Postingan Populer

Selasa, 30 Agustus 2016

Mengalami Papua dengan Hati




“Ko tra tahu apa yang tong alami. Indonesia dorang hanya lihat tong sebagai obyek dan proyek. Dong tra pernah tahu apa yang ada dalam hati bangsa Papua, ” ujar seorang kawan di Jayapura melalui saluran telpon. Mendadak saya terhenyak. Saya merasa, apa yang selama ini sudah saya baca tentang studi Papua, mengalami masalah pendekatan yang kompleks.
 
Kompleksitas itu menyasar pada produksi pengetahuan tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak memanusiakan Bangsa Papua. Penjajahan secara produktif dalam cara berpikir itu telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian teori dan pendekatan politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan dengan massif dalam kerangkan “pembangunan masyarakat tertinggal”.

Maka tak heran jika citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terkebelakang, terasing, barbar. “Indonesia dorang” merancang secara sistematis yang menempatkan Bangsa Papua tidak punya kebudayaan. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah dari kebudayaan Indonesia dan “terasing” tidak dinamis.

Pendekatan semacam itu tentu mengabaikan hati, perasaan, pergolakan, kepedihan, siasat, dan resistensi yang dialami Bangsa Papua. Kompleksitas sejarah dan status politik Tanah Papua dan heterogenitas bangsa Papua seolah terlupakan. Rezim otoritarian Orde Baru sejak 1969 menjadikan Tanah Papua sebagai objek pembangunan dengan penyeragaman di segala bidang tanpa rekognisi pada perdebatan sejarah, status politik dan juga beragamnya budaya di Tanah Papua. Pendekatan keamanan, kekerasan, dan kejahatan kemanusiaan melahirkan tragedy kemanusiaan tanpa henti di Bumi Cenderawasih ini. Sejarah ingatan penderitaan (memoria passionis) menjadi pengikat yang paling ampuh untuk “melawan kehadiran Indonesia” yang tak akan lekang ditelan jaman. Pasca reformasi 1998, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua serta Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran daerah semakin mewarnai pergolakan kekuasaan terhadap tanah Papua. Penetrasi agama, birokrasi, keamanan, pendidikan, dan investasi modal melalui perusahaan multinasional semakin menjepit dan meminggirkan Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri.


Menegakakkan identitas Papua di tengah semua kepungan itu sungguh sebuah perjuangan yang yang rumit. Kelokan-kelokan tajam, transformasi, dan siasat Bangsa Papua menghadapi semuanya menjadi sebuah bagian yang sungguh sangat penting untuk dicermati Mengalami Papua Pertama-tama, saya ingin memberikan apresiasi pada essay epilog dalam buku ini dari B. Josie Susilo Hardianto, wartawan Kompas, yang bagi saya telah menghadirkan narasi-narasi yang dekat, akrab, dan membumi untuk menunjukkan bagaimana kompleksitas masalah dalam keseharian yang terjadi di Tanah Papua. Soal pendidikan, kesehatan, akses ekonomi, memang sering diperbincangkan dalam Otsus Papua, namun realita yang terjadi justru menyesakkan. Di tengah gelontoran dana milyaran rupiah dalam Otsus, masih bisa disaksikan secara nyata bagaimana perjuangan mama-mama Papua merebut akses ruang ekonomi untuk berjualan sirih pinang, sayur-sayuran, dan hasil-hasil bumi lainnya di depan Gelael, Jayapura atau usaha mama-mama Papua bersaing dengan pedagang kios-kios di Pasar Sanggeng atau Wosi Manokwari.

Layanan pendidikan dan kesehatan juga masih memprihatinkan, serta virus HIV/AIDS secara perlahan namun pasti telah menggerogoti hidup generasi muda Papua. Hardianto (h. 212-213) menuliskan narasi yang tajam untuk menunjukkan bagaimana begitu pongah dan arogannya aparat keamanan yang melarang penduduk Waghete, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Paniai, untuk mencoba kelenturan uka dan mapega, busur dan anak panahnya. Simbol-simbol budaya Papua justru dianggap sebagai simbol perlawanan. Sampai di sini, menjadi jelas bahwa “Indonesia dorang” belum menemukan apa yang ada dalam hati dan budaya Bangsa Papua. Stigma separatisme terus dibangun dalam bingkai pendekatan keamanan untuk menunjukkan “berbahaya”, barbar, dan memberontaknya Bangsa Papua.

Stigma separatisme ini juga yang dilekatkan untuk menamai gerakan sosial Bangsa Papua untuk berjuang menegakkan identitasnya. Hampir senada dengan narasi di atas, suatu hari di bulan Oktober 2009, saya secara jelas menangkap kesan bagaimana antipati sekaligus alerginya rakyat Papua berurusan dengan pihak keamanan. Di sebuah pasar tingkat di Manokwari, seorang lelaki penjual VCD dikerumini banyak orang sembari menyaksikan pemutaran video. Lagu-lagu yang belakangan saya tahu merupakan lagu perjuangan Bangsa Papua diputar dengan suara keras-keras. Saya penasaran dan mendekat dan mengambil foto. Mendadak saya didekati sesorang dan bertanya dengan nada tinggi, “Ko dari mana? Intel yo? Ko jangan macam-macam, pergi sudah,” ujarnya setengah mengancam. “Politik” ke Reflektif Essai-essay Amiruddin al Rahab dalam buku ini sangat baik dalam menghadirkan peta persoalan yang terjadi di Tanah Papua. Hadirnya buku ini menambah deretan referensi terbaru studi Papua selain Papua Road Map dan Meretas Jalan Perdamaian di Tanah Papua (2009). Namun, dari beberapa publikasi tersebut, ada kecenderungan menempatkan hampir sebagian besar persoalan Papua dalam pendekatan politik struktural yang kaku. Bukan bermaksud untuk menafikkan, melihat kompleksitas persoalan Papua hanya dari kacamata politik membuat kita lupa bahwa telah terjadi transformasi budaya, praktik kehidupan keseharian, siasat penegakan identitas (politik budaya) yang penuh dengan perjuangan dan resistensi tanpa henti. Pendekatan politik struktural tentu akan luput menangkap bagaimana liminalitas Bangsa Papua yang berada di garis depan penetrasi modal dalam bentuk investasi perusahaan multinasional dan gerakan social memperjuangkan identitas di dalamnya. Bangsa Papua berada di daerah frontier, garis depan pertarungan kekuatan politik global dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Tanah Papua.

Menghadapi situasi tersebut, strategi pembangunan dan serangkaian kebijakan politik struktural pemerintah menjadi “jauh dari bayangan” dan bahkan menjadi serangkaian jejaring kekuasaan yang menipu. Menjadi penting dipikirkan adalah bagaimana menghdapai situasi di depan mata ini? Oleh sebab itulah praktik, taktik, dan siasat manusia menjadi penting dikemukakan. Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan, fakta di depan mata yang membutuhkan cara dan taktik untuk menghadapinya. Ini sangat berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa rancangan untuk menghadapi kenyataan (yang sering menjadi bahan analisis studi kebijakan dan politik). Dalam siasat inilah, de Certau (1984) melihat bahkan praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan (politik) kebudayaan yang sering dilupakan dengan strategi yang menipu. Dalam siasat, manusia langsung berhadapan dengan jejaring relasi kuasa yang dibentuk oleh ruang yang memberikan kontes persoalan tertentu.

Eksplorasi memetakan siasat dan kepentingan agen-agen perubahan yang tidak pernah bersatu di Papua dalam studi Timmer (2007 dan Chauvel, 2005) memberikan gambaran yang mengesankan. Maraknya pemekaran dan Otus yang menjadi “gula-gula” pembangunan di Tanah Papua melahirkan ketergantungan dan jejaring ekonomi politik di lingkungan elite Papua. Identitas kePapuan pun terus bertransformasi dengan serangkaian resistensi terhadap kehadiran negara (Indonesia) yang sudah kehilangan wibawanya di hadapan Bangsa Papua. Tuntutan otsus yang lebih besar bisa dilacak mengalami diversitas di kalangan Bangsa Papua sendiri antara ekspresi resistensi terhadap negara dan nasionalisme perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Silang sengkarut itulah yang memungkinkan kontestasi identitas-identitas social lokal, etnis, religius, dan regional di Tanah Papua sebagai medium resistensi terhadap kehadiran negara. Kompleksitas persoalan di Tanah Papua sepatutnya dilihat dengan hati bukan dengan pendekatan struktural politik yang membabi buta. Implikasinya adalah bagaimana cara kita ikut menyelami apa yang ada dalam hati Bangsa Papua? Satu-satunya cara menyelami hati Bangsa Papua adalah pertama-tama memahami dan bersama-sama mereka membangun sebuah sejarah (baru) di bumi Sampari ini.

Ilmu pengetahuan bisa menyuarakan ini dengan secara bersama-sama, secara reflektif, membangun pola relasi untuk bersama-sama merumuskan persoalan yang terjadi dan memberikan argumentasinya. Dengan demikian, kenyataan itu bersifat partisipatif yang diciptakan oleh (hubungan) pikiran dan lingkungan yang ada. Inilah yang disebut dengan “subyektifitas kritis” yang terjadi melalui transaksi partisipatoris dengan lingkungan. Ilmu pengetahuan kemudian menjadi gerakan sosial, yang maju bersama-sama subjek penelitiannya menciptakan sejarah baru yang menyatu dan membumi dalam pergolakan masyarakatnya (Laksono, 2009). Dialog (Sejarah Baru) Papua Amiruddin, aktivis lembaga swadaya masyarakat dan penulis buku ini, selama 15 tahun secara intens menunjukkan perhatiannya terhadap pergolakan politik yang terjadi di Tanah Papua. Ide terdepan kelompok intelektual dan aktivis yang menaruh perhatian terhadap Papua adalah dialog antara Jakarta dan Papua (Widjojo dkk, 2009; Tebay, 2009). Banyak kontroversi dalam ide ini, namun dialog bukanlah tujuan penyelesaian konflik Papua, namun sebuah patahan kecil ruang rekognisi berbagai macam kepentingan politik. Papua Road Map LIPI (2009) telah memberikan pemetaan detail dalam membaca konflik Papua, pemberdayaan Bangsa Papua, paradigma baru pembangunan, hingga persoalan tawaran tahapan-tahapan kebijakan dialog dan jalan rekonsiliasi pengungkapan kebenaran dan pembuktian di pengadilan.

Beberapa artikel dalam buku ini memberikan tambahan pemahaman secara utuh berbagai benih pematik konflik di Tanah Papua. Jargon separatisme dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) misalnya, yang diciptakan dan dipropagandakan aparat keamanan untuk melabeli gerakan sosial pembebasan Bangsa Papua, yang kemudian menjadi identitas oposisional bagi keindonesiaan. (h. 3-37). Beberapa artikel pendek di Bagian II buku ini menghadirkan kilasan berbagai persoalan yang terjadi di Tanah Papua (bandingkan dengan nukilan-nukilan persoalan di Tanah Papua dalam Laporan Jurnalistik Kompas, Ekspedisi Tanah Papua (2008). Dialog damai yang digagas tentu bukan sebatas strategi hitung-hitungan target politik (antara Jakarta (baca: pemerintah) dan Papua) yang hingga kini masih menjadi perdebatan sengit. Persoalan sejarah dan status politik juga menjadi tema sensitif namun menjadi pondasi penting berlangsungnya dialog.

Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Bangsa Papua juga menjadi persoalan yang amat serius. Implikasinya adalah ingatan kekerasan dan penderitaan yang menjadi pengalaman kelam Bangsa Papua sejak berintegrasi dengan Indonesia 1969. Bagi saya, langkah pertama dialog damai adalah memberikan kebebasan kepada Bangsa Papua untuk bergerak membangun sejarah baru bangsanya. Pengalaman, narasi, dan refleksi mereka (baca: Bangsa Papua) akan melahirkan sejarah baru yang partisipatif ketika penghargaan atas pengalaman dan narasi dijunjung tinggi. Pemerintah Indonesia hingga kini melupakan pendekatan ini. Dengan demikian, langkah kedua adalah melakukan proteksi Bangsa Papua dan sekaligus pemahaman bahwa interkoneksi Bangsa Papua dengan kekuatan kapital global bagai candu yang menghancurkan.

Penyelamatan sumber daya alam dan manusia Papua menjadi sangatlah penting. Dengan demikian, diperlukan pemahaman bahwa interkoneksi Bangsa Papua dengan kekuatan-kekuatan kapital global adalah merupakan ruang penafsiran persoalan resistensi (siasat), perlawanan, dan gerakan sosial tanpa henti. Inilah yang oleh Pemerintah Indonesia dianggap sebagai separatisme ketika muncul protes dan perlawanan akibat marginalisasi Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri. Saya kembali ingat perkataan seorang pace Papua pada suatu sore di Manokwari awal September 2009, “Kitorang bukan anak kandung Indonesia. Tong adalah anak tiri yang disiksa dan diperkosa terus-menerus. Dorang lupa tong juga punya hati yang sakit dan tersiksa.”
Penduduk asli menganggap Waigeo sebagai tanah ada sukunya. Tetapi selain penduduk asli, terdapat juga penduduk yang berasal dari Helmahera, Tidore, Ternate, Seram, Sulawesi Selatan serta mereka yang datang dari Timur Papua. Karena itu mereka bercampur baur dan menerima berbagai macam pengaruh dari luar sehingga ciri-ciri Papua menjadi hilang. Melalui orang-orang Seram, Tidore, Bugis Dan Makassar yang datang dan menetap disana sebagai pedagang, agama islam masuk dan mempengaruhi kehidupan, tetapi tidak mempengaruhi adat penduduk setempat. Para pemuka dengan gelar kalana atau raja adalah orang-orang asing; mereka yang pada zaman dahulu adalah kaki tangan Sultan Ternate, dan mereka harus membayar rampasan perang. Wilayah pantai tetap dianggap sebagai “medan berburu” mereka untuk mendapatkan berbagai rampasan perang. Lebih ke daerah Selatan, di jazirah yang di namakan Bomberai, bermukim sejumlah suku. Ke arah Barat terdapat Jazirah Kapauer atau Onin sebagai pusat pemerintah, di bagian Utara terdapat wilayah Kokas, sebagai pelabuhan tempat kapal-kapal bersandar. Jazirah Kapauer merupakan wilayah terpenting karena disana terdapat sekitar 8 kerajaan kecil antara lain; Arguni, Sekar, Pikpik, Wartuar, Pattipi, Rumbiati, Fatigar, dan Atiati. Raja-raja dari semua kerajaan kecil itu adalah keturunan yang datang dari Pulau Seram dan Goram. Mereka adalah kaki tangan Sultan Ternate dan Ia yang mengangkat mereka menjadi raja. Pemerintah Belanda banyak menggunakan pengaruh dari raja-raja tersebut karena tidak mengetahui hubungan dan konsisi sosial masyarakat saat itu. Pemerintah Belanda tidak mengetahui bahwa raja-raja itu sudah menggeser peran kepala suku dalam adat masyarakat setempat. Akibatnya pengaruh raja-raja ini semakin besar. Salah satu sumber; Het gebied der Kalana fat of vier Radja's in Westelijk Nieuw-Guinea, F S A de Clercq, Leiden : Brill, 1889.

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Antropologi dan Kekerasan Kolonial di Tanah Papua

Doc T anah Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai “sebuah surga di bumi bagi penelitian antro...