain,
Pertama, Wilayah Budaya Saireri. Yang masuk dalam wilayah budaya Saireri adalah
(a) Budaya Biak Numfor,Supiori.
(b) Budaya Yapen Waropen,
(c) Budaya Kurudu-Kayupuri dan
(d) Budaya Wandamen –Wamesa.
Kedua, wilayah budaya Kepala Burung-BomberaiDaerah yang masuk dalam wilayah budaya Kepala Burung Bomberai adalah,
(a) Budaya arfak-Manikion,
(b) Budaya Raja Ampat,
(c) Budaya Toror,
(d) Budaya Ogit Inansawatar, budaya Onim-Fatagar, dan Budaya Etna Arguni.
Ketiga, Wilayah Budaya Pantai Selatan. Daerah yang masuk wilayah Pantai Selatan meliputi
(a) Budaya Asmat-Mimika,
(b) Budaya Muyu-Mandobo, dan
(c) Malin – Kimam.
Keempat, Wilayah Budaya Orokolo. Daerah yang termasuk dalam wilayah Budaya Orokolo adalah
(a) Budaya Tores-Kaiwa,
(b) Budaya Oaiya-Wawombe,
(c) Budaya Inawara-Puran, dan
(d) Budaya Motu.
Kelima, wilayah budaya Huwon. Daerah yang termasuk wilayah budaya Huwon adalah,
(a) Budaya Markham –Morobe,
(b) Budaya Orokaiva, dan
(C) Budaya Massin Trobriand.
Keenam, wilayah budaya Kepulauan Melanesia. Daerah yang termasuk dalam wilayah Kepulauan Melanesia adalah,
(a) Budaya Kepulauan Bismarck,
(b)Budaya Solomon-New Hebrides/Vanuatu,
(c) Budaya Fiji, dan
(d) Budaya New Caledonia.
Ketujuh, wilayah budaya Sepik. Daerah yang termasuk wilayah budaya Sepik adalah
(a) Budaya Sepik,
(b) Budaya Keram, dan
(c) Budaya Ramu.
Kedelapan, budaya Dafonsoro. Daerah yang termasuk wilayah ini adalah
(a) Senetage-Vanimo,
(b) Buday Sentani-Tanah Merah,
(c) Budaya Arso –Nimboran, dan
(d) Budaya Sarmi Mamberamo.
Kesembilan, budaya Pegunungan Tengah(Central Higland). Daerah wilayah ini adalah
(a) Budaya Paniai-Baliem,
(b) Budaya Goroka –Chimbu, dan
(c) Budaya Anga.
Lima budaya Papua terdapat di Papua Barat dan Papua adalah lima wilayah budaya antara lain, budaya Saireri, budaya kepala burung Bomberai, wilayah Pantai Selatan, wilayah budaya Dafonsoro dan budaya Pegunungan Tengah.


OM TUA YANG BERANI LINDUNGI ‘MAMA DAN ANAK-ANAK”

GUBERNUR LUKAS ENEMBE
OM TUA YANG BERANI LINDUNGI  ‘MAMA DAN ANAK-ANAK”

Oleh Yosef Rumaseb

Image result for Lukas enembeSaya bertemu face to face Gubernur Lukas Enembe kira-kira 4 tahun lalu. Waktu itu Pemda Biak Numfor digemparkan oleh info tentang kemarahan Gubernur Enembe. Beliau mendapat laporan dari  (mantan) Bupati Biak  bahwa perusahaan penerbangan swasta yang sebelumnya menjadikan Bandara Frans Kaisiepo Biak sebagai basis transit tenaga kerja ke lokasi proyek di Provinsi Papua Barat telah pindahke luar Tanah Papua. Kebijakan ini mengurangi drastic volume penerbangan maupun lalu lintas penumpang di bandara yg dulu tersohor sebagai satu-satunya bandara internasional di Tanah Papua itu.

Mendengar itu, Gubernur Lukas Enembe amat sangat murka. Beliau berkata, “Kalau perusahaan itu hanya mau cari untung saja di Tanah Papua tapi tidak mau memberikan untung bagi orang Papua, setidak-tidaknya mereka transit di sini supaya karyawan mereka bisa kencing dan berak untuk jadi pupuk untuk tanaman yg kasih makan rakyat di sini. Saya akan minta Presiden stop  ijin penerbangan mereka ke Tanah Papua. Mereka tidak berguna bagi Tanah Papua”. Ungkapan amarah Sang  Gubernur pun viral dari mulut ke mulut dan sampai ke saya dan saya membuat laporan ke atasan. Kebetulan saya adalah karyawan dari perusahaan yang mengontrak perusahaan penerbangan itu.

Lalu, saya memfasilitasi proses untuk  mengklarifikasi issue ini.  Tiga hari kemudian, kami bertemu di ruang kerja beliau di Kantor Gubernur Papua Dok II Jayapura.  Atasan saya menjelaskan bahwa pemindahan basis transit tersebut dilakukan berdasarkan analisa resiko keselamatan penerbangan. Pada waktu itu, memang banyak kecelakaan penerbangan yang mendorong perusahaan melakukan evaluasi.  Pemindahan pangkalan ke luar Papua itu mengurangi 30 - 45 menit jam terbang, atau jika bulak balik sama dengan 1 – 1,5 jam terbang. Pilihan ini dibuat demi kondisi crew dan pesawat. (Catatan : pada satu tahun terakhir, pangkalan perusahaan penerbangan ini sudah dikembalikan dari luar Tanah Papua ke Sorong). Selain itu, atasan saya juga menjelaskan berbagai manfaat proyek secara ekonomibagi Provinsi Papua Barat.

Penjelasan ini diterima dengan baik.  Gubernur Enembe kemudian dengan sikap sangat tenang, dengan suara lembut, dengan tersenyum, berkata, “Baik Bapa, terima kasih sudah datang dan kasih penjelasan. Surat kepada Presiden   ada di meja itu. Nanti saya batal kirim!”

Kemudian hari saya merenung. Kenapa ketika (mantan) Bupati Biak itu tahu rencana pemindahan ini dia tenang-tenang saja? Kenapa malah Gubernur Enembe yang murka sedemikian hebat sampai Biak gempar? Apa perbedaan “sense” antara si mantan Bupati dengan Lukas Enembe? Sampai lewat 4 tahun kemudian saya masih terus memikirkan kejadian itu. Dan akhirnya, menurut saya, jawaban atas kejadian ini bisa kita dapat dalam kajian antropologi tentang Papua.

Baik dalam pengetahuan kita sebagai anak adat atau sebagai orang awam  maupun dalam kajian ilmiah pada ahli antropologi (kajian terakhir bisa dibaca di buku “Papua versus Papua”, karya Dr. I Ngurah Suryawan, Labirin, Mei 2017)  disebutkan bahwa secara filosofi adat suku-suku di Papua memandang tanah sebagai “mama”. Namun demikian, tak satu pun semua pengetahuan popular dan kajian ahli antropologi itu memberi penjelasan tentang siapa Bapa kita dan siapa Om kita dalam kosmologi adat.  Ini menarik.

Karena, kita di Papua menganut system keluarga patrilineal di mana garis keturunan Bapa sangat penting. Marga Bapa-lah yang memiliki dan mewarisi tanah. Selain Bapa, dalam suatu keluarga utuh, kehadiran dan fungsi om sangat penting. Om adalah Bapa punya ipar. Om adalah penyimbang dalam menjaga keutuhan rumah tangga Bapa dan Mama. Om adalah pelindung Mama dan anak-anak di kala Bapa bikin masalah. Kalau mama atau anak-anak dapat hajar dari Bapa, atau kalau kebijakan Bapa mengakibatkan timbulnya suatu situasi yang mengancam keselamatan Mama dan anak-anak maka langkah pertama yang mama dan anak-anak lakukan adalah lari mencari perlindungan kepada Om. Dalam adat Byak, fungsi om lebih dahsyat lagi. Dalam suatu perkelahian, jika keadaan sudah mengancam nyawa anak-anak dari garis Bapa maka Om akan minta  mereka mundur cari perlindungan dan Om dan anak-anaknya  yang pasang badan untuk melindungi “napirem” mereka itu --- kalau perlu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Karena, anak-anak itulah yang akan meneruskan nama Bapa dan marga Bapa di atas tanah milik mereka.

Pertanyaannya, lantas dalam kosmologi budaya suku-suku di Tanah Papua di mana tanah disebut “Mama”, siapakah Bapa? Dan siapakah Om?

Saya berhipotesa (atau berthesis?)  bahwa Bapa dalam hubungan dengan filosofi tanah sebagai “Mama” dalam kosmologi di Papua dapat ditelusuri dari dua pendekatan.  Pendekatan adat dan pendekatan pemerintah. Secara adat, kita bisa menelusuri batas-batas tanah yang dimiliki secara komunal maupun personal oleh masing-masing suku, marga atau person. Si Bapa Adat ini adalah sosok intelek yang mampu memberi dalam Bahasa daerah mengenai tanah, benda mati, maupun makluk hidup di wilayahnya. Juga memiliki ide atau kearifan local. Lalu lahirlah konsep penguasa tanah adat dalam berbagai bentuk di masing-masing adat dengan aturan adat masing-masing. Adat yang menyebut penguasa tanah itu ondoafi, petuanan, dsb.

Pendekatan kedua, si Bapak adalah pemerintah. Lalu lahirlah wilayah pemerintahan A – Z dari kampong  sampai Negara. Semua di sebut dengan nama pemerintahan setempat. Si Bapak dari jalur pemerintah ini juga, apalagi, jauh lebih pintar. Dia tahu semua kekayaan alam yang dikandung mama. Dengan teknologi terbaru, dia malah tahu dari angkasa sampai berkilo-kilo meter ke dalam tanah, bahkan juga di dalam air (laut).

Bapa Adat ini pastilah berakhlak, sebagaimana terdapat dalam adat masing-masing. Namun jika si Bapa Adat ini muncul melalui kawin paksa maka dalam realitas social kita terjadilah pencaplokan atau klaim tanah adat oleh komunitas A terhadap B atau  sebaliknya. Hasilnya adalah konflik social, bisa sampai konflik berdarah antar marga atau suku.

Jika si Bapa adalah pemerintah, maka ada dua kategori pemerintah.  Ada pemerintah yang kawin dengan mama sesuai aturan. Perkawinan secara aturan ini tentu menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi anak-anak. Itulah yang dialami bangsa merdeka.

Tapi, dan ini yang bikin repot, adalah jika yang terjadi adalah Bapa kawin paksa. Apalagi sudah  kawin paksa baru berkolaburasi dengan pemerkosa (investor). Kolabuarasi itu merusak mama dalam bentuk kerusakan alam, pencaplokan tanah adat, perampokan kekayaan alam bahkan ada yang memmbunuh anak-anak  dan terjadilah pelanggaran HAM besar-besaran. Akibatnya, terjadi konflik vertical. Rakyat lawan pemerintah. Itu yang dialami bangsa-bangsa terjajah di koloni-koloni.

Kalau begitu, Om itu siapa? Jika kita sepakati bahwa fungsi om adalah penyeimbang yang melindungi mama dan anak-anak (keponakan) ketika diperlakukan buruk oleh Bapa dan kroni-kroninya, maka kita bisa lebih mudah menemukan actor-aktor di sekitar masyarakat adat yang selama ini memainkan peran “om yang melindungi mama dan keponakan”. Mereka bisa lembaga, bisa person, seperti yang kita temukan dalam aksi advokasi lembaga agama (seperti gereja), advokasi LSM, advokasi peneliti dan pada kasus tertentu seperti pada issue HAM fungsi Om dimainkan pula dengan intervensi Negara lain dalam issue-issue HAM.

Salah satu yang  bisa memainkan peran om adalah Kepala Daerah entah Kepala Kampung, Kepala Distrik, Bupati, Gubernur. Posisi mereka akan lebih menguntungkan dalam posisi Om jika mereka adalah Putra Daerah.  Mereka bisa bertindak sebagai om baik dari perspektif adat, maupun dari perspektif pemerintah.

Menggunakan perspektif ini, saya ingin menyebut Gubernur Lukas Enembe  sebagai Om Tua (Om Tu). Bukan karena Lukas Enembe sudah tua, tapi karena dia adalah Gubernur di Provinsi Tertua di Tanah Papua. Entah kelak Tanah Papua mau dibagi-bagi menjadi berapa provinsi pun Provinsi Papua tetaplah Provinsi Tertua. Itulah sebabnya, saya menyebut Gubernur Enembe dari perspektif ini sebagai Om Tua.

Beliau semasa jabatannya telah menunjukkan fungsi Om yang melindungi “Mama dan anak-anak” secara berani. Ia  berani untuk bersikap tidak jika ada kebijakan pemerintah pusat yang menomorduakan orang Papua. Saya mengutip beberapa kebijakan berani Gubernur Enembe dari berbagai sumber sebagai berikut :

Pertama, Om Tua Enembe menolak dengan tegas program transmigrasi ke Papua. Sejak Gubernur Pertama di Papua sampai saat ini tidak  ada gubernur yang seberani Lukas Enembe. Ketegasan Om Tua Enembe berangkat dari kecintaannya terhadap “mama dan anak2nya”  di Papua. "Pemerintahan Jokowi jangan bikin masalah baru di Papua. Kalau transmigrasi datang, imigran masuk dari berbagai pulau. Orang asli Papua akan tersisih dan menjadi minoritas dalam bertani dan menjadi miskin di tanahnya sendiri".

Kedua, Om Tua memberikan penghargaan sebesar Rp 100 juta kepada setiap ibu Papua yang melahirkan di atas 10 anak. Kebijakan ini berani melawan kebijakan Keluarga Berencana Nasional yang bisa berimbas pada musnahnya etnik asli di Tanah Papua.

Ketiga, berani protes pemerintah pusat yang menganggap dana Otsus 30 triliun yang diberikan sejak tahun 2002 hingga saat ini lebih besar dari hasil pencapaian.  Ia berani menegaskan dana dengan sekian rupiah sangat tidak cukup untuk membangun Papua. Bahkan Ia menegaskan kepada pemerintah pusat, Pemerintah Papua siap mengembalikan dana tersebut ke pusat jika Pusat membesar-besarkan dana tersebut. Om Tua Enembe mengatakan dana Otsus Papua sejak 2002 hingga saat ini tercatat senilai Rp30 triliun sehingga rata-rata dana yang disalurkan ke 29 kabupaten sebesar Rp80-90 miliar selama 13 tahun. Itu hanya cukup untuk bikan jalan sepanjang 500 meter.

Keempat, menolak rencana pembangunan smelter yang menurut pemerintah pusat akan dibangun di Gresik. Menurutnya semelter harus dibangun di Papua. Kekayaan alam Papua harus diprioritaskan untuk membangun Papua. Menurutnya, semua kekayaan alam, termasuk tambang diperuntukkan bagi kesejahteraan Papua. Maka itu, Freeport wajib membangun smelter di Papua. "Kalau tak membangun di Papua, silahkan keluar dari Papua"

Kelima, Om Tua Enembe melindungi generasi muda Papua dari pengaruh minuman keras. Perda tersebut sangat bermanfaat karena setidaknya dapat menekan peredaran miras tersebut dari induknya. Bukan dari orang yang mengkonsumsinya.

Keenam, untuk pertama kali di Provinsi Papua,  Dana Otsus sebesar 80 Persen dialihkan ke Kabupaten.  Di bawah kepemimpinan Lukas Enembe dana otsus sebersar 80 persen dialihkan dengan tujuan untuk mengembangkan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemenuhan infrastruktur dasar. Kita bersyukur bahwa kebijakan beliau ini ditiru oleh Provinsi Papua Barat dengan memberikan 90 % dana Otsus ke Kabupaten.

Pesan moral dari tulisan ini adalah agar para kandidat, calon atau Kepala Daerah definitf (termasuk Ketua DPRD maupun Ketua MRP) khususnya para putra daerah, jangan sekedar bermimpi mengejar kekuasaan sebagai Bapa. Apalagi menjadi perpanjangan tangan Bapa Pemerintah yang berkolaburasi dengan pemerkosa (investor) untuk bikin rusak mama dan anak-anak. Jadilah juga sebagai “Om yang melindungi mama dan anak-anak”. Jadilah seperti Om Tua Lukas Enembe yang sudah menmbuktikan keberanian dia melindungi “mama dan anak-anak”.

Mungkin dia punya kekuarangan juga, tapi dia sudah membuktikan keberaniannnya sebagai Om untuk melindungi "mama dan anak-anak". Semoga contoh ini ditiru oleh om-om lain di Papua dan  di Papua Barat baik pada level provinsi, kebupaten, kecamatan dan kampong.

Terima kasih Om Tua Lukas Enembe. Ko top, Tuhan memberkati ko.

Kamis, 08 Juni 2017

PAPUA - DANAU DI KETINGGIAN 4000 mdpl

Danau Larson

Danau yang lokasinya paling tinggi di Indonesia, ada di Papua. Inilah deretan danau di ketinggian 4.000 mdpl yang jarang dilihat manusia.Danau-danau tersebut terletak pada jalur pendakian ke Puncak Carstensz (4.884 mdpl) di Pegunungan Tengah, Papua. lokasinya saling berderetan yang juga menjadi tempat favorit pendaki untuk berkemah sebelum summit attack.
Dalam catatan detikTravel, jika mengambil rute dari Desa Ugimba dan Gua Maximus maka akan melewati dua danau yang tak bernama di jalur pendakian New Zealand Pass. Danau yang sangat cantik dengan airnya yang memiliki 3 warna yakni krem, biru dan hijau.

Lokasi danaunya sudah berada di ketinggian 4.000-an mdpl. Lanjut lagi ke atas, terliihat Danau Larson di sebelah kiri. Danau ini lebih luas ukurannya dari danau yang tak bernama sebelumnya. Namun jika menuju ke sana harus trekking lebih lama lagi.

Danau Larson punya perairan yang biru. Sungguh cantik pemandangannya dengan ‘dikepung’ perbukitan batu cadas. Tak sedikit yang bilang, kalau pemandangan Danau Larson seperti bukan di Indonesia saja!Kemudian danau terakhir lainnya adalah 10 danau di Basecamp Danau-danau. Sesuai namanya, banyak danau yang berderet di sana dnegan berbagai ukuran. Bascemp Danau-danau pun menjadi tempat kemping terakhir di kaki Puncak Carstensz.Yang paling tinggi di Basecamp Danau-danau berada di ketinggian 4.330 mdpl. Danau yang permukaannya sangat tenang.


Jika melihatnya dari helikopter, tentu saja sangat cantik di pandang! Air di Basecamp Danau-danau pun menjadi air minum untuk para pendaki. Jangan heran jika di pagi hari permukaan air danaunya akan membeku, karena suhunya dapat menyentuh angka minus 5 derajat Celcius.Baik danau-danau yang sudah disebutkan tadi, belum ada data pasti mengenai kedalamannya. Yang pasti panoramanya sangat menakjubkan, entah bagaimana kata-kata apalagi yang bisa melukiskannya.Selamat menjelajahi Papua karena masih banyak yang belum pernah orang tahu di sana. Tapi sayang, akses dan fasilitas serta perangkat-perangkat pariwisatanya belum igarap serius oleh pemerintah.

Rabu, 17 Mei 2017

3 cara penentuan kepala suku di papua


 Kepala Suku Papua memegang peranan yang penting. Oleh karena itu dia selalu dihormati dan mendapatkan tempat yang layak.  Ia memegang peran penting dalam mengambil keputusan atas beragam persoalan.

Tanah Papua memiliki ratusan Suku. Masing-masing memiliki bahasa, adat istiadat, cara bertahan hidup, teritorial sendiri dan kepala sukunya masing-masing. Semua suku hidup independen, tanpa saling mengangu satu sama lain.

Jika terjadi salah paham, kepala sukulah yang akan berusaha mencari solusi. Kepala suku akan duduk manawegai (dialog) untuk menemukan kata mufakat.

Tetapi , akhir-akhir ini, terdapat banyak kepala suku. Terutama menjelang even-even politik, pemilu dan pemilukada. Dengan mudahnya seseorang diberikan kepala suku. Bahkan pada sosok yang tak memiliki hubungan dara papua sedikitpun.

Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan pada generasi muda. Sebenarnya, bagaimana proses dan mekanisme penentuan sesorang menjadi kepala suku? Saya, adalah salah satunya. Mungkin Anda Juga. Benar?

Beberapa waktu lalu, di Asrama Intan Jaya Jogja, saya mendapatkan Jawabanya. Dalam sebuah obrolan santai dengan beragam tema, saya ajukan pertanyaan tersebut. Nah, raknguman obrolan tersebut, ditamba sedikit riset, berikut ini diuraikan 3 cara penentuan kepala suku di tanah Papua.


Penentuan Kepala Suku

Ternyata kepala suku di Papua ditentukan melalui tiga cara. Masing-masing suku, barang kali memiliki caranya sendiri. Tetapi secarah umum dapat dirangkum sebagai berikut.

1. Diwariskan

Model kepala suku yang pertama ialah kepah suku ditentukan berdasarkan garis keturunun. Sama persis seperti penobatan raja-raja yang mengikuti garis keturanan. Jika seseorang menjadi kepala suku, maka salah satu anaknya akan mengantikannya jika suatu kelak.

Biasanya anak laki-laki yang akan dipilih sebagai kepala suku. Hal ini sesuai dengan sistem patrialki, mengikuti garis keturanan bapa yang dianut oleh mayoritas masyarakat Papua.

Salah satu contohnya ialah yang terjadi pada suku sentani (Phuyakha) di Kabupaten Jayapura.  Dalam penentuan Ondoafi atau Ondofolo, yudith N. A Karetji, dalam tesisinya menyebutkan penentuan kepala adat ini dengan sistem diwariskan.

2. Dipilih

Penetapan kepalah seuku model kedua ialah dengan cara dipilih. Bentuk penetapak kepala suku seperti dengan mengikuti asas semokrasi. Musyawara dan mufakat.

Biasanya akan di adakan suatu pertemua. Bentuknya macam-macam, bisa mubes, kongres atau pun kongres. Ada Kriteria yang harus dimiliki seseorang untuk dicalonkan sebagai kepalah suku.

Model Kedua, dengan cara dipilih sering dilakukan pada era demokrasi sekarang ini. Contohnya baru-baru ini, masyarakat adat suku Yeresiam di Nabire mengadakan mubes untuk menetapkan kepala suku. Hasilnya, Daniel Yarawoby dipercaya menajdi Kepala Suku Yerisiam.

Sebagai Informasi, Suku Yerisiam adalah masyarakat adat yang mendiami pesisir pantai Kabupaten Nabire.  Suku ini terdiri dari empat sub suku yakni sub suku Waoha, Sub suku Koroba, Sub suku Sakwari dan sub suku Akaba.
  
3. Diberilan/ditetapkan

Mekanisme penentuan kepala suku model ketika ialah penetapan. Tanpa melalui pemilihan atau pun dengan alasan keturunan, seseorang yang diangap layak dapat ditetapkan menjadi kepala suku.

Biasanya, masyarakat dalam suatu komotias suku, akan menilai sesorang berdasarkan tindakan, cara berbicara, juga kecakapannya dalam menyelesaikan masalah. Tidak hanya itu, masyarakat pun, pada umumnya akan tau, bahwa seseorang yang diangap layak menjadi kepala suku akan tau banyak hal tentang hukum adat.

Tetapi yang lebih penting, orang seseorang yang ditetapkan sebagai kepala suku ialah ia yang berasal dari suku itu sendiri. Misalanya, suku mee akan memilih seorang pria mee sebagai kepala suku.

Penutup

Tanah Papua memilikih ribuan suku. papua.go.id menyebutkan terdapat 1068 suku terdapat di papua. Tentu saja setiap suku memiliki kosa katanya sendiri-sendiri dalam menentukan kepala suku. Tetapi intinya seorang yang ditetapkan sebagai kepala suku mampu memimpin masyarakat adatnya untuk mewujutkan kepemiminan bersama.

Seseorang ditetapkan menjadi kepala suku dengan tiga cara, yakni diwariskan, dipilih dan diberikan/ditetapkan. Ia dipilih karena kewibaan, pemahaman terhadap nilai dan norma adat serta, serta kemampuan menyelesaikan beragam konflik dalam masyarakat adat.


Selasa, 14 Maret 2017

Cerita Singkat Suku Aifat

Gambar : Kampung Foug dan sungai Kamundan


Tentang Suku Aifat: Salah Satu Suku di Kabupaten Maybrat, Papua Barat

Disadur dari buku yang ditulis Jan Boelaars dengan judul “Manusia Irian, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan”, PT. Gramedia, Jakarta
Orang-orang yang berasal dari suku Aifat bermukim di bagian tengah, sebelah kiri dan kanan sungai Kamundan dan sekeliling danau-danau Ayamaru. Suku Aifat adalah salah satu suku di kabupaten Maybrat disamping suku-suku lainnya seperti suku Karon, Mare dan Ayamaru. Mereka menggunakan bahasa Maybrat sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Kekerabatan diantara orang-orang Aifat terbangun dari jalinan komunikasi di tanah-tanah kebun yang saling berdekatan. Biasanya kekerabatan diantara mereka terdiri dari 5 – 20 orang yang tinggal bersama dalam satu rumah.
Sistem Perputaran Barang

Relasi kekeluargaan diantara orang-orang Aifat juga terbangun dari sistem pembayaran ‘ikut makan dan sistem barter’. Sistem pembayaran ini sudah ada sebelum masyarakat mengenal alat transaksi lainnya, yaitu uang. Diantara mereka saling tukar menukar barang-barang kebutuhan sehari-hari, khususnya pangan. Sistem ini berjalan baik pada waktu itu karena didukung oleh beragamnya mata pencaharian orang-orang Aifat seperti usaha berladang, meramu hasil-hasil hutan, berburu dan menangkap ikan. Di beberapa kalangan ada pula yang menanam sagu, pisang dan kelapa.

Seiring berjalannya waktu, kegiatan perdagangan diantara masyarakat pada waktu itu semakin meluas, termasuk jejaring komunikasi antara bangsa lain di daerah pantai. Sampai pada akhirnya, kondisi ini memunculkan kegiatan tukar menukar barang berharga. Barang-barang tersebut berupa tiga belas jenis kain dari pulau-pulau di sebelah barat Irian Jaya (pulau Seram, Buru, Kokas, Bintuni dan Soasopor). Kemudian kain-kain tersebut dikenal dengan nama ‘kain Timor’. Tukar menukar kain sebagai bagian dari kebudayaan Aifat ditujukan untuk kehidupan yang lebih intensif dengan saling mengajukan tuntutan yang lebih tinggi. Dengan demikian diantara orang-orang Aifat muncul kekerabatan yang baik dan terpelihara dalam tata pergaulan. Selain digunakan untuk tukar menukar, kain timor juga diperuntukkan sebagai mas kawin dalam upacara-upacara pernikahan. Pada umumnya, para perempuan yang memiliki dan menyimpan kain timor. Sementara para pria yang melakukan perdagangan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari isteri mereka.
Barang berharga lainnya yang juga dijadikan sebakai alat tukar menukar diantaranya gelang-gelang dari kulit siput, gigi taring buaya dan babi, kalung-kalun dan ikat pinggang yang dihiasi manik-manik, serta pisau-pisau yang berhias burung cenderawasih. Terdapat pula barang-barang berharga yang dianggap sebagai benda pusaka yang tidak boleh dipindah tangankan ke kelompok tertentu. Apabila seorang anggota kelompok meninggal dunia dan masih mempunyai hutang, maka pihak lawan untuk sementara dapat menuntut harta pusaka itu sebagai jaminan denda atau ganti rugi.
Sistem Kepercayaan dan Pandangan Hidup
Dalam hal keturunan, orang Aifat percaya bahwa bayi di dalam rahim ibu terjadi karena darah ibu dan sperma ayah. Oleh karena kepercayaan tersebut, maka selama masa kehamilan seorang ibu harus lebih keras agar si bayi kuat. Dalam kelahirannyapun tidak sembarangan. Sebelum adanya tenaga medis, orang Aifat mempercayakan proses kelahiran ibu pada seorang perempuan yang memiliki hubungan kekuatan gaib dan namanya sudah dikenal masyarakat. Jika dalam proses kelahiran megalami masalah, maka calon ibu harus menyebutkan nama pria yang harus bertanggungjawab. Dan dari mereka akan dituntut suatu denda. Jika bayinya sangat menyulitkan, maka akan dicari orang-orang yang sudah meninggal yang dipercaya dalam rupa manusia, ular atau roh halus.
Orang Aifat berpandangan bahwa manusia memiliki suatu ‘bayangan’ yang menjadi sumber tenaga baginya. Tetapi tenaga itu dapat dirusakkan dan dirampas oleh seseorang yang sudah meninggal (kapes) namun belum dibebaskan. Bisa jadi disebabkan oleh karena transaksi kain yang belum dibereskan oleh para ahli waris. Kapes berarti tenaga dingin yang kuat. Orang yang belum bebas dalam kematiannya akan menyuruh kapes fane (=babi roh) untuk memasuki seorang wanita hingga kerasukan roh jahat yang akan menyebarluaskan kematian dan kehancuran.
Berdasar filosofi kehidupan orang Aifat, kekuatan asal terdiri dari dua unsur yang saling berlawanan dan saling melengkapi. Unsur dingin yaitu ‘cha’ yang melambangkan aspek pria, untuk bertindak dan untuk kematian. Dan unsur panas yaitu ‘an’ melambangkan aspek wanita, untuk lambanya jalan proses kehidupan dan untuk bertanggungjawab atas kehidupan.  ‘Keseimbangan’ kedua unsur inilah yang menggerakkan alam semesta.
Kearifan orang Aifat nampak dari usahanya yang terus menerus sekalipun imbalan yang diharapkan tidak begitu pasti datangnya. Perbuatan ini pertama-tama bukan demi keuntungan materiil, melainkan demi semakin kokohnya hubungan manusiawi. Karena peristiwa-peristiwa kosmis dinyatakan dengan gambaran kerjasama diantara seorang ibu dan seorang anak laki-laki/suami.
 Sumber : https://maybrat.wordpress.com/tentang-maybrat/budaya/ 

Entri yang Diunggulkan

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua

Doc T anah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antro...