Postingan Populer

Senin, 07 November 2016

Mengenal Fenomenologi



Apa yang ada dalam benak kita (bahasa facebook-nya: what’s on your mind ) ketika melihat gambar di samping ini?
Adakah yang (spontan) mengatakan “itu porno”? “kok gitu ya”, “aaah.. tidak komentar tapi pikirannya ngeres”? Mengapa kita berpikiran atau berkomentar demikian ketika melihat gambar ini? Gambar ini anggap saja sebuah realitas sosial. Ketika kita langsung berkomentar atau berpikir demikian, pastilah karena didahului oleh sebuah “referensi” atau konstruk atau praduga tentang sebuah realitas. Ekspresi-ekspresi dalam tanda kutip di atas adalah cerminan konstruk pikiran kita (yang dimiliki pikiran kita) dalam melihat realitas. Ini mempengaruhi analisis sosial kita dalam melihat dan memahami realitas. Jadinya, kurang “objektif” dalam melihat realitas. Karena itu tadi, terpengaruh konstruk pikiran kita bahwa gambar itu adalah “porno”, “ngeres” dsb. Padahal belum  tentu demikian dalam realitas yang sebenarnya. Gambar seperti ini dalam realitas sosial di desa di Bali ketika foto itu dibuat, ya tidak ada apa-apa, tidak porno dsb seperti pikiran kita tadi. Jika kita menyebut porno atau ngeres ya berarti pikiran kita (konstruk) yang memang mungkin ngeres dan “piktor”.. hehe…. . Jika kita terpengaruh konstruk “yang kita persiapkan” sebelum melihat realitas, sesungguhnya realitas yang dimaksud adalah “rekaan kita” sendiri, bukan realitas itu sendiri. Apakah tidak sebaiknya kita membiarkan realitas itu menampak dengan sendirinya tanpa konstruk kita? Supaya realitas itu memberitahu kita tentang dirinya.
Inilah pemikiran dasar fenomenologi. Yaitu melihat atau memahami realitas sosial tanpa praduga, tanpa konstruk, agar realitas sosial itu menampak secara alami, dalam kenyataan yang sebenarnya. Kembali pada gambar. Apakah itu porno? Ngeres? Sebutan porno, ngeres adalah bukan realitas, tetapi konstruk. Itu bukan realitas yang sebenarnya. Padahal di realitas sosial desa tersebut hal itu bukan apa-apa. Sebutan-sebutan yang muncul tadi itu adalah sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dalam melihat realitas. Lantas, bagaimana agar kita bisa melihat realitas apa adanya tanpa konstruk? Dalam hal ini, Edmund Husserl mengajari kita untuk “menahan”, membiarkan realitas itu lewat dulu tanpa ada “kesimpulan” apa-apa dari kita supaya realitas itu menampak secara ‘genuine’ dan bisa ditangkap oleh pengamat atau analis sosial secara sebenarnya, realitas yang sebenarnya. Ini oleh Husserl disebut “epoche”.

Tulisan singkat ini mengantarkan pada pemahaman dasar fenomenologi, yakni suatu pendekatan untuk memahami fenomena atau realitas sosial secara natural dan “genuine”, apa adanya, tanpa prasangka, prakonsepsi ataupun konstruk terhadap fenomena tersebut, sehingga memunculkan kesadaran tentang sikap yang harus diambil secara tepat. Ia bicara tentang bentuk relasi fenomena dengan dunia-kehidupannya yakni bentuk cara-berada (way of being).
Kata kunci: fenomenologi, memahami fenomena tanpa konstruk, cara-berada fenomena.

Fenomenologi, sebagaimana dikenalkan oleh Edmund Husserl, merupakan gerakan pemikiran filsafat (cara berpikir) untuk memahami fenomena (penampakan)[1], yang kemudian, dari gerakan filsafat, fenomenologi dapat dimaknai sebagai sebuah teori dan juga metode. Hal ini dapat dirunut dari pernyataan Husserl, bahwa hal yang paling penting adalah  mengembangkan suatu metode yang akurat sehingga mampu mendorong para filsuf dan ilmuwan untuk mencapai “sesuatu itu sendiri” (things themselves)[2]. Dan, “sesuatu itu sendiri” itu tak lain adalah dasar-dasar pengertian tentang “fenomena”, yang dimulai dengan pemahaman terhadap “dunia kehidupan yang secara langsung kita alami” atau yang oleh Husserl disebut “lebenswelt”. Pemahaman terhadap lebenswelt ini diperoleh dengan metode “reduksi” dan memahami karakter dasar kesadaran yaitu “intensionalitas” dan “intersubjektivitas”[3]. Sebelum melanjutkan jabaran tentang fenomenologi Husserlian dengan karakter “trinitas”-nya (filsafat, ilmu, metode), perlu dideskripsikan tentang “fenomena”. Selanjutnya, bahasan fenomenologi dalam tulisan ini lebih mengemukakan fenomenologi sebagai teori dan metode.
Fenomena, berasal dari kata dalam bahasa Yunani, phainomenon (phainomai, menampakkan diri), sehingga fenomenologi adalah ilmu tentang apa yang menampakkan diri ke pengalaman subjek[4]. Fenomena, berarti segala sesuatu yang menyingkapkan-diri atau sesuatu yang memberikan-dirinya dalam ketersingkapannya yang khusus[5]. Maka, fenomenologi, adalah metode untuk menangkap fenomena, atau metode untuk melihat segala sesuatu yang memberikan-dirinya (self-given) menurut cara keterberiannya masing-masing yang khas dan singular/ perspectival (its manner of givenness).  Kuncinya, terletak pada: cara-bagaimana sesuatu itu memberikan-dirinya/ menyingkapkan-dirinya; atau dengan kata lain: cara-berada dari sesuatu [6]. Lantas, bagaimana “sesuatu” itu dapat memberikan-dirinya menurut cara keterberiannya masing-masing, atau secara “apa adanya”, sehingga “sesuatu” itu “mewujud” atau “meng-ada” (being) ? Supaya “sesuatu” (fenomena) itu dapat   memberikan-dirinya apa adanya tanpa ada prasangka, pra-konsepsi yang mencemari “wujud keasliannya”, maka fenomenologi Husserlian memberikan cara yakni menangguhkan atau “menempatkan di dalam kurung” segala konstruksi pengetahuan yang melekat dalam cara berpikir kita dan selalu kita andaikan tentang sesuatu itu, untuk kemudian dari titik tanpa pengandaian (presuppositionless) itu kita dapat melihat sesuatu itu sebagai sesuatu itu sendiri, bukan konstruksi pengetahuan kita tentang sesuatu itu. Metode ini oleh Husserl disebut “epoche”[7]. Di sini, fenomenologi hendak memprovokasi kesadaran kita dengan memalingkan pengamatan dari dunia-keseharian yang artifisial, kembali kepada dunia-kehidupan yang mendasar, fundamental dan transendental[8].
Prinsip fenomenologi Husserl adalah pada kemampuan manusia untuk memaknai hidupnya dengan bersikap tepat di hadapan realitas[9]. Dan, realitas itu bersifat transenden, artinya melampaui daya jangkau persepsi dan pemahaman manusia, atau bersifat tidak terbatas. Sifat transenden realitas ini membuat dunia-kehidupan (lebenswelt) selalu memberikan kemungkinan pemaknaan yang tidak terbatas[10]. Inter-relasi sosial dalam fenomenologi dimaknai sebagai perjumpaan antar subjektivitas yang masing-masing aktor membawa subjektivitasnya masing-masing atau kesadarannya masing-masing, dalam intensional yang sama. Bentuk cara-berada (meng-ada) atau relasi intensional di antara subjek yang sama sekaligus berbeda, relasi timbal balik yang melaluinya tidak lagi terdapat perbedaan antara subjek-objek, yang oleh Husserl dinamakan “intersubjektivitas”. Relasi intersubjektivitas ini merupakan dasar pemahaman terhadap dunia. Ia mengkonstitusikan pemahaman kita dalam horizon pra-refleksivitas yang tidak terbatas[11]. Intersubjektivitas yang terjadi dalam temporalitas tertentu ini memicu kesadaran dan melampaui kesadaran diri sendiri secara intensif yang tidak memiliki cukup akses sehingga memunculkan “kesadaran lain”, dan orang lain (The Others) dan “subjektivitas yang asing” yang kemudian mewujud menjadi “sumber dari segala jenis realitas transenden lainnya”. Hal ini mentransformasi seluruh kategori pemahaman dan pengalaman kita akan realitas. Intersubjektivitas ini melahirkan penegasan diri, yang oleh Husserl disebut “ego-transendental”, yang merupakan momen refleksi diri personal. Inilah rasionalitas kesadaran. Ia sebenarnya tidak benar-benar rasional objektif, tetapi mengandaikan berbagai hal yang tidak disadari[12]. Kekuatan kesadaran manusia terletak pada daya kapasitas / daya aktif-agresif yang dimilikinya[13].
Kesadaran inilah yang menjadi proyek besar fenomenologi. Kesadaran muncul dari relasi intensional yang memberi makna pada “lebenswelt” (life-world) tempat manusia hidup dengan segala pengalaman hidup dan perasaannya, merupakan momen-afeksi atau kepedulian yang memperlihatkan keterlibatan atau cara-berada (meng-ada) kita yang mendasar dengan realitas atau yang dalam bahasa fenomenologi disebut sebagai “ada-di-dalam-dunia” (being-in-the-world). Momen-afeksi atau kepedulian atau kesadaran ini adalah penghayatan hidup (vivacity), yakni menghayati bahwa sesuatu itu dipahami sebagai sesuatu itu sendiri; atau membiarkan peristiwa itu bercerita kepada kita apa adanya dan memberikan kesadaran kepada kita tentangnya hingga mencapai “ego-transendental” dan bahkan “kesadaran yang lain”. Inilah sebabnya  analisis fenomenologi selalu mengambil posisi atau “perspektif orang pertama” (first person perspective)[14], karena seluruh pengalaman dan pemahaman akan realitas dimungkinkan dari diri sendiri dan refleksi diri.
Momen-afeksi dan penegasan diri yang muncul dalam “first person perspective” ini bagi fenomenologi menjadi awal dari seluruh aktivitas budaya dan kebudayaan. Dengan menegaskan-diri manusia menjadi dirinya sendiri, dan dengan menjadi dirinya sendiri manusia “merawat jiwanya”, merawat dunianya, sesamanya (otentisitas)[15]. Rumusan “merawat jiwa” ini mendapat tempat tersendiri dalam kajian fenomenologi Patocka, seorang penganut fenomenologi Husserlian, yang menganggap problem “penyingkapan-diri”  atau “pemberian-diri” sebagai sesuatu yang bermakna (showing in itself). Bagi Patocka, penegasan-diri, penyingkapan-diri selalu memuat dimensinya yang mendua/ ganda (double meanings), yang mana kemenduaan atau kegandaan cara-berada manusia ini karena digerakkan oleh suatu gerak di dalam dirinya. Gerak yang menggerakkan itu (auto-kineton) tidak lain adalah jiwa (soul). Bagi Patocka kekhasan jiwa telah menetapkan dasar bagi seluruh peradaban manusia berikutnya[16]. Gerak mendua jiwa ini dalam pembacaan Patocka berasal dari sifat alamiah jiwa itu sendiri, dan dalam jawaban untuk bertanggungjawab atas jiwanya, atas sesamanya dan atas dunianya, dan dalam jawaban itulah terletak inti kebebasan manusia[17]. Politik (polis), dalam pembacaan Patocka, adalah sebuah wilayah yang di dalamnya jiwa manusia memberikan-diri melalui berbagai caranya yang beragam (self-given in its varieties of manner of givenness).

Minggu, 06 November 2016

Pemikiran Pierre Bourdieu Dalam Memahami Realitas Sosial




Berikut, adalah percikan pemikiran Bourdieu, sebagai pengantar memahami realitas sosial. Sebagai tulisan pengantar, tulisan ini memperkenalkan gagasan dasar pemikiran Bourdieu dalam memahami bagaimana individu berelasi sehingga membentuk “praktik”. Bagaimana ‘praktik’ tersebut terjadi dan apa saja yang “terlibat” dalam ‘praktik’ itu, dan bagaimana relasi habitus, arena, kapital, praktik dan kuasa dalam pandangan Bourdieu. 

Pierre Bourdieu, adalah salah satu teoretisi terkemuka yang pemikirannya digunakan dalam cultural studies. Pemikiran Bourdieu banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, Hegel, Marx, Durkheim, Max Weber, Picasso, Franz Fanon, Jean Paul Sartre, Husserl, Ferdinand de Saussure, Levi Strauss, Wittgenstein, Martin Heidegger, Michel Foucault, dll. Bourdieu meramu pemikiran beberapa pemikir tersebut menjadi bentuk pemikiran baru yang menekankan peran aktor atau subjektivitas yakni yang dikenal dengan metode strukturalisme – konstruktif[1]. Bourdieu dikenal dengan pengembangan kajian sosiologi kultural dan sosiologi reflektif atau metasosiologi.
Inti teori sosiologi kultural Bourdieu adalah “teori tentang praktik manusia” yang memadukan teori yang berpusat pada agen atau aktor (agent centred) dengan penjelasan objektivisme yang menekankan dimensi struktur dalam  membentuk kehidupan sosial[2].
Dasar pembentukan teorinya tak lepas dari pengalaman Bourdieu sendiri yang kemudian mempengaruhi bangunan  teorinya dalam karya-karyanya, yakni pengalamannya selama di Aljiers, Aljazair yang melakukan penelitian di masyarakat Aljiers sambil menjadi asisten dosen, setelah ia lulus dari sekolah filsafat terkemuka di Paris, Prancis, yakni Lycèe Louis le Griand dan Ècole Normale Supèrieure pada tahun 1951. Selama di perguruan tinggi kedua ini, Bourdieu bertemu dan berkenalan dengan Michel Foucault, Jacques Derrida dan Emmanuel Le Roy Ladurie[3]. Pengalaman pribadi dalam keluarga juga membentuk habitus Bourdieu dan juga mempengaruhi karyanya. Terlahir dengan nama Pierre Fèlix Bourdieu (1930 – 2002), di sebuah desa kecil yang bernama Denguin, di wilayah Béarn, Pyrénées, Perancis pada 1 Agustus 1930.  Ia berasal dari keluarga biasa dan besar di lingkungan kelas menengah ke bawah, dan kemudian berhasil menembus perguruan tinggi elit dengan lingkungan bergaya borjuis. Perubahan habitus dan arena yang menyolok ini juga mempengaruhi karyanya yang kemudian membawanya menjadi seorang sosiolog kultural, etnolog, antropolog dan filsuf yang diperhitungkan[4].
Teori Bourdieu berorientasi pada hubungan dialektik antara struktur objektif dan fenomena subjektif dalam melihat realitas sosial, yang disebut strukturalisme konstruktif, atau konstruktivis strukturalisme (constructivist structuralism), atau Bourdieu menyebutnya “strukturalisme genetis”, yaitu pemaduan analisis struktur objektif dengan asal – usul  mental individual, yang menurut Bourdieu, tidak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri. Tampak bahwa Bourdieu mengambil sebagian perspektif strukturalisme dan melihat “struktur objektif sebagai bebas dari kesadaran dan kemauan agen, yang mampu membimbing dan mengendalikan praktik mereka atau representasi mereka” [5].

Struktur subjektif Bourdieu tampak pada dinamika aktor, yang menurutnya mampu berimprovisasi secara teratur, meski dihasilkan tanpa sengaja. Ritzer, mengutip Jenkins, menunjukkan kelemahan teori Bourdieu adalah pada ketidakmampuannya mengatasi subjektivitas. Namun Bourdieu menjembatani subjektivisme dan objektivisme sebagai inti karyanya, yakni terletak pada habitus dan lingkungan, dan hubungan dialektika antara keduanya.
Sederhananya, Bourdieu memahami realitas sosial sebagai relasi dialektika antara individu (agen, struktur subjektif) dengan struktur objektif yakni struktur itu sendiri. relasi dialektika ini melibatkan unsur-unsur subjektif seperti mental individual, struktur pengalaman individual, sruktur kognitif, dsb yang berdialektika dengan struktur objektif. Dialektika ini menghasilkan “praktik”. Dan dalam relasi dialektika ini, Bourdieu memunculkan konsep-konsep untuk menjelaskan “struktur subjektif” dan “objektif” tersebut yakni yang disebutnya sebagai “habitus” dan arena (ranah, field). Habitus mengacu pada “apa yang ada dan dimiliki oleh agen (individu). Pertemuan habitus dalam arena memunculkan modal (kapital), yang dapat merupakan kapital sosial, ekonomi, kultural dan simbolik. Habitus, arena, kapital menghasilkan apa yang disebut Bourdieu sebagai kuasa simbolik. Berikut penjelasan dan relasi di antara habitus, arena, kapital dan kuasa.
Habitus ada di dalam pikiran aktor, lingkungan (field, arena) berada di luar pikiran mereka[6]. Dialektika atau penetrasi timbal balik antara struktur objektif dan subjektif atau antara struktur dan keagenan, merupakan upaya untuk keluar dari kebuntuan struktur dan agensi, oleh Bourdieu disebut ‘praktik’[7]. Praktik, menurut Bourdieu terjadi antara individu atau kelompok sosial, dalam proses internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas, yang mana praktik ini harus dianalisis sebagai hasil interaksi habitus dan ranah (arena)[8].
Habitus, adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Individu menggunakan habitus dalam berurusan dengan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman  individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Struktur kognitif memberi kerangka tindakan kepada individu dalam hidup keseharian bersama orang-orang lain. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Dalam interaksi dengan orang lain atau pihak luar ini, terbentuklah ranah (arena), yang merupakan jaringan relasi posisi-posisi objektif[9]. Habitus juga  mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang dunia, yang memberikan kontribusi tersendiri pada realita dunia itu. Oleh karenanya, pengetahuan memiliki kekuasaan konstitutif atau kemampuan menciptakan bentuk realitas dunia[10]. Richard Shusterman mencatat bahwa habitus meliputi keseluruhan relasi sosial dan makna:
The  habitus  acts through  its bodily incorporation of social relationships and meanings (i.e.  those  involving  reference  to  others)  but  without  needing  to articulate them  in terms of explicit  rules or reasons[11].(habitus muncul dalam keseluruhan relasi-relasi sosial dan makna, misalnya dalam keterlibatan interaksi dengan orang lain, akan tetapi terjadi tanpa artikulasi eksplisit).Hubungan habitus dengan arena, Shusterman menyatakan bahwa keduanya memiliki jalinan makna yang saling bertautan. Berikut pernyataannya:
Bourdieu’s theory of the dynamics of habitus (not a rigidly  fixed  or mechanical  habit) and  of  field  (not  a  stationary  space  but  a  dynamic  field  constituted by  struggles over changing  positions) demonstrates  that social structures and identities must be understood not as static, typological, and hard-edged categories but rather as dynamic formations of organized diachronic complexity, poised between stability and change, whose edges arc best construed (in terms of non-linear dynamics) as fuzzy, shifting  fractal basin  boundaries between complex attractors with relatively hard cores (ibid., 18).
(Teori Bourdieu tentang dinamika habitus dan arena, bukan ruang hampa tetapi sebuah ranah, arena, yang terkonstitusi oleh perjuangan untuk mendapatkan posisi-posisi, mendemonstrasikan bahwa struktur sosial dan identitas harus dipahami tidak secara statis, tipologik, menurut ketentuan kategoristik yang kaku, tetapi harus dipahami sebagai formasi yang dinamis dari kompleksitas diakronik yang terorganisasi, berada seimbang diantara stabilitas dan perubahan, dengan masing-masing sisi yang ditafsirkan sebagai sesuatu yang kabur, menggeser tepian batas antara kemenarikan yang kompleks dengan ketegaran relatif).
Bourdieu juga menyatakan bahwa habitus secara erat berhubungan dengan modal (kapital), karena sebagian habitus tersebut berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal yakni modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Dan pada kenyataannya, ia menciptakan modal simbolik. Modal dipandang Bourdieu sebagai basis dominasi dan legitimit. Modal simbolik merupakan modal yang dapat ditukar dan membawa posisi yang dapat memunculkan kekuasaan, yakni kekuasaan untuk merepresentasikan dunia sosial yang legitimit atau kekuasaan simbolik[12]. Fauzi Fashri juga mencatat, mereka yang menguasai keempat modal tersebut dalam jumlah yang besar akan memperoleh kekuasaan yang besar pula. Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah (arena) agar ranah memiliki daya-daya yang memberikan arti. Karakteristik modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah (arena) selaku tempat beroperasinya modal[13]. Bourdieu juga meyakini bahwa kekuasaan bersifat tidak sederhana, dan sistemik atau bukan merupakan perkara personal, sebagaimana ditulis Craig Calhoun.
Kuasa simbolik Bourdieu hadir dalam arena dari relasi dialektiknya dengan habitus dan modal (kapital), terutama kapital simbolik. Seseorang yang menguasai kapital dengan habitus yang memadai akan menguasai arena dan memenangkan pertarungan sosial karena di dalam arena selalu terjadi pertarungan sosial[14].
Sekian dulu perkenalan dengan Bourdieu ini, nanti kita lanjutkan dengan diskusi bagaimana habitus membentuk kapital dalam arena, juga kuasa. Dan bagaimana kuasa simbolik berlangsung dalam praktik sosial. Selanjutnya kita kembangkan diskusi kita dengan mengelaborasi praktik sosial, modal simbolik dan kekuasaan simbolik, seperti:

1.       Praktik sosial seperti apa sajakah yang dapat didekati dengan teori Bourdieu ini?

2.       Bagaimanakah kuasa simbolik bekerja pada suatu arena atau ranah?

3.       Benarkah setiap relasi sosial selalu terjadi pertarungan sosial?

4.       Bagaimana pertarungan sosial terjadi dan bagaimana peran serta posisi habitus dan kapital dalam arena pertarungan sosial tersebut? Benarkah ini semua adalah “praktik sosial”?

5.       Dalam bidang politik, bagaimanakah habitus, kapital dan arena dapat menjelaskan relasi partai politik, pemilih, pemilihan umum? Dan bagaimana menjelaskan relasi pemerintah dan masyarakat?

6.       Adakah kekuasaan simbolik yang beroperasi di arena yang melibatkan partai politik, pemerintah dan masyarakat?

Dan masih banyak elaborasi permasalahan sosial, budaya dan politik yang berjalin berkelindan dalam kehidupan sosial kita. Akan kita bahas satu per satu.. dan akan kita kembangkan untuk menganalisis berbagai persoalan sosial dan politik .
Untuk mengelaborasi permasalahan sosial untuk memperoleh penjelasan yang benar-benar mencerminkan kondisi masyarakat, dengan sendirinya teori sosial memerlukan metode untuk mengoperasionalkan ‘pencarian’ dan ‘pencarian kebenaran’ hingga menghasilkan penjelasan ilmiah. Penggunaan teori Bourdieu sangat baik jika dioperasionalkan dalam aktivitas ‘pencarian kebenaran’ (baca: penelitian) dengan menggunakan metode etnografi, seperti yang Bourdieu lakukan di Aljiers, Aljazair hingga ia merumuskan teori habitus-nya itu.

Entri yang Diunggulkan

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua

Doc T anah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antro...